KPAI: Ada 481 Pengaduan Terkait Kasus Anak Korban Pornografi dan Cyber Crime
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah mencatat, ada 481 pengaduan terkait kasus anak korban pornografi dan cyber crime.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah mencatat, ada 481 pengaduan terkait kasus anak korban pornografi dan cyber crime. Jumlah itu tercatat sejak 2021-2023.
"Sedangkan anak korban eksploitasi serta perdagangan anak berjumlah 431 kasus," kata Ai Maryati dalam keterangannya, Jumat (26/7).
Dari seluruh kasus tersebut, mayoritas disebutnya terjadi karena menyalahgunakan media teknologi dan informasi, serta akibat dari dampak buruk internet.
"Dan penggunaan gadget yang tidak sesuai dengan fase tumbuh kembang anak," sebutnya.
Berdasarkan catatan KPAI, data yang paling tinggi dari dua situasi anak tersebut adalah mereka yang menjadi korban eksploitasi ekonomi dan/seksual serta anak sebagai korban kejahatan pornografi dari dunia maya.
"Mereka banyak teradukan menjadi korban prostitusi online, eksploitasi ekonomi, serta anak korban pornografi atau CSAM (Children Seksual Abuse Material)," ujarnya.
Ai menjelaskan, beberapa permasalahan yang menimpa anak-anak Indonesia dalam pengaduan ke KPAI diantaranya terjadi karena adanya sejumlah fenomena Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menyasar kepada anak melalui online dengan bentuk eksploitasi seksual dan ekonomi serta pornografi dan cyber crime lainnya.
Selanjutnya, adanya jual beli konten pornografi anak atau CSAM yang dikendalikan orang dewasa serta melibatkan anak melalui pembayaran uang digital dan perbankan.
"Kemudian, adanya sejumlah kasus yang sulit diselesaikan akibat rumitnya dugaan eksploitasi anak menggunakan tindak pencucian uang dan masih minimnya perspektif follow the money dalam tindak kejahatan," jelasnya.
Berikutnya, adanya kecenderungan penggunaan transaksi hasil jual beli eksploitasi dan pornografi anak/CSAM menggunakan penyedia jasa keuangan menggunakan uang digital yang memudahkan tipu daya menggunakan anak seperti melalui e-wallet, e-money, uang digital, cripto.
"Adanya kecenderungan tindakan jual beli konten pornografi atau CSAM dan eksploitasi online menggunakan jasa perbankan dengan mata uang Rupiah, USD dan Uero, dan lain-lain," ucapnya.
Laporan PPATK
Sedangkan, dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) disebutkan perputaran uang mecapai Rp114 miliar yang dihasilkan dari TPPO dan pornografi anak.
Di sisi lain, PPATK juga mencatat ada 168 juta transaksi judi online dengan total akumulasi perputaran dana mencapai Rp327 triliun sepanjang tahun 2023.
Lalu, secara total akumulasi perputaran dana transaksi judi online mencapai Rp517 triliun sejak tahun 2017. Korban di masyarakat tidak hanya orang tua, tetapi juga anak-anak.
"Berdasarkan data demografi, pemain judi online merupakan usia di bawah 10 tahun mencapai 2 persen dari pemain, dengan total 80.000.Sebaran pemain antara usia antara 10 tahun-20 tahun sebanyak 11 persen atau kurang lebih 440.000 orang, kemudian usia 21 sampai dengan 30 tahun 13 persen atau 520.000 orang," paparnya.
"Usia 30 sampai dengan 50 tahun sebesar 40 persen atau 1.640.000 orang dan usia di atas 50 tahun sebanyak 34 persen dengan jumlah 1.350.000 orang," tambahnya.
Secara umum UU TPPU yang melibatkan anak sulit untuk diperoleh secara spesifik, hal itu karena kejahatan semacam ini seringkali tersembunyi dan sulit dideteksi.
"Namun, beberapa contoh dapat ditemu kenali melalui kasus-kasus yang terdokumentasi, misalnya anak-anak yang dimanfaatkan untuk membuka rekening bank palsu atau untuk melakukan transfer uang dalam skala besar yang mencurigakan," jelasnya.
"Pemanfaatan Anak dalam Perdagangan Manusia, misalnya anak-anak sering dimanfaatkan untuk tujuan komersial seperti prostitusi atau kerja paksa. Uang yang dihasilkan dari aktivitas ini sering kali dicuci melalui transaksi finansial yang rumit," sambungnya.
Lalu yang ketiga yaitu keterlibatan anak dalam kejahatan organisasi yakni anak-anak dapat direkrut oleh organisasi kriminal untuk melakukan kegiatan seperti pembelian properti atau barang mewah dengan uang hasil kejahatan. Hal ini sering dilakukan untuk menyamarkan asal-usul uang tersebut.