Pahit getir di Hari Kebebasan Pers
Merdeka.com - Peringatan Hari Kebebasan Pers, 3 Mei tahun ini terasa getir bagi sebagian wartawan. Bagaimana tidak, sudah 15 tahun berlalu, pembunuh Udin belum juga ketemu; beberapa wartawan jadi korban kekerasan karena berita, sebagian yang lain jadi korban intervensi pemilik stasiun televisi.
Sudah begitu, saat mana sejumlah eksponen media merenung dan memaknai kemerdekaan pers pada Hari Kebebasan Pers, dari negeri seberang terdengar kabar: Ketua PWI Margiono dan beberapa pemimpin redaksi ikut ditahan Imigrasi AS karena ketua rombongan kedapatan membawa dolar berlebih. Sedih.
Tentu tidak ada yang salah dengan keikutsertaan mereka dalam rombongan Gubernur Sumsel Alex Noerdin. Apalagi tujuannya mulia: menandatangani MoU dengan Missouri School of Journalisme untuk mengembangkan pendidikan jurnalistik. Yang membuat terhenyak adalah keterangan Humas Pemda Sumsel, bahwa dolar yang berlebih itu adalah uang saku untuk Margiono dkk.
-
Siapa pelaku pembunuhan itu? 'Diduga korban ditusuk ketika dalam keadaan sedang tidur. Ini masih kita dalami,' ujar dia kepada wartawan, Sabtu (30/11).Gogo menjelaskan, terduga pelaku awalnya menikam ayahnya.
-
Kenapa Kejaksaan Agung tahan tersangka? Setelah ditetapkan sebagai tersangka, RD dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan.'Terhitung dari tanggal 29 Maret sampai dengan 17 April,' tutup Ketut.
-
Siapa WNA yang ditangkap Imigrasi? HBR belakangan ditangkap Imigrasi Tanjung Perak dan terancam dideportasi ke negaranya lantaran izin tinggalnya sudah tidak berlaku.
-
Siapa pelakunya? Orang ke-3 : 'Seperti biasa saya menjemput anak saya pulang sekolah sekitar jam tersebut'Karena 22 jam sebelum 5 April 2010 adalah jam 1 siang 4 april 2010 (hari minggu)
-
Dimana WNA itu ditangkap? HBR belakangan ditangkap Imigrasi Tanjung Perak dan terancam dideportasi ke negaranya lantaran izin tinggalnya sudah tidak berlaku.
Apa salahnya mereka mendapatkan uang saku dari sebuah perjalanan panjang dengan tujuan mulia? Ya tentu saja tidak ada yang salah, jika uang itu dari kantong pribadi Alex yang memang peduli dengan kehidupan pers. Jangan pernah menolak kebaikan orang lain, itu pesan dari para tetua. Tunggu saja penjelasan Alex.
Nah, sambil menunggu, sebaiknya perhatikan penyataan Ketua Fraksi Gerindra DPRD Sumsel, Nofran Marjani. Katanya, orang yang diperbolehkan mendapatkan uang saku dari APBD adalah pejabat daerah atau PNS yang melakukan perjalanan dinas. Itu pun harus dianggarkan sebelumnya. "Jika tidak pernah dianggarkan, lalu mereka menerima uang APBD, jelas ini pelanggaran," tegasnya.
Semoga Margiono dkk tidak tersangkut pelanggaran sebagaimana disebutkan Nofran. Berpikir positif saja. Sekali lagi niatnya mulia: mengembangkan pendidikan jurnalistik. Alex tidak sedang bersekongkol dengan Ketua PWI dan pemimpin redaksi. Alex tidak mendikte Margiono dkk untuk membikin berita yang menyokongnya.
Bandingkan dengan kelakuan beberapa pemilik televisi yang juga pemimpin partai dan calon presiden. Sudah sejak dua tahun lalu mereka mengintruksikan para pemimpin redaksi di medianya untuk membuat berita yang menguntungkan diri dan partainya. Jika tidak bikin berita promosi diri, jangan buat berita tentang partai dan calon lain.
Tindakan pemilik televisi itu lebih nyata dalam mengintervensi ruang redaksi. Jika mereka menggunakan media cetak atau pun online, mungkin masih bisa dipahami. Sebab, mereka mengeluarkan duit sendiri untuk membayar kertas, mesin cetak, server, dan bandwith. Tapi karena mereka menggunakan frekuensi, maka dengan dalih apapun tindakan mereka tidak bisa diterima.
Frekuensi adalah milik negara sehingga harus digunakan untuk kepentingan orang banyak. Kontrak mereka dengan negara yang menyewakan frekuensi juga jelas: dilarang menggunakan frekuensi untuk kepentingan pribadi atau golongan. Nah, jika ketentuan ini dilanggar tentu negara bisa bertindak: mencabut izin penggunaan frekuensi.
Tapi rupanya aparat negara yang punya otoritas itu tidak berkutik. Mereka diam saja dengan bermacam alasan. Soalnya yang sederhana, seakan menjadi rumit berbelit-belit. Padahal yang dibutuhkan hanyalah keberanian menyelamatkan frekuensi demi kepentingan publik.
Nah, itu semua kontras dengan apa yang dilakukan Alex Noerdin kan? Apalagi jika segepok dolar untuk uang saku Ketua PWI dan para pemimpim redaksi itu benar-benar dari kantong pribadi.
(mdk/tts)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berikut potret pentolan Pasukan Tjakrabirawa yang memimpin G30S PKI ketika ditangkap di Tegal.
Baca SelengkapnyaAidit dicap orang paling bertanggung jawab dalam G30S/PKI. Umurnya tak panjang.
Baca SelengkapnyaKabar terakhir, Koptu HB sudah diperiksa. Tetapi hingga kini status hukum terhadapnya masih mengambang.
Baca SelengkapnyaKetua Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit jadi buronan Angkatan Darat. Lantaran PKI dicap sebagai dalang aksi Gerakan 30 September 1965.
Baca SelengkapnyaSejumlah pers diberedel pada masa Orde Baru karena mengkritik pemerintah.
Baca SelengkapnyaTNI-AL bertanggung jawab untuk melakukan proses pengobatan terhadap korban.
Baca SelengkapnyaAnggota Dewan Pers Yadi Hendriana menyebut, ada perbedaan mendasar antara KPI dengan Dewan Pers
Baca SelengkapnyaDaftar wartawan di Indonesia yang tewas dibunuh usai meliput kasus sensitif.
Baca SelengkapnyaPolda Jawa Barat akhirnya menghadirkan Pegi Setiawan (PS) alias Perong terkait kasus kematian Vina Cirebon di konferensi pers, Minggu (26/5).
Baca SelengkapnyaBebas Ginting yang disebut-sebut sebagai Ketua AMPI Tanah Karo dipastikannya sudah tidak menjabat sejak 2021.
Baca Selengkapnya1 Oktober 1965, pukul 03.00 WIB, belasan truk dan bus meninggalkan Lubang Buaya. Mereka meluncur ke Pusat Kota Jakarta untuk menculik tujuh Jenderal TNI.
Baca Selengkapnya