Empat Terdakwa Dugaan Korupsi Pemanfaatan Aset Pemprov NTT di Labuan Bajo Divonis Bebas, Ini Alasan Hakim
Empat terdakwa kasus dugaan korupsi pemanfaatan aset milik pemerintah provinsi NTT di Labuan Bajo divonis bebas.
Sidang pembacaan putusan kasus terdakwa, Thelma Bana, Direktur PT SIM Heri Pranyoto, Direktur PT SWI Lidya Sunaryo dan pemegang saham PT SIM Bahasili Papan ini digelar di Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang, Rabu, (3/4) tadi malam.
Empat Terdakwa Dugaan Korupsi Pemanfaatan Aset Pemprov NTT di Labuan Bajo Divonis Bebas, Ini Alasan Hakim
Empat terdakwa kasus dugaan korupsi pemanfaatan aset milik pemerintah provinsi NTT di Labuan Bajo yang telah dibangun Hotel Plago di vonis bebas oleh majelis hakim.
Sidang pembacaan putusan kasus terdakwa, Thelma Bana, Direktur PT SIM Heri Pranyoto, Direktur PT SWI Lidya Sunaryo dan pemegang saham PT SIM Bahasili Papan ini digelar di Pengadilan Negeri Kelas IA Kupang, Rabu, (3/4) tadi malam.
Sidang dihadiri oleh para terdakwa didampingi penasehat hukumnya masing-masing, dari Thelma Bana ditemani tim kuasa hukumnya, Melkzon Beri, dan Melkianus Ndelmau.
Sedangkan tiga terdakwa lainnya, ditemani tim advokasi peduli dan selamatkan Pantai Pede, yang terdiri dari Yanto MP Ekon, Khresna Guntarto, dan Brigjen TNI (Purn) Jamaruba Silaban.
Putusan Hakim
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan para terdakwa secara sah dan meyakinkan tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).
"Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan penuntut umum. Memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Memulihkan hak dari terdakwa dalam harkat dan martabatnya. Membebankan biaya perkara kepada negara," kata Ketua Majelis Hakim Sarlota Marselina Suek.
Majelis hakim juga memerintahkan agar tanah dan bangunan Hotel Plago yang telah diambil alih oleh Pemprov NTT, untuk dikembalikan kepada PT SIM melalui direktur Heri Pranyoto.
"Menetapkan tanah dan bangunan dikembalikan kepada PT Sarana Investama Manggabar melalui Direktur Heri Pranyoto," ucap Ketua Majelis Hakim.
Dirinya menyebut, dakwaan yang digunakan jaksa penuntut umum (JPU) yakni para terdakwa melanggar permenkeu tentang sewa menyewa tidak bisa dibenarkan. Hal itu karena dalam Undang-Undang Tipikor mengatur perbuatan yang melawan hukum formil.
"Artinya perbuatan itu harus bertentangan dengan peraturan perundangan. Dalam fakta persidangan tidak ada satupun aturan mengenai perhitungan dalam perjanjian (BGS) bangun guna serah, tidak ada perbuatan melawan hukum disitu,"
jelas Jamaruba Silaban.
merdeka.com
Sesuai dengan keterangan ahli dalam persidangan bahwa tidak ada aturan mengenai perhitungan kontribusi semuanya kembali ke asas kebebasan berkontrak.
"Dan ketika dituangkan kedalam perjanjian BGS, maka sesuai dengan asas Pacta Sunt Servanda, perjanjian itu mengikat para pihak. Maka dari itu tidak ada perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan terdakwa," ungkap Jamaruba Silaban.
Penasehat hukum terdakwa, Khresna Guntarto menyebut jaksa dalam kasus ini mengada-ngada kasus korupsi hingga menjerat kliennya. Menurutnya, kasus ini membuktikan bahwa jaksa telah mengkriminalisasi investor yang memiliki niat baik di NTT.
"Buat apa capek-capek jaksa penyidik hingga JPU merangkai kasus ini seolah-olah ada kerugian negara yang pada akhirnya tidak terbukti sama sekali. Sungguh amat sia-sia keuangan negara dihabiskan aparaturnya sendiri dalam mengada-ngada sebuah kasus," protes Khresna Guntarto, Kamis (4/4).
Ia berharap agar kedepannya kasus-kasus yang dimensinya perdata terutama BGS tidak dikriminalisasi.
"Karena bagaimanapun (dalam perjanjian BGS) itu pihak swasta yang membangun, mengeluarkan uang dan memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah, jangan sampai investor dizalimi. Karena kalau ini terus terjadi orang jadi takut untuk berinvestasi,"
tutup Khresna Guntarto.