Putra pahlawan revolusi: Semua bertanggung jawab dalam tragedi 65
Merdeka.com - Sudah 52 tahun peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI dan satu perwira. Terjadi pada 30 September 1965. Sejak masa reformasi, berbagai upaya penyelesaian tragedi berdarah itu dilakukan.
Namun, nyatanya rekonsiliasi itu belum berjalan baik. Masing-masih pihak yang terlibat dalam peristiwa G30S merasa dirinya sebagai korban. Tak ada keinginan untuk membuka diri. Apalagi mengakui kesalahan yang dilakukan kelompoknya.
Letjen (Purn) Agus Widjojo adalah putra sulung Pahlawan Revolusi Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomihardjo. Dia menilai PKI harus bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka lakukan di tahun 1948, pada 1 Oktober 1965 dan sebelumnya. Mereka melakukan pembunuhan dan meneror masyarakat. Puncaknya adalah membunuh para jenderal di malam kelam tersebut.
-
Mengapa peringatan G30S PKI penting? Peringatan G30S PKI … Jangan Biarkan Masa Kelam ini Terulang Kembali di Masa Depan!.
-
Kapan peristiwa G30S PKI terjadi? Sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 1975, G30S PKI adalah peristiwa pengkhianatan atau pemberontakan yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan atau pengikut-pengikutnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 30 September 1965, termasuk gerakan atau kegiatan persiapan serta gerakan kegiatan lanjutannya.
-
Siapa yang memimpin PKI saat peristiwa G30S PKI? Di mana peristiwa ini dilancarkan oleh PKI yang saat itu dipimpin Dipa Nusantara (DN) Aidit dan Pasukan Cakrabirawa di bawah kendali Letnan Kolonel Untung Syamsuri.
-
Kapan PKI dibubarkan? Sampai pada akhirnya mereka berseteru hingga keberadaannya pun dibredel. Para anggota PKI pun dipecat dari kabinet dan partai merah tersebut dibubarkan.
-
Bagaimana G30S/PKI kalah? Dalam waktu singkat semuanya berantakan. Mayjen Soeharto dengan mudah mengalahkan mereka.
-
Apa tujuan utama G30S PKI? Terdapat latar belakang dan tujuan tertentu yang berada di balik sejarah G30S PKI yang kelam ini. G30S PKI dilakukan bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan saat itu.
Namun setelah itu keadaan berbalik. Giliran ratusan ribu anggota PKI, atau mereka yang dituding PKI menjadi korban dibantai oleh rakyat antikomunis yang dibekingi TNI AD. Di sini fungsi perlindungan negara pada warganya dipertanyakan.
Agus menyaksikan ayahnya dijemput dan tak pernah kembali pada dini hari 1 Oktober 1965. Namun kemudian Agus memilih untuk menghentikan dendam dan menggagas rekonsiliasi di antara dua pihak. Dia tak mau kelak peristiwa semacam itu terjadi lagi di Indonesia.
"Sampai kapan kita mau mewariskan dendam antara sesama anak bangsa," katanya pada merdeka.com.
Pada merdeka.com, Agus bercerita panjang lebar soal peristiwa itu. Bagaimana pula tanggapannya soal isu kebangkitan PKI. Simak wawancara Ramadhian Fadillah, Anisyah Al Fakir, Rendi Perdana dan Muhammad Zul Atsari dengan Letjen (Purn) Agus Widjojo Selasa pekan lalu.
Pernahkah anda terpikirkan untuk balas dendam?
Oh enggak ada. Bagaimana mau balas dendam. Siapa yang saya cari? Memang saya ingin tahu juga, siapa yang bunuh ayah saya, bagaimana cara membunuhnya, mengapa dibunuh?
Kelak itu baru saya dapatkan dari pengetahuan-pengetahuan yang dalam selama saya menjadi perwira.
Tapi ketika peristiwa itu terjadi, saya baru lulusan SMA. Saya tahu soal (G30S) itu karena mendengarkan radio dan melihat warta berita televisi yang masih hitam putih di TVRI.
Kenapa anda saat itu memilih menjadi tentara?
Kepastian masa depan. Saya ingin mencari bidang pengabdian yang bisa meneguhkan hati saya, saya menemukan itu adalah pengabdian dalam keprajuritan.
(Agus Widjojo masuk akademi militer hingga kemudian mencapai pangkat letnan jenderal)
Bukan karena ingin mencari pembunuh ayah anda, atau melakukan aksi balas dendam?
Oh tidak ada.
Saat ini Film soal G30S PKI ramai diputar lagi. Anda adalah saksi mata peristiwa tersebut. Bagaimana anda menilai film itu?
Itu merupakan kenyataan sejarah. Malam itu saya dengar suara sepatu boot dan tusukan bayonet di pintu. Saya dengar suara-suara teriakan. Tapi saya tidak bisa melihat langsung karena saya tidur di kamar sebelah.
Begitu kejadian saya langsung berpikir bahwa saya harus siap menghadapi kemungkinan terburuk ke depannya. Saat itu saya baru lulus SMA. Bisa dirasakan bagaimana tiba-tiba kepala keluarga itu lenyap, lantas bagaimana nasib kita?
Mungkin kalau tidak ada kejadian seperti itu saya tidak bisa menjadi tentara seperti sekarang ini.
Apakah anda memaafkan tragedi 1965?
Berdamai dengan masa lalu. Yang sudah ya sudah. Belum tentu itu memaafkan. Tapi saya terima itu sebagai sebuah kenyataan. Tetapi saya berpikir untuk kepentingan bangsa, bukan saya pribadi, atau untuk membalas dendam walaupun masih ada keinginan dalam diri sendiri masih ada rasa penasaran siapa sih yang bunuh ayah saya itu, itu enggak bias dihindari.
Tapi ke depannya bagaimana kita sebagai masyarakat menghadapi hal itu? Mau terus begini? Saling mendendam? Sampai kapan? Itu saja yang saya pikirkan.
Bagaimana prosesnya hingga anda kemudian menerima kenyataan hingga akhirnya menyuarakan rekonsiliasi antara para eks Tapol dan keluarga pahlawan revolusi?
Tidak gampang itu ya, karena itu proses pencarian. Waktu itu saya mendapat tugas sebagai komisi untuk perdamaian antar Timor Leste dan Indonesia yang angkatan bersenjatanya bersinggungan.
Mulai dari situ saya melihat adanya rekonsiliasi perdamaian dari kedua belah pihak yang sedang bertikai. Dari situ saya melihat bahwa perdamaian adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah pertikaian. Saya memutuskan untuk segera berdamai dengan keluarga pelaku dan juga keluarga korban tahun 65. Rekonsiliasi itu sendiri baru bisa dipahami jika seseorang sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
Dengan situasi memanas lagi seperti saat ini, idealnya rekonsiliasi seperti apa?
Dalam kondisi seperti sekarang ini yang masih rawan setiap kali ada permasalahan, kita harus dekati dengan persamaan. Jangan tonjolkan perbedaan dulu. Tapi apa persamaan kita. Apa persamaan sebagai satu bangsa yang merekatkan kita. Apa persamaan kita? Itu dulu sampai sembuh sakitnya.
Karena masyarakat kita belum cukup dewasa untuk melihat satu masalah kebangsaan dari perspektif perbedaan. Yang sebetulnya bermanfaat untuk kita cari dan ambil pelajaran, justru untuk merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Masyarakat kita belum siap untuk sampai ke situ.
Kenapa rekonsiliasi sulit sekali dilakukan?
Saya setuju satu-satunya jalan untuk berdamai dengan masa lalu adalah dengan rekonsiliasi. Untuk sampai kepada space yang memungkinkan kita berekonsiliasi dengan semua pihak itu memang memerlukan persyaratan yang berat dan persyaratan itu tidak ada dalam masyarakat kita.
Kita belum siap untuk rekonsiliasi. Persyaratan itu adalah bahwa pertama semua harus berdamai dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Semua harus berdamai dengan masa lalunya dulu.
Kalau seperti kemarin kita lihat masing-masing pihak masih menempatkan dirinya dalam konteks 65, dalam peran 65. Ya sudah, kemarin itu Indonesia masih berada seperti di tahun-tahun itu.
Kita tidak bisa menempatkan diri sebagai manusia di tahun 2017 dan mengadakan refleksi untuk melihat tragedi 65 dari perspektif indonesia tahun 2017.
Rekonsiliasi itu tidak menuding-nuding berbagai pihak. Apabila kita dari masing-masing pihak mengadakan refleksi dan introspeksi terhadap diri sendiri. Itu belum ada sifat di masyarakat kita.
Kalau kita lihat dulu ada Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang memotori rekonsiliasi. Kini dengan situasi memanas seperti ini, apa tidak mundur lagi rekonsiliasi?
Ya kita untuk maju dan mendorong supaya mencapai kondisi rekonsiliasi secarasubtansif. Rekonsiliasi kumpul-kumpul bersama sudah banyak. Forum Silaturahmi Anak Bangsa, yang kita adakan sendiri di situ ada anak Aidit, Kartosuwiryo, tapi sekedar untuk duduk bersama dan makan bersama.
Tapi tidak secara substantif untuk mendorong masuk dengan mencari pengungkapan kebenaran. Guna memutar film, melihat pihaknya masing-masing, apa yang terjadi, di mana tanggung jawab pihaknya. Bukan tanggung jawab yang lain dalam tragedi 65.
Karena dalam tragedi 1965, masing-masing pihak sampai tingkat tertentu pasti punya tanggung jawab dan tidak bisa mempersalahkan kepada satu pihak. Semua harus bertanggung jawab karena ini merupakan proses dan tragedi yang menyebabkan sebab dan akibat.
Kalau dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa tatanannya sudah pada intropeksi diri atau bagaimana ?
Tidak ada hukum di Indonesia untuk membuat orang sampai ke tingkat itu. Forum itu sebenarnya sudah bagus, bisa berkumpul, bisa menyatu dengan anak korban dan pelaku. Tapi kelemahan dari rekonsiliasi semacam itu tidak ada pelajaran yang dipetik. Apa yang salah dari masa lalu. Bagaimana agar tidak terulang kembali sekarang ini?
Beberapa waktu lalu diskusi di LBH yang dihadiri eks Tapol sempat dibubarkan. Tanggapan anda?
Kelemahan even yang diadakan di LBH adalah pertama, dia banyak mengumpulkan dari kelompok yang banyak sejalan dengan pemikirannya. Kalau itu ya kita akan makin mabuk.
Kedua berbicara akan meneruskan sejarah. Siapa pun tidak ada yang memiliki kewenangan meluruskan sejarah. Tidak pula sejarawan.
Kedua pihak harus datang dan duduk bersama. Di mana letak tanggung jawab kelompoknya terhadap tragedi 65 itu. Semua dilandasi keinginan yang sama untuk bersatu kembali dengan berdamai pada diri sendiri dan dengan masa lalu. Itu berat. Itu susah. Saya tidak percaya itu ada pada masyarakat Indonesia saat ini.
Rekonsiliasi itu artinya pendekatan. Tidak bisa satu pihak mengaku sebagai korban. Ya tidak bisa dong. Itu sudah berpihak, dan korban tragedi 65 ini ada di mana-mana. Karena korban ada di mana-mana. Jadi, tidak satu pihak. Kita tidak bisa tarik garis, sana hitam, sini putih. Begitu juga sebaliknya. Maka tidak akan tercapai penyelesaian masalah seperti itu.
Jadi pertemuan ini hanya menambah polarisasi dengan kelompoknya saja dan kita akan susah bergerak untuk mencapai rekonsiliasi.
Kalau dulu, saat Saya simposium di Hotel Arya Duta banyak healing proses dan juga truth seeking. Biarkan semua pihak bicara agar kita semua tahu. Kalau kemarin yang di LBH kan cuma satu pihak yang ingin mencoba meluruskan sejarah. Tidak ada itu sebenarnya, jika mereka ingin meluruskan sejarah, itu versi dia. Jadi masyarakat kita belum siap untuk rekonsiliasi.
Simposium Tragedi 1965 di Aryaduta sempat mencuri perhatian. Kedua belah pihak dihadirkan untuk duduk bersama dan disaksikan banyak pihak. Apakah nanti akan ada simposium lanjutan?
Harus dilalui dengan proses pencerahan terlebih dahulu kepada semua pihak terhadap apa yang akan direkonsiliasi. Apakah kita sepakat untuk melalui rekonsiliasi? Apa kita mau terus fanatik, saling memusuhi, sampai kapan? Dikasih dengan cara-cara apapun itu tidak akan menyelesaikan.
Masyarakat kembali memanas dan menyangkut-pautkan berbagai hal dengan PKI. Menurut Anda, bagaimana masyarakat saat ini harus bersikap terhadap isu komunisme?
Bawalah kepada fakta dan bagaimana menyikapi kondisi seharusnya. Sebetulnya rambu-rambu hukum sudah cukup kuat, terutama TAP MPRS tahun 1966. Turut menyebarkan ajaran komunisme yang diancam dengan hukuman-hukuman tertentu. Tegakkan lagi seperti itu.
Hanya mungkin memang, hukum itu belum konkret yang dinyatakan sebagai menyebarkan ajaran komunisme yang bagaimana, jangan sesuatu yang sifatnya sangat umum.
Seperti misalnya oleh-oleh kaos palu arit yang dijual bebas di Vietnam. Kalau memang itu mau dilarang di Indonesia, cantumkan peraturan itu dalam undang-undang. Itu pun harus dengan konkret agar semua tahu akan hal itu.
Lantas apa yang dikatakan sebagai penyebaran paham dan ajaran komunisme, harus diperjelas juga maksud dalam undang-undang tersebut.
Bagaimana tanggapan anda terkait kembali memanasnya isu kebangkitan PKI?
Kalau tidak ada kondisi yang sengaja membuat masalah itu muncul maka dia tidak akan muncul. Mungkin juga dia malah diimbangi dengan masalah lain yang bersifat lebih mendesak. Sebenarnya luka itu belum sembuh (tragedi 65).
Menurut Bapak siapa yang memainkan isu ini?
Ya campur aduk sih. Segala cara digunakan untuk mencapai tujuannya yang beraneka ragam dan pasti itu tujuan politik.
Sebetulnya ketakutan masyarakat kepada PKI saat itu karena apa?
Karena dibuat dalam kemasan informasi yang menakutkan dan itu sebenarnya belum tentu benar. Informasi-informasi tidak benar ini yang disebarkan terus menerus.
Padahal sebenarnya ancaman terhadap Pancasila itu bukan hanya dari komunis saja. Kalau istilah yang diangkat dalam orde baru ekstrem kiri dan ekstrem kanan.
Kalau ekstrem kiri itu ada kemungkinan untuk datang kembali. Apakah ekstrem kanan tidak akan muncul kembali? Tanya orang Jawa Barat sekarang ini, dari mana gerakan-gerakan intoleransi. Dari wilayah sabuk yang dulu merupakan basis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.
TNI AD hingga saat ini masih terdepan untuk memerangi segala hal berbau komunis. Dari pengalaman anda, sebenarnya seperti apa doktrin yang diterima TNI AD soal komunisme ini?
Ya memang benar. Tahun 1948 mereka (PKI) berontak. Sebetulnya 1963 mereka beralih strategi. Mereka memaksakan kebijakan-kebijakan yang pro komunis dan mereka menjadi anak emasnya Presiden Soekarno. Ada isu land reform, membagikan tanah.
Lalu ada rencana angkatan kelima, mempersenjatai buruh tani guna bisa menandingi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, dan itu khas negara komunis. Ini mereka desakkan setelah mereka memenangkan hati dan pikiran Presiden Soerkarno. Semakin intens lagi setelah mereka mendengar informasi desas-desus sakitnya Bung Karno dan tidak akan lama lagi bisa dikendalikan hidup Bung Karno. Yang menentang itu paling gencar adalah Angkatan Darat. Tapi Angkatan Darat lebih bersifat defensif.
Nah mungkin PKI ini yang terpancing "kapan nih kita bertindak. Kalau kita terlambat bertindak kita keduluan Angkatan Darat'. Mereka terpancing untuk masuk.
Penculikan ini merupakan tradisi di tentara. Misal ada peristiwa Rengasdengklok. Nah ini kan kultur politik dulu, yang dilaksanakan oleh elemen-elemen yang tidak profesional. Aksi mereka langsung gagal. Tidak ada plan B karena mereka semua amatiran.
Mereka juga menanamkan dendam di hati masyarakat. Tanya anggota HMI, Anshor, budayawan, itu semua diintimidasi oleh Pemuda Rakyat. Ada tuh anggota Babinsa yang digorok karena berusaha melawan. Aksi seperti apa, aksi sepihak.
Jadi ketika saya duduk bersama anaknya Aidit, dan saya juga dipertanyakan oleh teman-temen saya, 'ngapain duduk semeja dengan pembunuh ayahmu Gus?' Saya tidak permisif dengan tindakan saya itu, tetapi saya ingin memaksakan PKI harus ikut bertanggungjawab atas peristiwa 65.
Tanggung jawab dong, di mana letak tanggung jawabmu? Saya ingin mengatakan PKI-PKI itu tangannya ikut berlumuran darah. Kenapa kalian tidak pernah mengatakan bahwa sebelum 1 Oktober 65 sebelum jam 4 pagi. Jam 4 pagi masih terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh PKI. Apalagi sebelum-sebelumnya tahun 48. Kuburan masal itu banyak. Kenapa tidak pernah disinggung? Itu yang mau saya paksakan untuk diakui. Saya katakan, adakan refleksi dan intropeksi pada diri kalian sendiri.
Dari kubu yang anti-PKI juga alasannya untuk mencegah korban yang lebih banyak yang diakibatkan oleh PKI, itu bisa dipertimbangkan. Tapi kalau sampai bertahun-tahun bela diri namanya bukan bela diri tapi ada keterlibatan langsung dan ini yang tidak diakui dari sisi anti PKI.
PKI tidak mengakui pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum '65 dan mereka merasa tidak bersalah dan merasa menjadi korban dan di sini ada yang mengatakan negara tidak mungkin bersalah. Padahal negara punya tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya.
(mdk/ang)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Lembar kelam pelanggaran HAM yang tak kunjung menemukan titik cerah. Begini ceritanya!
Baca SelengkapnyaSimak foto langka suasana di Jakarta usai tragedi G30S. Banyak tank berkeliaran memburu anggota PKI.
Baca SelengkapnyaSoekarno tak pernah diberi kesempatan membersihkan namanya.
Baca SelengkapnyaBanyak spekulasi tentang keterlibatan CIA dan dinas rahasia AS dalam peristiwa G30S/PKI. Bagaimana sebenarnya?
Baca SelengkapnyaSeorang perwira militer Australia kaget setengah mati lihat seorang tahanan PKI berkali-kali ditembak tak mempan oleh TNI.
Baca SelengkapnyaAnies Baswedan menyinggung tragedi KM50 kepada capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo dalam debat Capres perdana.
Baca SelengkapnyaTangis kesedihan pecah saat pemakaman Kapten Pierre Tendean korban peristiwa G30S PKI.
Baca SelengkapnyaBuku diterbitkan bertepatan gerakan melawan lupa 17 tahun aksi Kamisan terhadap 13 korban aktivis 97-98
Baca Selengkapnya