Menguak Sisi Lain Masjid Agung Sumenep, Tak Boleh Dipugar dengan Alasan Modernisasi
Pendiri masjid ini berpesan bahwa merusak masjid adalah hal tabu.

Pendiri masjid ini berpesan bahwa merusak masjid adalah hal tabu.

Menguak Sisi Lain Masjid Agung Sumenep, Tak Boleh Dipugar dengan Alasan Modernisasi

Masjid Agung Sumenep merupakan salah satu masjid tua di Indonesia. Kini, masjid yang didirikan pada tahun 1785 itu sudah berusia lebih dari dua abad. Keistimewaan masjid ini setiap detail bangunannya punya filosofi dan sejarah tersendiri.
Budaya Lima Bangsa
Masjid Agung Sumenep yang dulunya merupakan milik keraton Sumenep ini menggabungkan berbagai unsur budaya. Bangunannya mengadopsi unsur Persia, Arab, India, Cina, dan Jawa. Mengutip duniamasjid.islamic-center.or.id, pola ekletis ini merepresentasikan keberagaman etnis masyarakat yang tinggal di daerah penghasil garam tersebut.

Pengaruh unsur Arab dan Persia terlihat pada peletakan kubah kecil di atap bangunan di sisi kanan dan kiri halaman masjid.
Warna-warna kontras yang memdadukan merah, hijau, dan emas pada beberapa detail elemen ukir merupakan ciri khas ornamen negeri Cina.


Gaya khas arsitektur Jawa tampak pada bentuk atap bergaya tajug kerucut lancip menjulang tinggi. Atap model ini banyak diterapkan pada candi kuno warisan peradaban Jawa.
Bagian utama masjid dilengkapi tujuh pintu, masing-masing berukuran tiga meter. Enam jendela masing- masing berukuran dua meter membuat pencahayaan alami dari luar menerobos bebas ke dalam masjid.
Keistimewaan terlihat pada bagian mihrab yang diapit dua relung dan dilapisi keramik Cina. Ukiran pahat batu berupa bunga berwarna merah dan emas mengentalkan nuansa Cina. Tepat di atas tempat imam terdapat hiasan pedang. Dahulu ada dua pedang di sana, pedang perak Arab dan Cina. Sayangnya, pedang Cina hilang.

Pantangan
Mengutip situs repositori.kemdikbud.go.id, Panembahan Sumala atau Panembahan
Natakusuma, sang pendiri masjid mewakafkan
masjid ini kepada umat Islam secara
luas untuk digunakan beribadah, bukan
hanya untuk warga kerajaan saja.
Pendiri masjid itu meminta sekretaris kerajaan membuat prasasti yang berisi kewajiban bagi penguasa dan pengurus
masjid menjaga kelestarian masjid, dan tidak merusak serta menjual masjid tersebut. Prasasti ini masih dapat dijumpai di dinding luar bagian utama masjid sebelah selatan. Pesan pendiri masjid ini dipegang
teguh oleh pengurus masjid dan masyarakat setempat. Hingga kini, sesuatu yang dianggap
dapat merusak masjid sangat tabu dilakukan. Ada cerita tutur yang dipercaya masyarakat, barang siapa merusak masjid ini maka akan tertimpa sial.
Mimpi Buruk hingga Meninggal
Suatu hari, salah satu pedang yang menyilang di atas mihrab
hilang dicuri orang. Setelah tepat satu tahun, pedang tersebut dikembalikan pada pengurus masjid. Ternyata, selama satu
tahun, sang pencuri merasa tak tenang. Bahkan, ia sampai melarikan diri ke berbagai pulau di Indonesia, namun ia tetap tak tenang. Padahal selama melarikan diri, ia meninggalkan pedang tersebut di rumah. Setiap hari, si pencuri mengalami mimpi buruk, hingga akhirnya menyerah di tangan pengurus masjid dan kepolisian.
Bahkan, sebelumnya pernah ada kisah yang lebih tragis. Konon,
suatu saat, seorang anggota kerajaan, R. T. Prabuwinoto, mengganti pagar masjid dan
pagar keraton dengan pagar besi dengan alasan modernisasi. Tak lama setelah pekerjaan tersebut selesai, R. T. Prabuwinoto meninggal tiba-tiba. Konon, memugar Masjid Agung Sumenep dengan alasan modernisasi juga tabu dilakukan.