Orang Tionghoa dalam Masa Bersiap
Merdeka.com - Ratusan orang Tionghoa menjadi korban kekacauan awal revolusi di Bandung. Sebagian larut dalam perjuangan membela Republik Indonesia.
Penulis: Hendi Jo
Deretan nisan berbentuk salib putih berbaris rapi di Pemakaman Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Dijelaskan: semua meninggal pada 1945-1947, sebagai korban Masa Bersiap. Itu istilah orang-orang Belanda untuk zaman penuh kekacauan yang terjadi hampir di seluruh Jawa pada awal revolusi. Salah satu nisan itu tertera nama Tan Hoan Kiat, bayi yang belum genap berumur satu tahun.
Di Bandung, hampir sebagian besar orang Tionghoa menjadi korban kekacauan awal revolusi. Menurut sejarawan John R.W. Smail, itu terjadi sejak awal Oktober 1945. Ketika atmosfer revolusi mulai terbentuk secara cepat dan sporadis.
"Seruan perang yang revolusiener yaitu 'siap!' mulai membahana (di seantero kota)," ungkap Smail dalam Bandung in The Early Revolution, 1945-1946.
Orang-orang Tionghoa menjadi salah satu sasaran selain kaum Indo dan orang-orang Indonesia yang dianggap pro Belanda. Mereka dianggap tidak nasionalis dan hanya memikirkan keuntungan sendiri. Sebagai contoh, saat kaum pemuda nasionalis menyerukan masyarakat untuk memboikot penjualan kebutuhan sandang dan pangan kepada orang-orang Belanda dan Indo, orang-orang Tinghoa seolah tak pernah menggubris perintah tersebut.
"Ada beberapa orang dari mereka yang bahkan terang-terangan menjadi begundalnya tentara Inggris dan Belanda," ungkap O.Soedarja, mantan pejuang Republik di Bandung.
Akibatnya, tak jarang terjadi aksi pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa. Hampir sebagian besar lokasi pembunuhan terjadi di selatan dan wilayah pinggiran utara. Pada puncak kekacauan yang terjadi pada November dan Desember 1945, kerap kali terjadi insiden penculikan, pembakaran dan penjarahan di dalam dan sekitar zona yang dilindungi tentara Inggris.
Tidak ada catatan lengkap mengenai jumlah korban jiwa. Namun menurut salah satu estimasi resmi Sekutu pada April 1946, terdapat lebih dari 800 orang Belanda, Eurasia dan Tionghoa yang menjadi korban di Bandung hingga Maret 1946.
"Sekitar 600 rumah dan toko orang Tionghoa dibakar," ungkap Smail mengutip laporan dari Overdijkink, Indonesische Probleem de Freiten.
Kejadian pembakaran dan pengusiran terhadap orang-orang Tionghoa kembali terjadi saat penguasa militer Republik menyerukan kepada seluruh penduduk selatan Bandung untuk segera mengungsi ke luar kota.
Alih-alih menuruti instruksi tersebut, orang-orang Tionghoa malah berbondong-bondong pergi ke utara, zona aman yang dikuasai tentara Inggris.
Tentara dan laskar yang marah lantas membakar rumah-rumah orang Tionghoa. Dalam beberapa kasus, ada beberapa orang Tionghoa yang berhasil menyelamatkan tokonya dengan menyuap kelompok pemuda yang datang untuk membakar. Sayangnya, anarki terlanjur menggila: rumah dan toko mereka pun tetap dihancurkan.
Peran Orang Tionghoa dalam Kemerdekaan RI
Namun kisah orang-orang Tionghoa di Bandung tidak melulu soal cerita pragmatisme semata. Banyak dari kalangan mereka yang juga memilih jalan tegas di pihak kaum Republik. Mereka menyumbangkan perannya untuk perjuangan kemerdekaan. Di antaranya sebagai pemasok logistik, tenaga informan dan tenaga kesehatan. Salah satunya adalah Akew, pemuda Tionghoa asal Tegalega, Bandung.
"Dia pemilik toko yang kerap melindungi pejuang-pejuang kita yang sedang menyelundup ke kota," ungkap Soedarja.
Tidak hanya melindungi keselamatan para pejuang Republik, Akew juga merupakan pemasok utama logistik ke markas-markas pejuang di sekitar Bandung. Tak jarang dia pun memberikan informasi-informasi penting terkait pergerakan tentara Belanda di Bandung kepada para gerilyawan yang diam-diam masuk kota.
Nasib Akew berakhir buruk. Karena pengaduan seorang tetangganya, dia kemudian diciduk oleh serdadu Belanda dan tak pernah diketahui keberadaannya hingga kini. Informasi yang didapat Soedarja, Akew dibuang ke Nusakambangan dan meninggal sebagai tawanan Republik di pulau dekat Cilacap itu.
Soedarja pun mengenal seorang petugas perempuan Palang Merah bernama Oting (Oey Tiong Li). Gadis peranakan Tionghoa itu terbilang aktif merawat dan mengobati para pejuang yang terluka di front Padalarang.
"Seingat saya dia tergabung dengan lasykar KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi)," ujar lelaki yang lahir pada 1924 itu.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bukan hanya manusia, ini sosok binatang paling berjasa dalam kemerdekaan Indonesia. Siapa yang dimaksud?
Baca SelengkapnyaPemilu 1955 di Indonesia merupakan salah satu tonggak sejarah penting dalam proses demokratisasi dan konsolidasi negara setelah merdeka pada tahun 1945.
Baca SelengkapnyaPara pelaku kesal dengan tingkah laku Dimas di dalam sel.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Gambaran eksekusi saat itu sangat menyeramkan. Terhukum mati ditaruh di atas roda yang menggantung pada sebuah tiang. Di atas sana mayatnya dibiarkan mengering
Baca SelengkapnyaKejadian itu bertepatan dengan hujan disertai angin kencang yang melanda Blitar.
Baca SelengkapnyaMereka menyerang warga secara acak saat melintas jalan raya
Baca SelengkapnyaAnggota dari organisasi Boedi Oetomo terdiri dari kalangan atas suku Jawa dan Madura.
Baca SelengkapnyaDiduga, truk kehilangan kendali sehingga terguling dalam perjalanan dari arah Cianjur menuju Bandung barat.
Baca SelengkapnyaIni merupkan sebuah peristiwa sejarah di era Orde Baru yang mungkin tidak banyak orang ketahui.
Baca Selengkapnya