Kisah Mbah Marsiah, Nenek Berusia 75 Tahun Hidup Sebatang Kara di Kampung Terpencil Tanpa Listrik
Walau hidup serba kekurangan, ia tampak selalu tersenyum
Walau hidup serba kekurangan, ia tampak selalu tersenyum
Kisah Mbah Marsiah, Nenek Berusia 75 Tahun Hidup Sebatang Kara di Kampung Terpencil Tanpa Listrik
Mbah Marsiah merupakan seorang lansia yang hidup sebatang kara. Usianya sudah 75 tahun. Kini ia tinggal di sebuah kampung terpencil di Dusun Kebo Kuning, Desa Karanganyar, Kecamatan Purwonegoro, Banjarnegara.
-
Di mana desa miskin itu berada? Salah satu desa miskin berada di Desa Cipelem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
-
Apa yang membuat Asni hidup sebatang kara? Di usianya yang tak lagi belia, dia terpaksa tinggal sebatang kara.
-
Kenapa Bu Wahyuti tinggal di kampung terpencil? Bu Wahyuti mengatakan ia terpaksa tinggal di kampung terpencil itu karena belum memiliki rumah sendiri, sehingga ia dan keluarganya harus menumpang di rumah yang disewakan pihak perhutani.
-
Bagaimana warga Lebak Jeunjing mendapatkan listrik? Satu Rumah hanya Bisa Pakai Satu Lampu Untuk listriknya sendiri kwhnya sangat kecil, sehingga sekitar 8 rumah harus dibagi alirannya. Ini yang membuat masing-masing rumah hanya bisa memakai satu lampu.
-
Apa yang unik dari tradisi Marosok? Keunikan lainnya dari tradisi Marosok adalah terjadinya tawar-menawar yang berlangsung tanpa suara dan hanya menggunakan bahasa isyarat dengan jari tangan.
-
Bagaimana Orang Talak Mamak hidup? Sebuah masyarakat yang hidup cukup terisolir di pedalaman Provinsi Riau ini sangat dekat dengan alam (hutan) dan menerapkan sistem peladangan.
Dilansir dari kanal YouTube Tedhong Telu, Mbah Marsiah tinggal di sebuah rumah kecil tanpa aliran listrik. Di sana ia hidup sebatang kara. Suami dan tiga orang anaknya sudah meninggal dunia.
Saat kanal YouTube Tedhong Telu mengunjungi desa tempat tinggal Mbah Marsiah, lahan kering kerontang. Musim kemarau yang panjang belum berakhir.
Mbah Marsiah tampak sedang menyapu di halaman rumah. Rumah Mbah Marsiah sendiri masih menggunakan bilik bambu.
Hari itu, Mbah Marsiah tampak lebih sering tersenyum. Ia mengaku sudah tinggal di rumah tersebut selama 5 tahun.
“Ini tanah saya sendiri. Saya beli sedikit. Harganya Rp6 juta,” kata Mbah Marsiah.
Di sana Mbah Marsiah tinggal sendiri. Untuk bertahan hidup, dia bergantung dari bantuan negara. Di rumahnya ia tinggal tanpa aliran listrik.
“Dulunya di sini pernah disaluri listrik. Tapi terus kabelnya lecet, terus konslet. Saya takut kebakaran. Jadi saya minta copot saja listriknya,” ungkapnya.
Sehari-hari Mbah Marsiah makan nasi jagung. Sayurnya daun pepaya. Sementara kondisi kamarnya sungguh memprihatinkan. Karena hanya berdinding bambu, banyak pori-pori dinding yang berlubang. Biasanya Mbah Marsiah menambahkan kain agar angin yang masuk ke dalam kamar itu tidak terlalu banyak.
Dapur rumah itu ukurannya kecil. Mbah Marsiah masak masih menggunakan tungku. Persediaan kayu bakar untuk memasak juga ia simpan di dalam dapur itu.
Sebagai camilan tambahan, Mbah Marsiah membuat makanan olahan tradisional bernama “gadung”. Begitulah kehidupan sehari-hari Mbah Marsiah. Tak ada kegiatan lain perempuan itu selain di rumah. Walau hidup serba kekurangan, ia tampak bersyukur dengan selalu memancarkan senyum dalam kondisi apapun.