Rancangan PP Kesehatan Dikritik Karena Belum Libatkan Serikat Pekerja
Dia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan industri periklanan maupun industri kreatif
Dia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan industri periklanan maupun industri kreatif
Rancangan PP Kesehatan Dikritik Karena Belum Libatkan Serikat Pekerja
Pelaku usaha maupun pekerja media dan industri kreatif mengaku belum dilibatkan oleh pemerintah dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang merupakan aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Padahal, di dalam RPP Kesehatan tersebut terdapat sejumlah pasal terkait larangan iklan, promosi, dan sponsorship bagi produk tembakau yang disinyalir akan berdampak negatif pada penggiat dan pekerja media serta industri kreatif.
Koordinator Divisi Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Guruh Riyanto, menyatakan pemerintah belum melibatkan pihaknya dalam penyusunan RPP Kesehatan.
Sindikasi juga tidak mengetahui secara detil isi aturan di dalam RPP Kesehatan yang rencananya akan segera diterbitkan dalam waktu dekat ini.
“Secara organisasi, kami belum terlibat terkait perancangannya. Kami juga belum membaca dan mempelajari soal (aturan tembakau di) RPP Kesehatan,” ujarnya.
Padahal, dari 16 subsektor ekonomi kreatif, setidaknya terdapat enam subsektor yang terkait dengan industri tembakau dari aspek periklanan hingga pembuatan materi konten kreatif.
Adapun secara kolektif, enam subsektor ini terancam oleh pasal pelarangan iklan dalam RPP Kesehatan, yang merupakan ladang mata pencarian bagi 725 ribu pekerja di industri media dan kreatif di Indonesia.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), M Rafiq, menolak keras pasal-pasal yang terkait pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship bagi produk tembakau dalam RPP Kesehatan.
“Kami sudah bersurat berkali-kali kepada pemerintah sebagai inisiator regulasi, namun tidak mendapatkan respons apapun hingga saat ini,” katanya.
Rafiq menjelaskan, saat ini, iklan rokok sudah diatur melalui sejumlah regulasi untuk memastikan komunikasi yang ditujukan oleh produsen menjangkau konsumen dewasa (18 tahun ke atas), seperti pada PP Nomor 109 Tahun 2012.
Sementara itu, ketentuan tentang iklan rokok juga telah diatur secara detil dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), yang mana keduanya telah dipatuhi secara disiplin oleh pelaku industri iklan dan kreatif.
Sekjen Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Gilang Iskandar, mengungkapkan sejumlah aturan pelarangan terkait iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau tersebut akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan industri media, periklanan, dan kreatif di Tanah Air, termasuk sektor pertelevisian.
Sebab, iklan rokok telah menjadi kontributor utama pendapatan iklan media.
Gilang berpendapat, rencana pelarangan iklan produk tembakau akan mempengaruhi usaha media dan periklanan, di mana dalam setahun rata-rata bisnis media dan periklanan dapat memperoleh sekitar Rp9-10 triliun yang didominasi oleh industri tembakau.
Dia juga memperkirakan adanya potensi penurunan yang dapat terjadi jika pembatasan dan penyempitan iklan rokok diberlakukan, maka industri media dan periklanan dapat kehilangan pendapatan hingga Rp9 triliun.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Emil Mahyudin, mengatakan sebagian besar bahkan hampir seluruhnya kegiatan konser dan festival musik tidak cukup hanya mengandalkan dari penjualan tiket saja. Namun, salah satunya juga mengandalkan pemasukan sponsor. Dalam hal ini dukungan terbesar yaitu berasal dari industri tembakau.
"Di Indonesia, banyak sekali event yang semuanya terdapat kontribusi dari industri tembakau. Bayangkan kalau kita kehilangan pendapatannya, apalagi industri ini baru saja terdampak oleh Covid-19 dan baru mau pulih kembali," tutupnya.