Ketua DPR: Pemerintah tak punya kewajiban taati IPT 1965
Merdeka.com - Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan, pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk mentaati putusan Pengadilan Rakyat Internasional atau IPT 1965. Sebab, menurut dia, Indonesia tidak mengenal sistem peradilan semacam itu, sehingga putusan apapun yang dihasilkan dari lembaga tak resmi semacam itu bukanlah sebuah keharusan untuk dipatuhi.
"Tidak ada kewajiban pemerintah atau negara taati putusan itu. Karena kita tidak mengenal sistem peradilan IPT," kata Akom sapaan Ade Komarudin di Gedung DPR Senayan, Jumat (22/7).
Akom menilai, dalam perjalanan sejarah bagi bangsa yang besar begitu banyak tragedi sosial-politik yang terjadi. Menurutnya, biarlah semua masalah itu menjadi pelajaran yang bisa diambil hikmahnya, agar tidak terulang lagi di masa mendatang.
-
Apa yang dipelajari dari masa lalu? Masa lalu mengajarkan arti untuk memahami, mengikhlaskan, dan melaju menuju masa depan.
-
Kata-kata serba salah apa yang menjelaskan tentang kesalahan di masa lalu? Hanya karena seseorang punya kesalahan di masa lalu, bukan berarti semua yang dia lakukan saat ini selalu salah di matamu.
-
Kapan masa lalu sebaiknya dikenang? Kemarin adalah kenangan dan pelajaran, hari ini tantangan yang harus diselesaikan.
-
Kenapa kekalahan bisa jadi pelajaran? Kekalahan mengajari kita pelajaran hidup yang paling berharga.
-
Kenapa penting untuk belajar dari kesalahan? Kalau nggak bisa belajar dari kesalahan, kamu akan terus kesulitan berkembang dan bisa jadi melakukan kesalahan yang sama. Karena ketika melakukan kesalahan, itu bukan berarti harus merasa rendah diri atau terpuruk.
Politisi Golkar itu juga berharap, bangsa Indonesia dewasa ini harus lebih solid lagi dalam hal persatuan, karena begitu banyaknya dampak dari berbagai masalah global, yang harus dihadapi bersama sebagai sebuah negara kesatuan.
"Kalau kita tidak pandai, maka kita tidak akan bertahan," pungkasnya.
Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (20/7), Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi.
"Putusan ini secara resmi akan diserahkan pula kepada Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kantor Staf Presiden," ujar Nursyahbani.
Putusan tersebut mencakup tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia yakni pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedua adalah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.
Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.
Keenam adalah kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.
Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.
Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.
Padahal, Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.
"Para pegiat IPT 1965 akan menggunakan semua jalur yang tersedia dalam mekanisme HAM PBB untuk menyosialisasikan putusan ini. Termasuk pada tanggal 17 April 2017, laporan pelaksanaan HAM di Indonesia akan ditinjau dalam Universal Periodic Review di Dewan HAM Jenewa Swiss, kami akan memasukkan putusan IPT 1965 sebagai laporan dari LSM di Indonesia," kata Nursyahbani.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sufmi Dasco menilai pembangunan IKN merupakan program yang harus dilakukan.
Baca SelengkapnyaArteria tegas mengatakan tidak ada penguasa yang bisa melawan konstitusi.
Baca SelengkapnyaRevisi ini dinilai sebagai praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata dipertontonkan kepada publik.
Baca SelengkapnyaIMM menyebut wacana tersebut tak berdasar dan bahkan kontraproduktif dengan agenda reformasi.
Baca SelengkapnyaSekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, DPR semestinya mengedepankan kebenaran, kebaikan, dan kepentingan negara dan rakyat.
Baca SelengkapnyaKetua DPR Puan Maharani menyatakan pimpinan DPR tak pernah ada wacana untuk merevisi MD3.
Baca SelengkapnyaChico menegaskan, posisi dari Mahkamah Konstitusi (MK) adalah mengoreksi dari undang-undang yang dihasilkan DPR.
Baca Selengkapnya"Enggak ada, pikiran saja enggak ada, masa (terbitkan Perppu Pilkada)," kata Jokowi kepada wartawan di Hotel Kempinski Jakarta Pusat, Jumat (23/8).
Baca Selengkapnya