Pilunya Wabah Malaria di Cirebon, Terjadi Selama 27 Tahun dan Sebabkan 2.000 Orang Meninggal
Warga Eropa dan pribumi banyak yang menjadi korban keganasan nyamuk malaria.
Warga Eropa dan pribumi banyak yang menjadi korban keganasan nyamuk malaria
Pilunya Wabah Malaria di Cirebon, Terjadi Selama 27 Tahun dan Sebabkan 2.000 Orang Meninggal
Pada 1903 menjadi tahun yang kelam di Cirebon, Jawa Barat. Wabah penyakit malaria melanda hingga memakan banyak korban.
Menurut data dari pemerintah Belanda, terdapat hingga 2.000 nyawa melayang. Paling banyak warga Eropa karena tidak terbiasa dengan penyakit di wilayah tropis.
-
Kenapa usia Kota Cirebon mundur? Jadi tahun ini usianya berubah sehubungan dengan sudah adanya evaluasi terkait perda hari jadi, setelah menggelar banyak diskusi dengan sejarawan, budayawan dengan menggelar seminar, bahkan kami datangkan dua guru besar dari Unpad dan UI.
-
Mengapa malaria berbahaya? Penyakit ini dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang fatal jika tidak segera diatasi.
-
Mengapa malaria bisa kambuh? Malaria dapat kambuh atau kembali aktif kapan saja, terutama jika sistem kekebalan tubuh seseorang melemah atau jika parasit tetap ada dalam tubuh dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan gejala klinis.
-
Dimana wabah misterius ini terjadi? Dalam beberapa hari terakhir, China dihantui lonjakan penyakit pernapasan misterius di kalangan anak-anak di sepanjang wilayah utara, menciptakan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
-
Apa penyebab wabah penyakit beri-beri? Wabah penyakit sudah bermunculan sejak pendudukan Belanda di Bumi Nusantara. Masalah ini membuat para pakar ahli di bidang kesehatan memutar otak untuk menemukan ramuan yang tepat untuk mengatasi wabah tersebut.
-
Kapan kasus Vina Cirebon terjadi? Polda Jabar tegaskan telah menangkap seluruh tersangka dalam kasus pembunuhan sepasang kekasih Rizky dan Vina yang terjadi pada 2016 silam.
Sejumlah korban pun berbondong-bondong ke rumah sakit. Namun tak sedikit yang memilih pengobatan tradisional karena kemiskinan ekstrem masa kolonial.
Disebutkan kejadian itu berlangsung selama 27 tahun, sampai tahun 1930-an. Berikut kisah selengkapnya.
Sebaran malaria di Cirebon
Merujuk Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Cirebon yang dikutip dari Liputan6, penyakit malaria saat itu menyebar dengan cepat.
Tak hanya daerah kota, malaria juga menjangkit masyarakat di pinggiran Cirebon yang merupakan kawasan pantai utara. Penyakit ganas ini juga menyeber hingga ke wilayah ke dataran tinggi.
Banyaknya warga yang terserang membuat pemerintah kalang kabut. Belum adanya SOP terkait malaria membuat skema penanganan oleh Dinas Kesehatan Sipil (Burgelijk Geneeskundige Dienst) dilakukan secara try and error hingga korban terus berjatuhan.
Menyerang warga miskin kota dan Eropa
Dari catatan sejarah, penyakit malaria banyak menyerang kalangan warga miskin kota maupun Eropa. Kondisi ini diakibatkan buruknya sanitasi dan sistem irigasi sehingga menimbulkan penumpukan sampah dan air.
Gambar: salah satu sungai di Cirebon (Liputan6)
Saat musim hujan, volumenya kian bertambah hingga memunculkan banyak penyakit massal seperti kolera sampai malaria. Penderitanya banyak yang demam, bahkan sampai berhalusinasi.
Setelah mulai masuknya laporan-laporan jumlah warga terdampak, upaya penyelesaian wabah terus dilakukan seperti membersihkan irigasi, membuat sistem sungai sampai pembagian ramuan kina untuk penyembuhan.
Berbagai dugaan penyebab kemunculan malaria
Tidak ada yang mengetahui pasti dari mana penyakit ini berasal. Namun berdasarkan laporan yang diterima pemerintah, malaria diduga berasal dari lingkungan yang kumuh dan penuh sampah.
Merujuk purbawidya.kemdikbud.go.id, warga di daerah yang dekat dengan sungai, perkebunan sampai daerah pelabuhan menjadi yang paling banyak menderita sakit malaria.
Daerah-daerah tersebut berada di sekitar pelabuhan Cirebon, Sindanglaut sampai Majalengka.
Pemerintah setempat sempat dikritik oleh banyak media massa lantaran ketidakmampuannya melawan wabah.
Modernisasi kota jadi pemicu utama
Usut punya usut meluasnya wabah malaria di wilayah Cirebon itu diakibatkan proses modernisasi kota yang serampangan. Di sekitar abad 19 sampai 20, pemerintah Hindia Belanda menggencarkan pembangunan tata kota di wilayah-wilayah prioritas salah satunya Cirebon.
Pembangunan jalan, rel kereta, perkebunan sampai pabrik-pabrik digencarkan untuk pemasukan ekonomi. Sayangnya kondisi ini tak dibarengi dengan upaya menjaga lingkungan, hingga banyak sisa pekerjaan yang tidak rampung dibersihkan bahkan sampai terbengkalai.
Tanah-tanah dari sisa pembuatan rel kerap menumpuk di sekitar permukiman. Lalu jalan-jalan tanah juga memunculkan kubangan karena selalu digunakan oleh kereta kuda dengan beban yang berat untuk mengangkut hasil kebun dari Cirebon ke Kuningan sampai Majalengka.
Jalan pun dipenuhi air ketika musim hujan, sampai menyebabkan banjir dan jadi sarang penyakit malaria. Belum lagi sisa limbah tebu dari produksi pabrik gula juga meningkat dan justru dibuang ke sungai. Ini menyebabkan pembusukan dan digemari oleh nyamuk anopheles.
Dibangunnya rumah sakit Oranje
Setelah banyaknya masukan, pemerintah Belanda di Cirebon mulai membangun Rumah Sakit Oranje (sekarang RSUD Gunung Jati) pada 1921. Ini jadi salah satu cara untuk menyelesaikan wabah malaria di Cirebon.
Sejumlah dokter ahli didatangkan dari Eropa untuk membantu penyelesaian wabah massal ini. Selain itu, rumah sakit Pamitran di Jalan Pamitran, Kota Cirebon juga dibangun untuk membantu penanganan membludaknya pasien.
Pengurugan kali melalui sistem rodi juga dijalankan, salah satunya di Kali Bacin yang saat itu dikenal kumuh dan dipenuhi sampah. Sebagai gantinya, pemerintah Belanda juga membuat gorong-gorong sebagai ganti saluran air. Namun upaya ini belum membuahkan hasil yang maksimal.
Perlakuan berbeda tenaga medis
Fokusnya pemerintah Belanda terhadap pembangunan fisik dan perekonomian, membuat daerah kumuh semakin tidak diperhatikan. Tak sedikit warga yang mengalami sakit dan terserang wabah.
Gambar: ruangan rumah sakit di Cirebon
Menurut Kasi Pengelolaan dan Layanan Arsip Kota Cirebon Mumahhad Samsudin, dibangunnya dua rumah sakit tidak serta merta menyelesaikan masalah lantaran adanya perlakuan berbeda yang dilakukan tenaga medis terhadap pasien. Rata-rata pasien pribumi, khususnya kalangan miskin tidak dilayani dengan baik.
Dia juga menyebutkan bahwa sampai tahun 1930-an, jumlah pasien pribumi dan Eropa yang terjangkit malaria tercatat mencapai 2.000 orang.
"Sepanjang tahun 1903 sampai 1930 lah wabah malaria dan semakin memakan banyak korban jiwa. Sekitar 2.000 korban jiwa termasuk (orang) Belanda," kata dia.
Wabah malaria di Cirebon sendiri menjadi sejarah pilu masyarakat Cirebon akibat penjajahan Belanda.