Mengapa Fenomena #KaburAjaDulu Bisa Membesar di Indonesia?
Media sosial menjadi platform utama bagi generasi muda untuk menyuarakan kekecewaan melalui fenomena #KaburAjaDulu, menciptakan diskusi publik yang mendalam.

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi alat yang sangat berpengaruh dalam menyebarkan berbagai fenomena sosial, salah satunya adalah #KaburAjaDulu. Fenomena ini muncul sebagai respons generasi muda, khususnya Gen Z dan Milenial, terhadap berbagai tantangan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui platform seperti X (sebelumnya Twitter), Instagram, dan TikTok, mereka mengungkapkan kekecewaan dan keresahan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
Tagar #KaburAjaDulu berfungsi sebagai saluran ekspresi bagi mereka yang merasa tertekan oleh situasi yang ada. Banyak dari mereka yang menganggap 'kabur' sebagai pilihan alternatif ketika menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan, rendahnya upah, serta ketidakadilan sosial. Dalam konteks ini, media sosial tidak hanya menjadi tempat untuk berbagi pengalaman, tetapi juga sebagai ruang untuk mengekspresikan aspirasi dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Media sosial juga bertindak sebagai pengganda informasi, mempercepat penyebaran konten terkait #KaburAjaDulu. Berbagai opini, pengalaman pribadi, dan informasi tentang peluang di luar negeri dibagikan secara masif, menjangkau audiens yang lebih luas. Hal ini menciptakan tren viral yang mendorong lebih banyak orang untuk terlibat dalam percakapan ini, sehingga menjadikan isu ini semakin relevan di kalangan masyarakat.
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi mengungkapkan, tagar tersebut terlacak paling awal diunggah oleh akun @amouraXexa pada 8 Januari 2025. Namun waktu itu masih kecil sekali engagement-nya.
"Baru viral setelah diangkat @hrdbacot pada 14 Januari 2025, lalu akun @berlianidris pada 6 Februari 2025," kata Ismail kepada Liputan6.com, Jumat (14/2/2025).
Saluran Ekspresi Generasi Muda
Tagar ini menjadi media bagi generasi muda untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Banyak yang merasa tidak berdaya dalam menghadapi tantangan yang ada, sehingga mereka memilih untuk 'kabur' sebagai bentuk pelarian. Kekecewaan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kesulitan mencari pekerjaan hingga ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan yang ada.
Media sosial memberikan ruang bagi mereka untuk berbagi cerita dan pengalaman, menciptakan komunitas yang saling mendukung. Melalui berbagai platform, mereka dapat berinteraksi dan berdiskusi mengenai pilihan-pilihan yang ada, serta mencari solusi bersama. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mereka merasa tertekan, mereka tidak sendirian dalam perjuangan ini.
Terbukti dari pantauan DroneEmprit, dari sisi umur, mereka yang meramaikan hashtag ini kebanyakan usianya antara 19-29 tahun sebesar 50.81%, lalu sebanyak 38.10% usianya kurang dari 18 tahun. Sedangkan dari segi gender, separuh lebih disampaikan oleh pria.
"Paling banyak dari kalangan laki-laki sebesar 59.92%, lalu perempuan 40.08%," ujar dia.
Informasi dan Dukungan dari Media Sosial
Selain sebagai saluran ekspresi, media sosial juga berfungsi sebagai sumber informasi bagi mereka yang mempertimbangkan untuk meninggalkan Indonesia. Pengguna dapat berbagi informasi mengenai prosedur imigrasi, peluang kerja di luar negeri, dan pengalaman hidup di negara lain.
Dengan demikian, media sosial menciptakan rasa kebersamaan dan dukungan di antara mereka yang memiliki pemikiran serupa.Informasi yang dibagikan di platform ini sangat beragam, mulai dari tips dan trik untuk beradaptasi di negara baru, hingga pengalaman pribadi yang dapat memberikan gambaran lebih jelas tentang kehidupan di luar negeri. Hal ini sangat penting bagi mereka yang merasa bingung dan tidak yakin dengan langkah yang akan diambil.
Pendorong Diskusi Publik
Meskipun sebagian besar ungkapan di balik tagar ini bersifat emosional, #KaburAjaDulu juga memicu diskusi publik yang lebih luas mengenai permasalahan mendasar di Indonesia. Percakapan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil. Diskusi ini mendorong evaluasi dan pencarian solusi atas permasalahan yang ada.
Media sosial menjadi arena bagi semua pihak untuk berbagi pandangan dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada. Dengan melibatkan berbagai stakeholder, fenomena ini dapat menjadi titik awal untuk perubahan yang lebih signifikan di masa depan.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida menilai, pada era digital saat ini, media sosial bisa menjadi salah satu sarana dalam melakukan upaya edukasi masyarakat. Selain itu juga dapat dijadikan tekanan publik baik secara sosial, psikologis, politik bahkan ekonomi.
"Secara sosiologis, juga bisa menjadi sumberdaya dalam melakukan aktivisme sosial, termasuk gerakan sosial," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (14/2/2025).
Dia menilai tagar yang menghebohkan ini belum tentu dibangun oleh gen Z semata. Banyak elemen lain yang bermain dalam dunia maya tersebut.
"Di dunia digital, harus juga dipahami bahwa narasi yang terbangun apakah memang dibangun murni oleh Gen-Z? Karena melalui medsos berbagai kelompok kepentingan bisa memanfaatkan atau bahasa lainnya "mendulang di air keruh'," ujarnya.
"Artinya netizen tetap perlu bersikap kritis atas wacana yang muncul tersebut," Ida menegaskan.
Aktivisme Sosial dalam Bentuk Baru
Beberapa ahli berpendapat bahwa #KaburAjaDulu dapat diinterpretasikan sebagai bentuk aktivisme sosial, meskipun bersifat pasif. Ekspresi kekecewaan melalui media sosial dapat menjadi tekanan bagi pemerintah untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Namun, penting untuk diingat bahwa fenomena ini bukanlah solusi tunggal.
Fenomena ini merupakan cerminan dari permasalahan yang kompleks dan membutuhkan pendekatan multi-faceted untuk mengatasinya. Peran media sosial dalam konteks ini bersifat ganda; di satu sisi, ia memperkuat ekspresi kekecewaan, namun di sisi lain, ia juga dapat menjadi katalisator perubahan jika digunakan secara konstruktif untuk mendorong dialog dan solusi.
Kemunculan tagar ini tidak sertamerta menjadi hal yang lumrah atas kondisi Indonesia saat ini. Sebab perpindahan masyarakat pada era saat ini, harus disikapi sebagai dampak dari globalisasi.
"Wajar tidaknya tentu terkait daya kritis publik dalam mensikapi tagar tersebut. Secara sosiologis, sebagai dampak globalisasi, memang terjadi peningkatan mobilitas warga dunia, termasuk hadirnya berbagai warga asing di Indonesia," jelas dia.
Dengan demikian, #KaburAjaDulu bukan hanya sekadar ungkapan kekecewaan, melainkan sebuah gerakan yang dapat memicu perubahan jika diolah dengan baik. Diskusi yang dihasilkan dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan solusi yang lebih baik bagi generasi mendatang.