Sekolah dan Perumahan Dibuat Berdasarkan SARA Picu Tindakan Fasis
Merdeka.com - Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latief menganggap ada dua faktor munculnya gelombang fasisme baik di dunia, maupun di Indonesia. Menurut Yudi, faktor pertama ialah karena ruang-ruang pertemuan seakan hilang. Hal tersebut, menurut Direktur Eksekutif Reform Institute itu adalah sebuah paradoks.
"Di satu sisi, media sosial banyak memfasilitasi komunikasi, tapi tersegmentasi," kata Yudi di Hotel Sahid, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, Sabtu (31/8).
Menurutnya, media sosial yang seharusnya bisa melekatkan hubungan dan bisa mengetahui perspektif berbeda dari identitasnya. Namun, lanjut Yudi, yang terjadi justru anak muda Indonesia banyak yang mengakses media sosial berdasarkan kesamaan identitas dirinya. Hal itu, menurut Yudi, bisa mengarahkan kepada kesempitan pikiran.
-
Kenapa anak mudah kecanduan media sosial? Anak-anak cenderung lebih mudah terjebak dalam kecanduan media sosial karena otak mereka sangat responsif terhadap kenyamanan yang ditimbulkan oleh dopamin.
-
Kenapa media sosial bisa mengganggu kesehatan mental remaja? 'Media sosial dapat mengubah cara remaja berteman dan menjalin hubungan, serta memengaruhi kesehatan mental mereka,' ungkap sebuah penelitian.
-
Apa dampak negatif media sosial untuk anak? Seringkali, anak-anak tidak menyadari risiko yang mengancam akibat penggunaan media sosial yang berlebihan.
-
Apa saja bahaya media sosial untuk anak? Belum lagi prevalensi cyberbullying, diskriminasi, ujaran kebencian, dan postingan yang mempromosikan tindakan menyakiti diri sendiri yang dapat berinteraksi secara teratur dengan remaja, menurut APA.
-
Siapa yang bilang media sosial berbahaya bagi anak? Seorang Ahli Bedah Umum asal Amerika Serikat (AS) Vivek Murphy mengatakan bahwa media sosial menghadirkan risiko besar bagi kesehatan mental remaja.
-
Siapa yang paling rentan terkena dampak buruk media sosial? Penelitian yang dilakukan oleh Primack et al. (2017) menemukan bahwa remaja yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kecemasan dan depresi.
Sedangkan faktor kedua, hadirnya sekolah-sekolah di Indonesia terfragmentasi berdasarkan agama maupun suku atau ras. Selain itu, perumahan-perumahan juga mengalami hal yang sama.
Hal itu akhirnya pertemuan antar individu cenderung terbatas dan pandangan berbeda minim diketahui. Dan bagi Yudi, hal itu akan mendorong pemikiran fasis dam rasisme.
"Kalau di Singapura, apartemen bahkan ada kuotanya berdasarkan ras. Jadi apartemen itu harus multi ras. Dan jika kuotanya untuk Melayu, maka ras atau bangsa lain tidak bisa menempatinya," ungkap Yudi.
Ditambah juga, pakaian-pakaian seragam yang dikenakan oleh beberapa pihak, kata Yudi, juga akan cenderung mendekatkan pada prilaku radikalisme.
"Kerudung ala Indonesia ini lebih seragam dari pada kerudung dari dunia Arab," katanya.
Reporter: Yopi Makdori
Sumber: Liputan6.co
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Keberagaman suku, ras, dan agama menjadi isu sensitif semenjak praktik politik identitas mulai digunakan oleh para elit politik dalam kampanye-kampanyenya.
Baca SelengkapnyaSeluruh pihak termasuk pemerintah perlu memperkuat sosialisasi beragam jenis informasi kepada kalangan anak muda
Baca SelengkapnyaMiris, seorang bocah SD di Situbondo mengaku ikut-ikutan tren viral media sosial dengan menyakiti diri sendiri.
Baca SelengkapnyaSARA adalah singkatan dari suku, agama, ras, dan antargolongan.
Baca SelengkapnyaFenomena itu terjadi karena kurangnya wadah bagi anak-anak muda untuk berekspresi.
Baca SelengkapnyaGenerasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya.
Baca SelengkapnyaIndonesia harus kuat dari berbagai upaya destabilisasi gencar dilakukan khususnya dari kelompok dan jaringan teror.
Baca SelengkapnyaHoaks dapat memecah belah persatuan bangsa, mengganggu stabilitas politik.
Baca Selengkapnya