PKI itu juga berdarah-darah
Merdeka.com - Persoalan 65 masih menjadi perdebatan panjang. Selepas Simposium Nasional diadakan di Hotel Aryaduta beberapa waktu lalu, giliran para purnawirawan menggelar simposium serupa. Agendanya jelas, mereka menolak meminta maaf kepada PKI.
Ketua Simposium Nasional Anti-PKI, Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan, keberatan dan menolak hasil simposium jika pemerintah dan TNI dipermasalahkan dalam peristiwa 65. Menurut dia, peristiwa 65 adalah konflik horizontal, korbannya adalah kedua belah pihak. Adapun menurut Kiki, operasi militer kala itu disebut sebagai upaya penyelamatan untuk mencegah korban lebih banyak dari kedua belah pihak.
"Pasti kalau tidak ada operasi masih banyak korban lagi," ujarnya saat berbincang dengan merdeka.com di Balai Kartini, Rabu kemarin.
-
Siapa yang memimpin PPKI? Sejak kekelahan Jepang atas Sekutu, ia menjadi anggota dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersama Ahmad Subarjo, Kasman Singodimedjo, dan tokoh-tokoh penting lainnya.
-
Siapa yang memimpin Sidang PPKI? Sidang bersejarah itu dipimpin oleh Soekarno.
-
Kapan PKI dibubarkan? Sampai pada akhirnya mereka berseteru hingga keberadaannya pun dibredel. Para anggota PKI pun dipecat dari kabinet dan partai merah tersebut dibubarkan.
-
Kapan pembantaian PKI terjadi? Saat peristiwa pembantaian para anggota PKI yang terjadi pada kurun waktu tahun 1965-1967, Pak Darmadi masih duduk di kelas 4 SD.
-
Apa tujuan Suparna Sastra Diredja bergabung dengan PKI? Pasca pembacaan teks proklamasi, Suparna memiliki ideologi politik kiri bersama Partai Komunis Indonesia terutama pada 1950-an.
Berikut petikan wawancara Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri kepada Marselinus Gual dari merdeka.com di sela-sela hari pertama Simposium Anti PKI.
Simposium ini disebut sebagai tandingan, apa yang menjadi keberatan para purnawirawan?
Kami tidak menyebut ini simposium tandingan, mungkin lebih tepat disebut simposium pelurusan. Kenapa harus ada simposium ini, karena sudah jelas-jelas simposium di Aryaduta itu kalau dilihat dari tor, saya juga kan diminta sebagai pembicara, hasil yang diinginkan mereka itu adalah permintaan maaf, mereka menempatkan diri sebagai korban dan kita ditempatkan sebagai pelaku. Lalu kemudian harus minta maaf, lalu ada proses yudisial untuk permintaan maaf, tidak mungkin dong bisa rekonsiliasi seperti itu. Siapa yang mau?. PKI itu bersih? Ia kan berdarah-darah juga.
Yang dilakukan TNI dan umat Islam adalah reaksis karena pembunuhan yang dia lakukan. Bahkan setelah peristiwa G 30 S kan mereka masih bunuh juga di Banyuwangi dan di Blitar. Ada operasi Trisula namanya di Blitar waktu itu. Jadi kalau rekonsiliasi, cara itu tidak mungkin. Maka kita harus mengajukan, rekonsiliasi juga keinginan kita. Tadi saya katakan, bangsa yang majemuk ini membutuhkan kondisi integrasi nasional. Jadi ada kesatuan bangsa begitu kan. Lalu di satu pihak ada masa lalu kita seperti itu sehingga di situlah kita butuh rekonsiliasi. Tetapi rekonsiliasi yang adil dong, jangan menyalahkan pihak yang lain dan minta maaf, tidak bisa dong kalau begitu. Jadi yang ada harus saling memaafkan, mari kita lupa yang dulu dan kita lihat ke depan.
Artinya simposium ini merupakan bentuk pelurusan?
Ya pelurusan begitu.
Simposium di Aryaduta banyak Jenderal tidak hadir, apa alasannya?
Ya itu tadi. Kalau hasilnya seperti itu siapa yang mau.
Simposium kemarin kan diwadahi pemerintah, apa para purnawirawan dan para jendral dalam tanda kutip takut pada hal yang memang tidak mau diungkapkan?
Lho bukan tidak mau diungkapkan. Silakan ungkapkan. Tetapi jangan hanya sebelah pihak. Nah, sekarang tahu tidak kan klaim katanya 500 ribu katanya PKI yang jadi korban, terakhir berapa yang mereka jumlahkan, 13 ribu katanya yang terakhir. Jadi angka itu angka politis. Hati-hati makanya. Dari 15 ribu ke 13 ribu korban memangnya tawar-menawar di Tanah Abang!.
Berapa jumlah korban sebenarnya?
Ya saya tidak tahu. Waktu itu kan saya SMA kelas 2. Kita tidak mengerti dan itu kan konflik-konflik horizontal. Bagaimana mendata itu? Dari pihak TNI pasti ada data, tetapi dari pihak umat Islam yang menjadi korban pasti susah untuk mendapatkannya kan. Kan mereka di deret satu tempat dan masuk satu lubang dan dikubur. Jadi susah mendatanya.
Banyak yang beranggapan negara melakukan pembiaran pada saat itu, bagaimana tanggapan Anda?
Kalau begitu kita tidak setuju. Siapa yang bilang begitu? Itu kan Dani Subroto yang bilang begitu kan. Lalu kemudian yang menjadi gara-gara siapa sih, kan PKI duluan. Direspon oleh masyarakat bersama-sama TNI. Sekarang kalau TNI pada waktu itu tidak menurunkan operasi barangkali lebih banyak lagi yang mati akibat konflik horizontal itu.
Artinya korban yang di PKI-kan itu menjadi bias dari konflik horizontal itu?
Bukan. Yang menjadi korban itu dari kedua belah pihak. Pasti kalau tidak ada operasi masih banyak korban lagi. Nah, yang sukses di Jawa Barat. Karena pasukan di Siliwangi turun awal sekali maka minim sekali itu angka korban dari kedua belah pihak di Jawa Barat. Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali tidak siap pada waktu itu makanya didatangkan RPKAD dari sini kan sehingga korban menjadi banyak.
Anda sendiri setuju merehabilitasi korban dari kedua belah pihak ini?
Apalagi yang harus direhabilitasi? Jangan diulang-ulang, apalagi yang harus direhabilitasi? Sekarang hak politik dan sipil mereka kan sudah kembali. Yang menjadi TNI dan Polri sudah banyak. Apalagi yang harus direhabilitasi. Justru yang minta-minta itu tendensius buat saya, untuk apa? Hanya menimbulkan keributan saja.
Rekomendasi simposium ini apakah nantinya untuk saling memaafkan dan tidak perlu lagi membahas masalah PKI?
Yah. Jadi saya kira, harus ada kesadaran bersama untuk bangsa ini butuh melihat ke depan untuk membangun anak-cucu kita. Sekarang pendapat perkapita kita berapa? Harus naik kan! Infrastruktur kita masih lemah, harus dibangun begitu kan. Kita harus lihat ke situ. Lalu kalau kita ribut terus bagaimana ke depan gitu kan. Dan aksi-aksi seperti itu untuk meminta maaf, HAM dan peradilan pasti menimbulkan keributan.
Jadi ini bukan suatu kekhawatiran akan munculnya ideologi komunis?
Kita sadar dan yakin komunis global ini sudah jatuh. Tidak mungkin bisa di mana-mana. China apa? Hanya sistem politiknya yang komunis, ekonominya liberal juga, kapitalis juga kan. Soviet sama. Kuba juga mungkin akan meninggalkannya dan tidak seratus persen juga. Naif kalau bilang ini takut akan kebangkitan komunisme. Tidak mungkinlah. Yang terjadi di Indonesia adalah anak-anak atau cucu-cucu eks PKI yang kelihatan motifnya itu adalah ingin balas dendam. Tetapi saya kira ini sebagian kecil. Sebagian kecil ini dimanfaatkan orang lain yang kita tidak tahu untuk bikin simposium dan peradilan kah sampai si Todung ke Belanda, digosok-gosok seperti itu akhirnya ribut seperti ini kan. Di belakang itu kelihatan hanya ingin Indonesia ribut saja.
Beberapa waktu lalu ramai soal kasus lambang palu arit, apakah itu suatu pembenaran akan bangkitnya PKI?
Sekarang begini, itu kan lambang PKI. PKI sudah dilarang secara konstitusional. Ya seharusnya ditiadakan dong aturan itu. Sekarang saya tanya balik, di Jerman kalau ada yang pakai lambang Nazi ditangkap tidak? Kan sama juga.
Lalu bagaimana dengan pembubaran diskusi belakangan sering terjadi, bukan kah itu kontraproduktif dengan sistem demokrasi kita?
Pembahasan buku atau diskusi sebuah buku dihadiri berimbang oleh kedua belah pihak untuk kepentingan ilmu pengetahuan, OK. Tetapi pembahasan ini kan lain lagi tujuannya. Sekarang ini di Youtube sudah mulai berkurang, tetapi USB beredar di kalangan masyarakat. Lalu nanti video itu, rekayasa, nanti dilihat pembunuhan oleh TNI terhadap PKI yang jadi korban. Terus di copy dan beredar seperti itu. Kan itu tujuannya untuk apa? Kalau untuk pengetahuan bersama, it's OK, tidak ada masalah. Tetapi pertanyaan saya apakah seperti itu yang mereka lakukan, kan tidak. Justru untuk menghukum suatu pihak dan membenarkan suatu pihak. (mdk/arb)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
TNI versus Tokoh PKI Kebal Peluru, apa yang dilakukan untuk melawan PKI?
Baca SelengkapnyaMegawati menegaskan, Indonesia merdeka berkat perjuangan para pahlawan.
Baca Selengkapnya