SARA Kepanjangan dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan, Begini Penjelasan Lengkapnya
Keberagaman suku, ras, dan agama menjadi isu sensitif semenjak praktik politik identitas mulai digunakan oleh para elit politik dalam kampanye-kampanyenya.
Keberagaman suku, ras, dan agama menjadi isu sensitif semenjak praktik politik identitas mulai digunakan oleh para elite politik dalam kampanye-kampanyenya.
SARA Kepanjangan dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan, Begini Penjelasan Lengkapnya
Isu SARA adalah salah satu isu yang sedang berkembang pesat di Indonesia belakangan ini.
SARA kepanjangan dari Suku, Agama, Ras dan Antargolongan telah menjadi salah satu pokok konflik sosial yang rupanya sangat sensitif bagi sebagian besar publik. Salah satu alasannya karena multikulturalisme yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Keberagaman suku, ras, dan agama menjadi isu sensitif semenjak praktik politik identitas mulai digunakan oleh para elite politik dalam kampanye-kampanyenya.
-
Apa itu SARA? SARA adalah singkatan dari suku, agama, ras, dan antargolongan, yang merujuk pada faktor-faktor identitas yang sering kali menjadi penyebab konflik horizontal dan vertikal dalam masyarakat.
-
Bagaimana SARA dikonstruksikan? Para pemegang kekuasaan seringkali menggunakan identitas SARA sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
-
Kenapa SARA sering jadi penyebab konflik? Konflik horizontal terbentuk antara individu atau kelompok yang memiliki identitas SARA yang berbeda, sedangkan konflik vertikal terbentuk antara kelompok yang memiliki perbedaan status atau kekuasaan.
-
Dimana SARA diatur dalam hukum? Hukum berkaitan dengan SARA diatur dalam undang-undang di Indonesia melalui beberapa pasal yang mengatur tentang penyebaran atau penyalahgunaan SARA.
-
Kenapa antropologi penting untuk memahami ragam di Sumut? Melalui pemahaman mendalam tentang keanekaragaman budaya, antropologi memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri.
-
Kenapa Ras di Indonesia begitu beragam? Beragam ras di Indonesia ini menjadikan Tanah Air memiliki beraneka ragam suku bangsa, agama dan budaya.
Mobilisasi massa menggunakan konten SARA dirasa menjadi salah satu jalan tercepat dan termudah untuk menarik simpati dan dukungan. Pada praktiknya, hal ini memberikan hasil yang cukup signifikan.
Berikut pengertian dari kepanjangan SARA dan bagaimana perkembangannya dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kepanjangan Sara dan Penjelasannya
Mengutip Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada oleh Heru Nugroho, kepanjangan SARA merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Dalam konsep SARA ada pengertian konflik horizontal yang dimotori oleh suku, agama dan ras dan juga konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan "ekonomi-politik" antar-golongan (Taufik A.Mullah, 1997).
Dalam sejarahnya, banyak rentetan kerusuhan dan konflik selalu didasarkan pada sentimen dan konsep SARA. Hal ini dikonstruksikan oleh para pemegang kekuasaan. Mereka cenderung tidak pernah bergeming dari perspektif lain dalam memahami penyebab kerusuhan, kecuali SARA yang selalu dijadikan sebagai tersangka utama dan kausa prima dari gejolak sosial tersebut.
SARA Sebagai Sumber Perpecahan
Dampak sosiologis dari kondisi seperti ini membuat konstruksi sosial tentang makna SARA dalam masyarakat lebih didominasi oleh perspektif rezim. SARA dipandang oleh negara sebagai sumber perpecahan dan konflik sosial.
Hal ini lantas menjadikan SARA sebagai suatu pengetahuan atau realitas yang ditabukan. SARA oleh masyarakat selalu dilihat sebagai sebuah potensi konflik daripada energi politis yang dapat mewujudkan demokrasi dan kemajemukan sosial.
SARA Sebagai Sumber Kemajemukan dan Demokrasi
Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan yang menjadi kepanjangan SARA adalah realitas sosial yang tidak dapat dielakkan oleh siapapun di dalam masyarakat baik dalam masyarakat pada jenjang perkembangan tradisional maupun modern. Kenyataan sosial menegaskan bahwa masyarakat-masyarakat di dunia ini terdiri dari berbagai macam etnis, agama dan golongan. Kenyataan seperti itu tidak jarang menciptakan problem sosial seperti masalah konflik dan disintegrasi.
Tetapi pada sudut lain (berdasarkan temuan-temuan historis) SARA justru dijadikan arena pemberdayaan dan demokrasi. Elemen-elemen dalam SARA tidak selalu terpisah secara kaku. Ada kemungkinan terjadi hal yang oleh seorang sosiolog bernama Peter Blau (1964) dinamakan cross cutting affiliation. Misalnya, ada orang-orang yang berbeda ditinjau dari etnis tetapi disatukan dalam agama, ekonomi, dan kepentingan yang sama.
Karena SARA merupakan kenyataan sosial maka keberadaannya tidak dapat dilenyapkan. Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apapun, termasuk menuju unifikasi melalui "monolitikisasi" masyarakat, cenderung akan menimbulkan keresahan, gejolak sosial, kerusuhan massa, dan pasti berakhir dengan disintegrasi sosial (Berger dan Neuhauss, 1977).
Hukum Berkaitan dengan Sara
Hukum berkaitan dengan sara diatur dalam sejumlah undang-undang. Berdasarkan Pasal 28 ayat (2) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Selain itu, hukum yang berkaitan dengan SARA juga tercantum dalam Pasal 244 tentang Tindak Pidana atas Dasar Diskriminasi Ras dan Etnis. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
“Setiap orang yang melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (Rp50.000.000)”
Cara Menumbuhkan Sikap Toleransi
Berikut beberapa cara menumbuhkan sikap toleransi, antara lain:
Saling Berkunjung di Masyarakat
Salah satu cara menumbuhkan sikap toleransi dalam kehidupan sehari-hari adalah saling berkunjung di masyarakat. Tujuan dari saling mengunjungi saudara-saudara adalah untuk mempelajari mengenai hal-hal positif dari agama tersebut serta untuk saling menghormati dan menghargai.
Semakin sering berkunjung ke saudara-saudara yang beda etnis atau agama, tentu akan semakin mengenal baik pribadi mereka. Dengan begitu, kedamaian akan tercipta.
Mengunjungi Tempat-tempat Nasional dan Tempat Ibadah
Cara menumbuhkan sikap toleransi selanjutnya adalah mengunjungi tempat-tempat nasional dan tempat ibadah. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih mengenal sejarah perjuangan para pendiri bangsa dalam mempertahankan negara dan keberagamannya. Masyarakat bisa belajar dari tempat-tempat seperti Monumen Pancasila Sakit dan juga Monumen Nasional.
Saling Berkunjung bagi Para Pemuka Agama
Selain masyarakatnya yang harus sama-sama belajar untuk menghargai dan menghormati ajaran agama lain, para pemuka agama juga harus bisa melakukan hal tersebut. Dengan begitu, nantinya para pemuka agama bisa memberi contoh yang baik bagi masyarakat.
Tolong Menolong Antarwarga
Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat merupakan kunci untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan. Selain itu, hal ini juga dapat mencegah proses perpecahan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Adapun contoh toleransi dalam kehidupan sehari-hari, yaitu memberikan kesempatan kepada tetangga melakukan ibadahnya, tolong menolong antarwarga ketika melaksanakan hari raya, dan tidak membeda-bedakan tetangga serta menghargai perbedaan budaya yang ada.