Faktor Warga Mengambil Paksa Jenazah Covid-19
Merdeka.com - Ratusan warga Dusun Orong Ranjok, Desa Mekarsari, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, berbondong-bondong mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Senin (6/7) malam. Kedatangan mereka menjemput paksa jenazah pasien positif Covid-19 yang merupakan warga asli Desa Ranjok.
Warga tidak terima bila jenazah kerabatnya itu dikremasi berdasarkan protokol Covid-19. Mereka tidak percaya dengan pernyataan pihak RSUD Kota Mataram yang menyatakan bila jenazah perempuan berinisial M itu meninggal dunia karena positif Covid-19.
Aksi warga itu dinilai disebabkan dua faktor. Pertama faktor konformitas.
-
Kenapa kasus Covid-19 naik? Kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
-
Apa dampak pandemi Covid-19? Pandemi Covid-19 mengubah tatanan kesehatan dan ekonomi di Indonesia dan dunia. Penanganan khusus untuk menjaga keseimbangan dampak kesehatan akibat Covid-19 serta memulihkan ekonomi harus dijalankan.
-
Mengapa Covid-19 menjadi pandemi global? Pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu peristiwa paling berdampak di abad ke-21. Penyakit yang disebabkan oleh virus corona jenis baru ini telah menginfeksi lebih dari 200 juta orang dan menewaskan lebih dari 4 juta orang di seluruh dunia.
-
Bagaimana penanganan Covid-19 di Indonesia? Jokowi memilih menggunakan strategi gas dan rem sejak awal untuk menangani pandemi Covid-19. Gas dan rem yang dimaksudkan Jokowi diimplementasikan dalam tiga strategi yakni penanganan kedaruratan kesehatan, jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi. Inilah yang kemudian menjadi ujung tombak dalam penanganan Covid-19 di Indonesia.
-
Kapan Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Apa penyebabnya? Selingkuh adalah pilihan yang diambil oleh individu tersebut, dan tidak ada yang bisa dilakukan oleh pasangan untuk mengendalikan perilaku ini. Oleh karena itu, selama seseorang belum benar-benar memahami alasan di balik tindakannya, perubahan akan sulit untuk dicapai.
"Saya kira ini merupakan fenomena sosial ya. Ada dua sebab, yang pertama faktor konformitas. Jadi misalnya walaupun dia tidak setuju terhadap suatu hal, tapi karena dia tidak mau terlihat berbeda dengan yang lain, maka dia tetap melakukan hal tersebut. Istilahnya dia ikut-ikutan saja," kata Pakar Kriminologi Universitas Indonesia, Adrianus Meliala saat dihubungi merdeka.com, Selasa (7/7).
Faktor kedua, menurut Adrianus, warga sudah tahu bahwa tindakannya sudah melanggar norma, namun karena mereka merasa kebal hukum, maka mereka berani melakukan tindakan yang melanggar norma tersebut. Sekalipun norma-norma tersebut ada kekuatan hukumnya.
Bukan kebal hukum saja, namun Adrianus menilai bahwa para warga semacam memiliki keyakinan bahwa dirinya kebal imun, merasa tidak akan mungkin terkena suatu penyakit. Itu yang membuat mereka melakukan tindakan yang melanggar norma.
“Jadi sudah tahu bahwa itu tindakan yang salah dan berbahaya namun mereka tetap melakukan pelanggaran norma karena merasa mereka kebal dari imun, sanksi dan juga risiko,” ujarnya.
Bila dilihat dalam beberapa bulan terakhir, kasus penjemputan pasien Covid-19 bukan hanya terjadi sekali atau dua kali. Berbagai upaya telah dilakukan, bahkan aparat kepolisian pun sudah turun tangan, namun mirisnya, kasus ini kerap terjadi lagi.
Menurut Adrianus, sebenarnya para tokoh masyarakat mempunyai peran penting terhadap fenomena ini. Menurutnya, masyarakat cenderung mengikuti arahan tokoh masyarakat yang mempunyai jabatan atau kedudukan tertentu di daerahnya.
Tidak luput dari faktor pertama yang sudah Adrianus sebutkan, dengan semangat konformitas, masyarakat akan mengikuti seseorang yang punya pengaruh atau peran besar di daerahnya.
“Dengan semangat konformitas tadi. Mungkin pada kasus ini, yang pertama menyuarakan menjemput paksa adalah tokoh masyarakatnya sehingga diikuti oleh warga yang lain, karena kalau yang ngomong bukan tokoh masyarakat, cenderung tidak diikuti,” kata Adrianus menjelaskan.
Selain kedua faktor yang telah disebutkan, Adrianus melihat bahwa ada empat faktor lain yang menyebabkan kasus penjemputan paksa pasien Covid kerap terjadi.
Namun Adrianus tidak menjelaskan secara detail terhadap empat faktor tersebut, ia merasa keempatnya sulit untuk diutarakan karena terkait agama dan budaya, yang mana sangat sensitif untuk dipersoalkan.
“Sesungguhnya ada faktor lain yang mempengaruhi. Antara sosial, ekonomi, budaya dan penghayatan agama itu kadang-kadang dekat namun susah untuk dikatakan. Nanti kalau dibolak-balik tidak enak, tapi memang ada benarnya itu,” tutupnya.
Pasien Covid-19 di RSUD Mataram Wajib Bikin Surat Pernyataan Cegah Pengambilan Paksa
Sebelumnya, pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengeluarkan kebijakan setiap pasien Covid-19 yang akan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram harus membuat surat pernyataan, apabila pasien meninggal akan dimakamkan sesuai protokol Covid-19. Kebijakan itu dikeluarkan Pemkot Mataram guna menghindari adanya pengambilan paksa jenazah Covid-19.
"Hal itu dimaksudkan menghindari pengambilan paksa jenazah Covid-19, seperti kasus pada Senin malam (6/7) di RSUD Kota Mataram. Kita tidak ingin kasus serupa terulang lagi," kata Wali Kota Mataram H Ahyar Abduh di Mataram, Selasa (7/7).
Sebelumnya, ratusan warga dari Dusun Orong Ranjok, Desa Mekarsari, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, menjemput paksa jenazah warga yang dinyatakan positif Covid-19 di RSUD Kota Mataram pada Senin malam (6/7) karena mereka enggan menerima perlakuan jenazah sesuai protokol Covid-19.
Karenanya, pemerintah kota dalam hal ini pihak RSUD Kota Mataram mulai saat ini memastikan semua pasien Covid-19 yang akan dirawat harus menandatangani surat pernyataan bersedia dilakukan penanganan sesuai protokol Covid-19, apabila pasien bersangkutan meninggal.
"Jika tidak bersedia, pasien tidak kita terima agar tidak menjadi masalah ke depan," katanya.
Dikatakan, penjemputan paksa jenazah Covid-19 di RSUD Kota Mataram itu, menjadi kasus yang ketiga dan ketiganya merupakan pasien dari luar Kota Mataram.
Hal itu tentunya menjadi tanggung jawab bersama untuk terus melakukan edukasi ke masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan Covid-19, termasuk untuk penanganan jenazah Covid-19 jika tidak sesuai dengan protokol maka virus tersebut bisa menularkan ke keluarga dan warga lain.
"Tadi malam, pihak RSUD terpaksa memberikan karena yang datang warga sekampung. Tapi sudah membuat surat pernyataan sehingga menjadi urusan Lombok Barat, apalagi ada camat dan kapolres yang bertanggung jawab sehingga RSUD tidak bisa mempertahankan," katanya.
Sementara menyinggung langkah antisipasi dengan pembuatan posko pengamanan, wali kota menilai belum mendesak, karena komunikasi dengan aparat keamanan lancar dan cepat sehingga bisa turun tepat waktu.
Sedangkan terkait dengan pengrusakan fasilitas rumah sakit, Wali Kota telah meminta pihak RSUD Kota Mataram berkomunikasi dengan Pemerintah Lombok Barat.
"Tapi kita tidak ada upaya melanjutkan kasus ini ke ranah hukum, dan tidak meminta ganti rugi. Ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk terus sosialisasi dan edukasi masyarakat tentang bahaya penyebaran Covid-19," katanya.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Viral prajurit TNI Bentrok dengan pengiring jenazah di Manado
Baca SelengkapnyaDua kasus kematian baru dari pasien Covid-19 pada Desember 2023.
Baca SelengkapnyaCovid-19 varian JN.1 dilaporkan berkaitan erat dengan varian BA.2.86 dan dikhawatirkan dapat mempengaruhi pola penularan dan tingkat keparahan penyakit.
Baca Selengkapnya