Hasto: KPK Daur Ulang Kasus Saya tanpa Dasar Hukum yang Jelas
KPK disebut melanggar asas kepastian hukum, dengan istilah mendaur ulang perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap alias inkracht.

Terdakwa Hasto Kristiyanto membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam sidang kasus suap dan perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OOJ) terkait buronan Harun Masiku.
Dia pun menyatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melanggar asas kepastian hukum, dengan istilah mendaur ulang perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap alias inkracht.
"Proses daur ulang kasus yang sudah inkracht ini jelas melanggar asas kepastian hukum. KPK tidak memiliki dasar hukum untuk membuka kembali kasus yang telah selesai tanpa adanya bukti baru," tutur Hasto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (21/3).
Hasto mengulas kasus Harun Masiku yang sebelumnya telah diputus pengadilan, bahwa tidak ada satu pun amar putusan yang menyatakan keterlibatan dirinya.
“Dalam putusan pengadilan yang telah inkracht, tidak ada keterlibatan saya. KPK justru mendaur ulang kasus ini tanpa dasar hukum yang jelas," jelas dia.
KPK Dianggap Abaikan Fakta Hukum
Dia menegaskan, kepastian hukum merupakan prinsip fundamental dalam penegakan hukum, termasuk dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Sementara, asas kepastian hukum itu diyakini telah dilanggar melalui proses daur ulang perkara, yang tidak hanya merugikan terdakwa namun juga para saksi yang telah diperiksa sebelumnya.
"Sebagian besar saksi ditunjukkan cetakan atau print out pemeriksaan tahun 2020, lalu diminta menandatangani kembali dengan tanggal pemeriksaan tahun ini. Ini jelas mengabaikan fakta-fakta hukum di persidangan sebelumnya," ungkapnya.
Hasto kemudian mengutip Pasal 3 UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, yang menyatakan bahwa KPK harus berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap HAM.
Dia juga merujuk pada Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang melarang pengulangan perkara yang telah diputus atau ne bis in idem.
“Kasus ini sudah diputus oleh pengadilan dan tidak ada fakta hukum baru yang muncul. KPK tidak memiliki dasar untuk membuka kembali kasus ini," Hasto menandaskan.
Hasto Sebut KPK Tak Berwenang Tangani Kasusnya
Dia menyatakan, dalam perkara yang menjeratnya tidak terpenuhi syarat kerugian negara minimal Rp1 miliar, sehingga di luar kewenangan KPK.
"Kasus ini tidak melibatkan kerugian negara minimal Rp1 miliar, sehingga jelas di luar kewenangan KPK. KPK tidak memiliki dasar hukum untuk menangani kasus ini," tutur Hasto.
Hasto menyebut, UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 dengan tegas mengatur, bahwa KPK hanya berwenang menangani tindak pidana korupsi dengan kerugian negara minimal Rp1 miliar. Sementara, kasus yang menjeratnya condong berkaitan dengan dinamika politik internal partai.
"Ini adalah kasus yang seharusnya diselesaikan secara internal partai, bukan oleh KPK. KPK telah melampaui kewenangannya dengan menangani kasus ini," jelas dia.
Sekjen PDIP itu juga merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014, yang menegaskan bahwa penegakan hukum harus proporsional dan sesuai dengan kewenangan yang diatur oleh undang-undang.
"KPK tidak boleh menangani kasus yang tidak memenuhi syarat kerugian negara. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip proporsionalitas dalam penegakan hukum," ungkapnya.
Hasto menegaskan, pelanggaran kewenangan KPK itu tidak hanya merugikan dirinya, namun juga menciptakan ketidakpastian hukum bagi masyarakat, yang kemudian berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik.
"Saya memohon kepada majelis hakim yang mulia untuk menghentikan penanganan kasus ini oleh KPK karena tidak memenuhi syarat kerugian negara. KPK tidak memiliki kewenangan untuk menangani kasus ini," Hasto menandaskan.