DPR Dorong Pemerintah Buat RUU Hak Asuh Anak Korban Perceraian
Komisi VIII DPR beraudiensi dengan Kementerian PPPA kemarin.
Dorongan ini disampaikan anggota DPR usai beraudiensi dengan Kementerian PPPA.
DPR Dorong Pemerintah Buat RUU Hak Asuh Anak Korban Perceraian
Anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriany Gantina mendorong pemerintah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Pengasuhan Anak. Ini disampaikan Selly usai beraudiensi dengan Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) di Gedung KemenPPPA, Jakarta. "Hari ini saya mendampingi ibu pejuang anak yang memang ingin mendapatkan hak-hak mereka kepada negara, agar bisa dipertemukan kembali dengan anak-anak mereka karena pasca perceraian" kata Selly kepada wartawan di KemenPPPA, Jakarta, Senin (14/8).
Ia menjelaskan, audiensi dengan KemenPPPA menghasilkan dua solusi.
Pertama, solusi jangka pendek yaitu segera membentuk Satgas untuk menjembatani para ibu agar bisa bertemu kembali dengan anaknya usai perceraian.
Kemudian, untuk jangka panjangnya akan membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Pengasuhan Anak. "Kita juga memahami bahwa ada banyak sekali celah-celah kosong yang harus diselesaikan oleh negara, karena memang bagaimana korban-korban perceraian yamg terjadi pada orang tua yang menyebabkan psikis anak ini kan bukan hanya anak kepada yang merebutkan," jelas Selly. "Tapi juga anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang harus dipisahkan dengan adik mereka juga mengalami depresi, sehingga kami menganggap bahwa negara harus hadir di situ," sambung Selly.
Menurutnya, tidak cukup satu kementerian saja dalam mengatasi masalah tersebut.
Melainkan, harus melibatkan beberapa kementerian atau lembaga.
"Ada Kemenkum HAM, Kementrian Pengadilan Agama, Kepolisian, kita akan libatkan Kementerian Sosial dan yang pasti semua kementerian termasuk pemerintah daerah. Karena, memang kita ingin penanganan ini dilakukan secara sinergi dan serius,"
ujar Selly.
merdeka.com
Saat disinggung apakah nantinya Komisi VIII akan mendorong adanya sanksi pidana, Selly membenarkan. "Bahwa mengenai pengasuhan anak ini tidak lagi berbicara tentang singel pengasuhan, tapi harus sharing pengasuhan. Sehingga, mau tidak mau apabila terjadi salah pengasuhan maka harus diberlakukan pidana terhadap salah satu pihak baik itu ayah ataupun ibu yang memang pada saat ditetapkan di pengadilan mereka tidak menyepakati apa yang diputuskan oleh pengadilan," tegas Selly. "Sanksi inilah yang akan memberikan efek jera kepada salah satu pihak, dan anak ini bukan barang," tambah Selly.
Menurut Selly, ketegasan lewat sanksi bisa memberikan kepastian terhadap anak korban perceraian. Misalnya hak pendidikan dan perlindungan.
"Sehingga, negara harus juga bisa memfasilitasi itu semua dan kemudian kami juga harus menerapkan lembaga apa yang bisa melindungi masing-masing pihak," kata Selly.
Sementara itu, Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Rini Handayani menambahkan, jika adanya perceraian dari pasangan suami-istri, maka anak tetap mendapatkan haknya dari orang tua.
"Tapi di mana penempatan hak itu akibat dari keterpisahan orang tua. Ini juga yang sebenarnya menyatakan suara anak itu sendiri, jadi tidak bisa dan putusan walau memang Undang-Undang sudah menyatakan 12 tahun hak asuh ada di ibu, tapi hak asuh itu tidak tetap harus ada di sana," ujar Rini. "Apabila terjadi pelanggaran-pelanggaran hak yang diperoleh oleh anak, jadi itu bisa dialihkan kepada ayah. Tapi intinya anak tidak bisa memilih, dia mau diasuh oleh siapa anak ingin lahir dan batin karena ada di orang tuanya. Nah kitalah menyebabkan anak-anak kita yang menjadi korban," sambung Rini.
Menurut Rini, masalah yang dihadapi anak dampak perceraian orang tuanya merupakan fenomena gunung es. Karena itu, pemerintah harus segera membuat regulasi khusus.
"Kalau dilihat angka perjalanan itu sangat tinggi angka perceraian, maka fokus adalah untuk upaya pencegahan bagaimana penguatan kualitas keluarga. Sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus yang seperti ini," kata Rini. "Kami dalam upaya pencegahan tentu regulasi tadi ada kekosongan hukum, karena tidak ada satu mandat pun kepada lembaga manapun untuk melakukan seperti penarikan anak apabila tidak sesuai dengan amar putusan pengadilan dan juga tidak belum diatur secara detail terkait dengan eksekusi keputusan pengadilan," tutup Rini.