Kisah Fery Santoro, kamerawan RCTI yang disandera GAM setahun
Merdeka.com - Selama 365 hari, atau setahun lamanya, dua wartawan Rajawali Citra Indonesia (RCTI) menjadi sandera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka adalah Ersa Siregar sehari-hari sebagai reporter dan Fery Santoro, kamerawan yang menemaninya selama liputan di wilayah konflik.
Selama di Aceh, RCTI mengirimkan empat tim peliputan ke daerah konflik. Meski demikian, Fery dan Ersa selalu berganti-ganti pasangan. Jelang diculik komplotan GAM, keduanya dipasangkan untuk melakukan peliputan di Kota Langsa. Di sana, mereka ditugaskan meliput rilis penemuan senjata milik GAM oleh komandan marinir setempat.
Menjelang sore hari, keduanya memutuskan kembali ke pos mereka di Lhokseumawe. Namun, mereka memutuskan berhenti sejenak untuk menjalani ibadah Asar di sebuah masjid.
-
Siapa yang dikenal dekat dengan keluarga anak-anaknya? Sosok Amy Qanita dikenal dekat dengan keluarga anak-anaknya.
-
Siapa yang paling terdampak kesepian? Studi OSU menemukan bahwa sekitar 35% peserta melaporkan tingkat kesepian yang tinggi, dan mereka mengalami gejala insomnia hampir dua kali lipat dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu kesepian.
-
Kenapa keluarga tidak langsung dihubungi? Karena ini masalah besar, janganlah menyampaikan ke pihak keluarga melalui telepon ataupun WA, dikarenakan kami tidak tahu masuk ke jalur rumah duka, akhirnya kami menelepon salah satu wali santri yang rumahnya dekat dengan rumah Airul.
-
Siapa yang terdampak broken home? Dan dampaknya? Lebih kepada anak-anak.
-
Siapa saja yang dekat? Salah satunya adalah Safeea Ahmad, yang merupakan satu-satunya adik perempuan. Safeea juga dekat dengan kakak-kakaknya, termasuk El Rumi.
-
Siapa yang dikabarkan dekat dengan keluarga? Terlepas dari kabar miring tersebut, selama ini Gunawan dikenal sebagai sosok family man yang sangat dekat dengan keluarga.
"Saat mau pulang, feeling saya udah enggak enak. Kok jam segini sepi, biasanya ada pasukan TNI dan mobil TNI wara wiri. Kami di sana sendirian," kenang Fery saat berbincang dengan merdeka.com, Sabtu (8/10).
Benar saja, baru berjalan dalam radius sekitar 200 meter dari masjid, keduanya dihentikan sekelompok pria bersenjata. Sopir mereka dipaksa turun dan diminta duduk di belakang. Di bawah todongan senapan laras panjang, ketiganya diharuskan menunduk dan tidak boleh sekalipun menatap ke jendela.
Selang beberapa jam berikutnya, mereka tiba di sebuah kampung yang terletak di perbukitan. Salah seorang anggota GAM meminta Ersa, Fery dan sopirnya menunjukkan identitas mereka. Tidak sedikit upaya intimidasi agar kedua wartawan ini ketakutan.
"Kamu orang mana," tanya seorang anggota GAM, seperti yang ditirukan Fery.
"Jawa," jawab Fery.
"Wah Jawa, besok pagi mati nih. Kompeni nih."
"Pasti tentara itu. Mata-mata tentara," teriak lainnya.
Mendengar ancaman itu, Fery mengaku pasrah. Berbekal kamera besar di tangannya, para anggota GAM yang membawa mereka pun percaya kalau mereka wartawan.
Di tempat lain, Panglima Perang GAM, Teuku Ishak Daud meminta bawahannya untuk merawat dan menjaga keselamatan dua wartawan itu. Mendengar itu, Ersa dan Fery mengaku lega. Tapi, hidup dalam penyanderaannya baru dimulai.
"Kami selalu pindah-pindah demi hindari kejaran TNI. Kalau dirasa tidak aman, kami harus lewati semak, sebrangi sungai dan hutan belantara," tuturnya.
Selain tidur beralaskan tikar, Fery sempat merebahkan bersama macan kumbang di sampingnya. Beruntung, hewan melatan ini tidak menyerangnya.
"Bahkan orang GAM nawarin tidur di tepat di alas ular itu. Sempat bergidik sih, tapi dia bilang jangan takut. Ternyata tidak apa-apa," ujarnya.
Di luar sana, sejumlah LSM, organisasi pers hingga palang merah internasional meminta agar keduanya dibebaskan. Hampir setahun lamanya, negosiasi pembebasan antara pemerintah Indonesia dan GAM selalu mengalami deadlock, hingga akhirnya menemui kesepakatan.
Melalui siaran radio lokal, Fery mengaku senang karena dia dan kawannya segera menghirup udara bebas. Sebuah impian untuk kembali berkumpul bersama istri dan anaknya pun mengalir deras dalam pikirannya. Tapi, mimpi itu kembali tertunda.
Malam hari menjelang tewasnya Ersa, beberapa anggota GAM memutuskan turun gunung. Tak lupa, mereka meninggalkan empat pucuk senjata. Bahkan, menawari keduanya memegang senapan tersebut, tapi ditolak Fery.
"Kalau bisa gunakan senjata, pasti kami sudah tembak kalian," canda Fery kepada penyanderanya.
Sepeninggal mereka, Fery hanya dijaga seorang anggota GAM. Dia, Ersa dan seorang pria berusia lebih tua darinya memilih beristirahat di dalam gubuk.
"Tiba-tiba ada tembakan. Dar der dor, retetan tembakan dari semak-semak. Orang GAM yang sedang memasak di luar tewas kena tembakan," lanjutnya.
Tanpa pikir panjang, Fery mencari cara untuk menyelamatkan diri dari desingan peluru. Sebuah lompatan kecil berhasil menyelamatkan nyawanya dari tembakan yang mengarah ke kakinya. Di tengah ketakutannya, ia masih berupaya menyelamatkan rekannya, namun gagal.
"Ada tembakan di atas saya. Saya lompat, masuk ke semak, mana banyak duri hingga badan saya penuh darah," kata Fery.
Berhasil, ia selamat dari serangan itu dan memilih bermalam di sebuah tempat. Di sana, Fery bertemu seorang pria yang bersamanya di dalam gubuk. Sedangkan Ersa, rekannya tak kunjung datang.
"Selama empat hari empat malam. Saya jalan mencari perkampungan. Mana harus lewati empat sungai."
Sesampainya di kampung itu, bukan TNI yang ditemui, tapi anggota GAM lainnya, alhasil Fery kembali menjadi sandera. Di tempat itu pula, ia mengetahui rekannya telah tewas.
"Lemas badan saya. Saya bingung mau sama siapa lagi? Rekan saya sudah meninggal, tidak ada lagi yang temani saya," bebernya saat mendengar berita duka itu.
Jelang malam tahun baru 2004, Fery akhirnya dibebaskan berkat upaya diplomasi yang dilakukan organisasi pers dan palang merah internasional. Sesaat setelah keluar, dia mengaku hampir tak mengenali orang-orang terdekatnya, kecuali anak dan istrinya.
Namun, pengalaman mendebarkan itu terus terkenang di dalam hatinya. Bahkan, 10 tahun setelah peristiwa itu, tepatnya 2013, ia bertemu dengan komandan grup marinir yang menembaki dia dan Ersa saat bersembunyi di dalam gubuk. Komandan itu kini bernama Letnan Satu Marinir Koko, dan bertugas sebagai komandan kompleks Istana.
"Kini, saya dan dia berteman," pungkasnya. (mdk/war)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Andika Perkasa mengaku tak dikenali anaknya semasa bertugas di daerah operasi militer. Bagaimana kisahnya?
Baca SelengkapnyaFahmi Bo kini tinggal seorang diri di rumah kos, jauh dari anak-anaknya.
Baca SelengkapnyaKondisi Fahmi Bo memprihatinkan. Ia hidup seorang diri di sebuah kost-kostan dengan kondisi kesehatan menurun.
Baca SelengkapnyaDi tengah pertemuan, terdapat pesan menyentuh hati.
Baca SelengkapnyaLama tak ketemu sang ayah yang bertugas di luar negeri, seorang bayi menangis lantaran tak mengenali ayahnya yang merupakan seorang prajurit TNI.
Baca SelengkapnyaJarang tampil di layar televisi, kehidupan Femmy Permatasari tetap menarik perhatian publik.
Baca SelengkapnyaHarus berpisah dari anaknya yang masih kecil, pria ini mengaku hal inilah yang menjadi patah hati terbesar seorang ayah.
Baca SelengkapnyaFahmi Bo dikaruniai dua anak. Fahmi Bo mengaku begitu dekat dengan anak-anaknya.
Baca SelengkapnyaSebuah video memperlihatkan seorang prajurit TNI yang lupa dengan wajah istrinya setelah 15 bulan tugas dan LDR dengan sang kekasih.
Baca SelengkapnyaKisah pilu seorang lansia bernama Guritno (70) ditemui di kawasan Kabupaten Bandung.
Baca Selengkapnya