Secuil Kisah Seram Penjajahan Jepang di Jawa yang Jarang Tersorot, Pekerja Romusha Tewas Usai Vaksin
Penjajahan Jepang tak kalah kejam dari Belanda. Parahnya, pekerja Romusha sampai dijadikan kelinci percobaan vaksin mematikan.
Pernah membayangkan hidup di tengah masa penjajahan Jepang? Jika belum, mungkin artikel ini bisa memberikan gambaran tentang seramnya era tersebut.
Dalam narasi sejarah yang banyak beredar, disebutkan bahwa masa kolonial Jepang adalah era baru bagi kesejahteraan rakyat. Alasannya, bangsa penjajah dari Asia Timur itu mengaku saudara jauh dan bersedia membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonial Belanda yang berlangsung selama ratusan tahun.
-
Kenapa para romusa asal Jawa hanya sedikit yang selamat? Sementara menurut pengamat sejarah David Boggett, disebutkan bahwa dari 200 ribu hingga 500 ribu domusha asal Jawa yang dikerahkan, hanya sekitar 70 ribu yang masih hidup saat perang berakhir.
-
Siapa yang merekrut romusa dari Jawa? Disebutkan dari kanal YouTube Hendri Teja, para romusa itu direkrut paksa dari wilayah-wilayah yang diduduki militer Jepang seperti Thailand, Myanmar, Vietnam, Malaysia, China, dan juga Indonesia.
-
Bagaimana Jepang menaklukan Indonesia? Jepang memasuki Indonesia dengan melakukan invasi militer selama Perang Dunia II.
-
Mengapa Jepang menyerang Indonesia? Jepang menilai bahwa keberadaan negara sekutu akan menghambat ekspansinya di kawasan Asia.
-
Kapan Jepang mulai menjajah Indonesia? Proses masuknya Jepang ke Indonesia berawal pada masa Perang Dunia II pada tahun 1942.
-
Apa itu Japanese Encephalitis? Penyakit Japanese Encephalitis (JE) adalah salah satu penyakit yang menakutkan bagi banyak orang. Penyakit ini bisa menyebabkan radang otak yang berakibat fatal, bahkan kematian.
Namun, janji hanyalah janji. Rupanya, masa pendudukan Jepang tak kalah kejam dibanding bangsa Eropa. Bahkan, mereka menerapkan politik beras yang licik sehingga membuat rakyat kelaparan.
Lebih parah lagi, Jepang juga banyak melakukan eksperimen di bidang kesehatan dan menjadikan masyarakat Indonesia di pulau Jawa sebagai kelinci percobaannya hingga banyak yang tewas. Berikut informasinya.
Berbanding Terbalik dengan Era Politik Etis Belanda
Ada satu momen menarik di akhir masa penjajahan Belanda. Ya, mereka menerapkan sebuah kebijakan balas budi melalui penerapan politik etis di Hindia Timur (Indonesia).
Merujuk Wikipedia, mulai tahun 1901 sampai 1942, pemerintah kerajaan Belanda lewat perintah Ratu Wilhelmina memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Belanda mulai menjadi ‘sahabat’ yang baik bagi rakyat, dengan terbukanya berbagai fasilitas seperti pendidikan, pelayanan kesehatan sampai perbaikan infrastruktur agar Belanda bisa diterima kembali oleh segenap masyarakat.
Namun, kondisi pemulihan berangsur-angsur berbalik saat Jepang masuk. Mengenalkan diri sebagai saudara tua Indonesia, Jepang lantas melenyapkan berbagai unsur pendudukan Belanda. Kegiatan ini rupanya mengandung misi pengerukan keuntungan, untuk mendukung penyerangan Jepang di masa perang dunia ke-2.
Lakukan Romusha
Mengutip Liputan6, Romusha menjadi ciri kekejaman Jepang yang paling nyata. Puluhan sampai ratusan orang dikabarkan meninggal dunia, karena rakyat dipaksa bekerja sepanjang hari tanpa diberi minum, makan dan bayaran yang layak.
Mulanya, Romusha dilakukan Jepang dengan cara memerintahkan para petani untuk menanam dan memperluas kebun dan sawah milik masing-masing.
Lambat laun, Jepang juga meminta rakyat membangun penjara, jalan, bangunan serta berbagai infrastruktur perang untuk mendukung kemenangan di masa perang dunia II.
Terapkan Politik Pangan hingga Sengsarakan Rakyat
Tak kalah kejam dari Romusha adalah penerapan politik pangan ekstrem oleh pemerintah Jepang. Dalam peraturan yang dituangkan oleh kepala militer Gunseikai sebagai pemimpin tertinggi, disebutkan bahwa seluruh hasil bumi Belanda seperti kopi, teh dan kina diganti dengan beras, tanaman jarak dan rosela.
Mengutip vredeburg.id Kemdikbudristek RI, aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang No 322/1942 dan meminta masyarakat Indonesia mematuhinya agar mendapat kemerdekaan.
Namun nyatanya, pengaturan harga dan penjualan yang diatur Jepang, membuat komoditas pangan seperti beras hilang di pasaran. Warga banyak yang meninggal karena kelaparan. Untuk bertahan hidup, berbagai tumbuhan dan umbi-umbian kemudian dikonsumsi oleh rakyat.
Sebab utama dari kelaparan warga adalah, kewajiban penyerahan padi sebanyak 30 persen dari apa yang telah ditanam. Sayangnya, warga biasanya memanfaatkan padi untuk kebutuhannya sendiri.
Pekerja Romusha Tewas Akibat Percobaan Vaksin
Mimpi buruk juga masih belum berakhir saat Jepang masuk ke Indonesia. Pernah suatu ketika, masyarakat Indonesia digegerkan dengan kematian kelompok-kelompok Romusha yang tengah dilatih di kawasan Klender, perbatasan Jakarta dan Bekasi.
Mengutip buku “Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut Rōmusha 1944-1945” disebutkan para pekerja itu mengalami kejang, tak sadarkan diri hingga tewas setelah disuntikkan vaksin TCD (typhus, cholerae dan desentry).
Usut punya usut, di dalam vaksin terdapat kandungan toksin tetanus sehingga langsung bereaksi negatif di dalam tubuh. Akibatnya, para pemuda yang akan dipekerjakan sebagai Romusha seketika meninggal dunia.
Agar Jepang tak disalahkan, mereka menumbalkan dua orang dokter Indonesia yang bekerja di lembaga Eijkman yang saat ini berada dalam lingkup Badan Riset dan Inovasi Nasional(BRIN) yakni dr. Marah Achmad Arief dan Profesor Achmad Mochtar.