Mobil Listrik Bakal Makin Banyak Varian di Era Prabowo
Konversi kendaraan berbahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan listrik menjadi fokus utama dalam kebijakan energi pada masa pemerintahan Presiden Prabowo.
Menindaklanjuti instruksi dari Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera mengadakan rapat pimpinan (rapim) untuk memperkuat langkah-langkah menuju swasembada energi. Dalam rapat ini, beberapa inisiatif yang dibahas mencakup peningkatan lifting minyak serta konversi kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) menjadi listrik.
Wakil Menteri ESDM, Yuliot, menekankan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk membahas indikator kinerja utama yang perlu dicapai oleh para pejabat Eselon I di Kementerian ESDM. "Rapat ini untuk memastikan setiap direktorat teknis memiliki kinerja yang selaras dengan arahan Presiden. Kita menetapkan apa saja yang bisa dicapai sesuai dengan target," ungkap Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (23/10).
Yuliot juga menjelaskan bahwa arahan Presiden Prabowo dalam sektor energi menekankan dua hal penting, yaitu ketahanan energi dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang efektif untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. "Pertama, bagaimana memastikan ketahanan energi. Kedua, pengelolaan SDA harus optimal agar bisa mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," ujarnya.
Lebih lanjut, Yuliot menegaskan pentingnya kontrol penuh oleh Kementerian ESDM dalam pelaksanaan program-program tersebut, tanpa bergantung pada kementerian atau lembaga lain. "Kita ingin memastikan kinerja tetap berada dalam kendali Kementerian ESDM, meski koordinasi dengan kementerian lain tetap diperlukan agar target dapat tercapai," tambahnya.
Untuk mencapai swasembada energi, Kementerian ESDM akan fokus pada peningkatan lifting minyak yang saat ini sekitar 600.000 barel per hari. Yuliot menekankan perlunya peningkatan produksi minyak sesuai dengan target nasional untuk mendukung ketahanan energi. Selain itu, konversi kendaraan BBM ke listrik juga menjadi prioritas. "Semakin banyak penggunaan kendaraan listrik, konsumsi BBM akan berkurang. Ini salah satu strategi penting kita," jelas Yuliot.
Untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM), salah satu langkah yang diambil adalah dengan mengoptimalkan program Bahan Bakar Nabati (BBN) yang saat ini berada di level B35. Pemerintah memiliki rencana untuk meningkatkan campuran biodiesel hingga mencapai B40, B50, dan B60. "Saat ini masih di B35, tapi ada rencana untuk naik ke B40, B50, dan B60. Tentu hal ini membutuhkan kebijakan pendukung, termasuk terkait bahan baku biosolar yang berasal dari kelapa sawit. Kita akan mendorong pelaku usaha yang belum mengekspor produk sawitnya untuk memasarkan di dalam negeri sebagai bahan baku biosolar," pungkas Yuliot.
Langkah-langkah seperti peningkatan lifting minyak, konversi kendaraan, serta pengembangan bahan bakar nabati merupakan bagian penting dari strategi pemerintah untuk mencapai kemandirian energi. Selain itu, inisiatif ini juga bertujuan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, sehingga dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan. Dengan adanya kebijakan yang mendukung, diharapkan penggunaan BBN dapat meningkat dan mengurangi ketergantungan pada BBM fosil.
Prabowo berencana mengembangkan biodiesel B60, sementara pengusaha sawit mengingatkan agar tidak terburu-buru
Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto berencana untuk meningkatkan produksi biodiesel, atau bahan bakar minyak campuran sawit, hingga mencapai 60 persen (B60). Menanggapi rencana ini, Eddy Martono selaku Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) melihatnya sebagai peluang besar untuk mengoptimalkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Meskipun demikian, Eddy percaya bahwa pemerintah tidak akan bertindak sembarangan dalam menjalankan program biodiesel, terutama saat produksi sawit dalam negeri masih stagnan. "Saya sangat yakin pemerintah tidak akan gegabah mengimplementasikan B50 selama produksi masih stagnan seperti," ungkap Eddy dalam konferensi pers yang berlangsung di Kantor Pusat Gapki, Jakarta Pusat, pada Selasa (22/10/2024).
Menurut Eddy, jika pemerintah terburu-buru dalam menerapkan program biodiesel, hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap ekspor sawit Indonesia. Ia memperingatkan bahwa keputusan yang tergesa-gesa bisa mengakibatkan penurunan devisa negara. "Yang akan dikorbankan, betul, pasti ekspor. Yang kedua, bagaimana nanti dengan ekspor, devisa ekspor. Yang ketiga adalah siapa yang akan membiayai B50 tersebut? Kalau ekspornya kurang, misalkan B35 saat ini kan pembiayaan dari pungutan ekspor," jelasnya. Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dengan matang setiap langkah yang diambil agar tidak merugikan sektor sawit yang vital bagi perekonomian nasional.
Kurangi volume ekspor
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Gapki, implementasi kebijakan B40 diprediksi dapat mengurangi jumlah ekspor sebesar 2 juta ton. Sementara itu, jika kebijakan B50 diterapkan, pengurangan ekspor sawit bisa mencapai 6 juta ton. “Sekali lagi saya meyakini bahwa pemerintah tidak akan gegabah selama produksi tidak mencukupi. Dengan B40 saja, kalau diimplementasikan ini, ekspor kita akan turun 2 juta ton. Kemudian kalau kita memaksakan B50, ekspor kita akan turun 6 juta ton dari rata-rata di 30 juta ton,” ujar Eddy.
Lebih lanjut, Eddy mengingatkan agar pemerintah mempertimbangkan dampak inflasi yang mungkin terjadi jika pasokan ekspor sawit Indonesia berkurang. Indonesia sendiri akan merasakan efek dari penurunan tersebut. “Apabila supply kita berkurang ke dunia, pasti harga juga akan naik, harga minyak nabati dunia. Ujung-ujungnya apa, nanti akan berdampak juga pada inflasi juga bagi kita dengan mahalnya nanti segala produk dari sawit,” jelasnya.