Salam Lintas Agama Dinilai Upaya untuk Merawat Kemajemukan di Indonesia
Salam lintas agama merupakan salah satu upaya berkesinambungan merawat kemajemukan dimiliki Indonesia.
Masyarakat tak boleh memiliki keinginan untuk menghapus majemuknya Indonesia.
Salam Lintas Agama Dinilai Upaya untuk Merawat Kemajemukan di Indonesia
Peneliti Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Abdul Jamil Wahab menjelaskan bahwa salam lintas agama merupakan salah satu upaya berkesinambungan merawat kemajemukan dimiliki Indonesia.Dia menilai kemajemukan adalah titah Tuhan. Untuk itu, masyarakat tak boleh memiliki keinginan untuk menghapus majemuknya Indonesia.
"Diperlukan kejujuran, khususnya dari tokoh agama dan masyarakat untuk menyampaikan bahwa perbedaan agama jangan sampai menjadi penyebab diskriminasi sosial," kata Jamil dalam keterangannya, Jumat (7/6). Sebelumnya, MUI melalui fatwanya menyatakan bahwa salam lintas agama tidak dibenarkan bagi umat Islam. Salam itu dianggap bagian dari ubudiyah sehingga menuai polemik pro dan kontra.
Menurut Jamil, pihak yang melarang penggunaan salam lintas agama berangkat dari pemikiran bahwa salam adalah bentuk ubudiyah atau urusan ibadah, sehingga tak boleh digabungkan dengan salam dari agama lain.
"Kalau kita memahaminya sebagai kata sapaan pada orang lain atau tahniah, saya kira tidak ada masalah," tuturnya. Ia berharap pemerintah memberikan perhatian pada isu kerukunan umat beragama. Pembangunan infrastruktur dinilai memang penting, tapi jangan sampai mengalahkan pentingnya pemberian ruang dialog lintas keimanan, baik di pusat maupun daerah.
Apalagi, sambung dia, bangsa Indonesia baru saja memperingati Hari Lahir Pancasila. Harusnya masyarakat kembali diingatkan besar karunia dianugerahkan pada bangsa ini.
Tidak hanya keragaman sosial dan budaya yang diberikan tempat secara khusus, perbedaan keyakinan pun diwadahi oleh Pancasila sebagai falsafah bangsa. Membahas esensi Pancasila sebagai tolak ukur dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, dia menyatakan bahwa sila pertama dapat dianggap sebagai unsur mempersatukan perbedaan keyakinan.
Menurutnya, para pendiri bangsa telah merancang Pancasila sehingga Indonesia menjadi negara mampu menjembatani konsep Ketuhanan dengan aspek kemasyarakatan.
"Bahwa sila pertama Pancasila, 'Ketuhanan Yang Maha Esa' mampu mengakomodasi keinginan dari berbagai macam kelompok masyarakat, terutama dari kalangan yang mewakili agama-agama yang berbeda," tambahnya. Jamil mengatakan sila pertama Pancasila hingga saat ini adalah yang disepakati bersama karena tidak tendensius terhadap salah satu agama saja.
Dengan menggunakan kalimat yang lebih umum, Pancasila kemudian dapat disepakati bersama karena dianggap tidak mengistimewakan agama tertentu.
Adanya konsep Ketuhanan dalam butir pertama Pancasila secara langsung memberikan penegasan bahwa negara Indonesia yang digagas para pendiri bangsa bukanlah negara sekuler, yang notabene meniadakan aturan agama dalam konstitusinya.
"Konstitusi negara menjamin para pemeluk agama, tidak hanya Islam saja karena mayoritas, tapi semua sama kedudukannya di mata hukum dan negara. Hal ini juga menunjukkan bahwa Indonesia menjunjung tinggi toleransi sesuai sila satu Pancasila."
tandas Abdul Jamil Wahab.