Analisis Ahli soal Fenomena Perang Sarung, Kenakalan Remaja Penyebabnya
Fenomena itu terjadi karena kurangnya wadah bagi anak-anak muda untuk berekspresi.
Tawuran atau perang sarung marak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia selama Ramadan 2024.
Analisis Ahli soal Fenomena Perang Sarung, Kenakalan Remaja Penyebabnya
Tawuran atau perang sarung marak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia selama Ramadan 2024. Tak sedikit pelaku perang sarung yang merupakan remaja ditahan polisi.
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Saifuddin Zuhri mengungkap penyebab maraknya perang sarung. Dia menyebut, fenomena itu terjadi karena kurangnya wadah bagi anak-anak muda untuk berekspresi.
"Terkait dengan maraknya fenomena perang sarung, saya justru melihat hal itu disebabkan oleh kurangnya wadah bagi anak-anak muda kita untuk berekspresi dalam hal positif," kata dia, Senin (18/3).
Jika dilihat dari sisi teori psikologi perkembangan anak, kata dia, masa remaja merupakan fase untuk mencari jati diri.
Dia mengatakan, dalam proses pencarian jati diri tersebut, cukup banyak remaja yang mengungkapkan ekspresi atau menunjukkan keberadaannya melalui berbagai cara.
Dalam hal ini, kata dia, perang sarung ataupun tawuran bersenjata tajam merupakan salah satu upaya yang dilakukan remaja untuk menunjukkan eksistensi namun dengan cara yang salah.
"Kebetulan wadah yang positif enggak ada, jadi mereka memilih perang sarung itu. Padahal itu sesuatu yang tidak baik dan merugikan,"
katanya.
merdeka.com
Dia menyayangkan sarung yang seharusnya digunakan untuk sesuatu yang baik seperti alat penutup aurat bagi pria muslim saat menunaikan ibadah salat maupun beriktikaf di masjid selama Ramadan, justru dimanfaatkan sebagai alat untuk tawuran.
Saifuddin mengapresiasi upaya Kepolisian dalam mencegah terjadinya perang sarung karena aksi tersebut tidak hanya berbahaya bagi para pelakunya, juga dapat membahayakan orang lain.
Bahkan, kata dia, polisi sering kali mengamankan sejumlah remaja terlibat dalam perang sarung maupun yang diduga hendak melakukan perang sarung.
"Oleh karena rata-rata masih di bawah umur, mereka hanya didata dan diberi pembinaan. Namun menurut saya, pembinaan tersebut tidak cukup dengan mengundang orang tua dan selanjutnya mereka diminta untuk meminta maaf, sehingga kurang memberikan efek jera," katanya.
Menurut dia, para remaja yang terlibat perang sarung itu sebaiknya dilibatkan dalam kegiatan positif seperti pesantren kilat.
Dalam hal ini, kata dia, Kepolisian bisa mengundang ulama untuk memberi materi keagamaan bagi para remaja yang terlibat perang sarung.
Selain itu, lanjut dia, anak-anak muda tersebut dibuatkan wadah untuk berekspresi melalui kegiatan positif.
"Misalnya, yang suka musik diberikan pelatihan hadroh atau seni lainnya. Nanti saat lebaran, mereka diberi ruang untuk berekspresi," kata dosen musik itu.
Dia optimistis upaya tersebut dapat memberikan dampak positif bagi para pelaku perang sarung ketimbang pembinaan yang dilakukan polisi selama ini dengan mengundang orang tua.
Bahkan setelah menjalani pembinaan dengan meminta maaf kepada orang tua masing-masing, kata dia, anak-anak tersebut tidak menutup kemungkinan suatu saat akan melakukan perbuatannya lagi.
"Permasalahan sebenarnya bukan rasa bersalah mereka kepada orang tua, tapi kurangnya ruang untuk berekspresi. Jadi, berikan ruang untuk mengekspresikan hal-hal positif bagi remaja yang terlibat perang sarung, tawuran, dan sejenisnya," kata dia, dilansir dari Antara.