Hasto soal Penyidik KPK Jadi Saksi Memberatkan: Ini Konflik Kepentingan, Jelas Langgar Prinsip Independensi dan Netralitas
Hasto menyebut, penyidik KPK Rossa Purbo Bekti bertindak sebagai saksi yang memberatkan dirinya.

Terdakwa Hasto Kristiyanto mengulas konflik kepentingan atau conflict of interest Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proses penyidikan kasus suap dan perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OOJ) terkait buronan Harun Masiku, yang kini menjeratnya.
Dia menyebut, penyidik KPK Rossa Purbo Bekti bertindak sebagai saksi yang memberatkan dirinya.
"Penyidik KPK Rossa Purbo Bekti bertindak sebagai saksi yang memberatkan saya. Ini adalah konflik kepentingan yang jelas melanggar prinsip independensi dan netralitas dalam penegakan hukum," tutur Hasto saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (21/3).
Hasto menyebut, keterangan Rossa Purbo Bekti sebagai saksi cenderung subjektif dan tidak didasarkan pada fakta hukum yang objektif. Sementara, prinsip independensi dan netralitas merupakan hal dasar dalam penegakan hukum, termasuk dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 dan Pasal 17 UU KPK.
“Pasal ini jelas-jelas mengatur bahwa penyidik harus independen dan tidak boleh memiliki konflik kepentingan. Namun, dalam kasus ini, Rossa Purbo Bekti justru melanggar prinsip ini," jelas dia.
Sekjen PDIP itu kemudian menyoroti dampak dari konflik kepentingan terhadap konstruksi surat dakwaan kasusnya, yang banyak mengandung fakta berbeda antara versi KPK dengan hasil persidangan inkracht sebelumnya.
"Proses hukum yang tidak adil hanya akan merusak integritas penegakan hukum. KPK harus menghormati prinsip independensi dan netralitas dalam menjalankan tugasnya," Hasto menandaskan.
KPK Disebut Daur Ulang Kasus
Dia pun menyatakan, KPK telah melanggar asas kepastian hukum, dengan istilah mendaur ulang perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap alias inkracht.
"Proses daur ulang kasus yang sudah inkracht ini jelas melanggar asas kepastian hukum. KPK tidak memiliki dasar hukum untuk membuka kembali kasus yang telah selesai tanpa adanya bukti baru," tutur Hasto.
Hasto mengulas kasus Harun Masiku yang sebelumnya telah diputus pengadilan, bahwa tidak ada satu pun amar putusan yang menyatakan keterlibatan dirinya.
“Dalam putusan pengadilan yang telah inkracht, tidak ada keterlibatan saya. KPK justru mendaur ulang kasus ini tanpa dasar hukum yang jelas," jelas dia.
Dia menegaskan, kepastian hukum merupakan prinsip fundamental dalam penegakan hukum, termasuk dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Sementara, asas kepastian hukum itu diyakini telah dilanggar melalui proses daur ulang perkara, yang tidak hanya merugikan terdakwa namun juga para saksi yang telah diperiksa sebelumnya.
"Sebagian besar saksi ditunjukkan cetakan atau print out pemeriksaan tahun 2020, lalu diminta menandatangani kembali dengan tanggal pemeriksaan tahun ini. Ini jelas mengabaikan fakta-fakta hukum di persidangan sebelumnya," ungkapnya.
Hasto kemudian mengutip Pasal 3 UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, yang menyatakan bahwa KPK harus berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap HAM.
Dia juga merujuk pada Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang melarang pengulangan perkara yang telah diputus atau ne bis in idem.
“Kasus ini sudah diputus oleh pengadilan dan tidak ada fakta hukum baru yang muncul. KPK tidak memiliki dasar untuk membuka kembali kasus ini," tegas Hasto.