Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Spiritualitas bumi dan kearifan pangan Trah Bonokeling di Banyumas

Spiritualitas bumi dan kearifan pangan Trah Bonokeling di Banyumas Ziarah Akbar Trah Bonokeling. ©2017 merdeka.com/Abdul Aziz

Merdeka.com - Rumah berlantai dua itu terletak di pemukiman masyarakat adat Bonokeling di RT03/RW01 Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Temboknya berwarna kuning mengkilap, tanda baru dicat ulang belum lama ini. Televisi 32 inch dibiarkan menyala di beranda rumah.

Di sisi kanan rumah terdapat garasi seluas 4x5 meter persegi. Di dalamnya terlihat beberapa pria duduk bersila dan saling bercengkrama. Pemandangan yang khas dari mereka, semuanya berbusana hitam, bersarung batik dan menggunakan kain penutup kepala yang disebut iket (semacam blangkon).

ziarah akbar trah bonokeling

Orang lain juga bertanya?

Sejak Rabu (24/5) malam sampai Kamis (25/5) siang, beberapa warga setempat berkumpul di rumah itu. Rabu malam, dua orang saling bergantian membacakan macapatan (puisi jawa) berisi asal usul manusia dari pukul 21.00 WIB sampai Kamis pukul 04.30 WIB. Sekitar pukul 10.00 WIb, beberapa tumpeng dengan lauk daging sapi serta sayur mayur ditata di meja yang berada di halaman rumah. Ritam, tuan rumah, selama dua hari satu malam tersebut, tengah melaksanakan selametan mitoni. Mitoni berarti memanjatkan doa meminta keselamatan atas tujuh bulan kehamilan sang istri.

"Saya merantau ke Jakarta, di Jatinegara sejak tahun 1996. Saya membuka apotek di sana dan saya liburkan dua hari ini. Saya pulang ke kampung Jumat (19/5) kemarin, mengikuti naluri (adat) perlon unggahan juga mitoni," kata Ritam saat ditemui merdeka.com di kediamannya.

Siang itu, Ritam juga berbusana adat mengenakan iket berwarna hijau, jas hitam dan kain batik yang disarungkan. Usai kemenyan dinyalakan di depan halaman rumahnya, para kamituwa (orang yang dituakan) berkumpul di ruang utama. Ritam nampak berdiri di belakang para kamitua yang bersama-sama melantunkan doa. Di dekat kakinya tergelatak dua buah kelapa dan empat ikat gabah kering yang diikatkan pada sebatang kayu.

Tanpa aba-aba, Ritam lalu menggotong gabah dan kelapa tersebut keluar rumah. Dia berjalan terburu-buru menuju depan gang kampung. "Gabah kering jenis padi Jawa dan kelapa saya antar ke rumah dukun bayi. Kalau zaman dulu ke rumah dukun harus jalan, kalau sekarang diantar mobil bak terbuka. Dukun bayi itu akan berdoa untuk keselamatan bayi yang dikandung istri saya," ujar Ritam.

ziarah akbar trah bonokeling

Selametan mitoni seperti yang dilakukan Ritam memang bagian tradisi anak putu (trah atau keturunan) Bonokeling. Trah bonokeling sendiri merupakan masyarakat adat yang oleh beberapa peneliti disebut komunitas Islam Blangkon karena iket serupa blangkon merupakan identitas resmi trah bonokeling. Ada pula yang menyebut sebagai Islam Aboge (alif rebo wage) karena segala kegiatan didasarkan pada perhitungan Jawa yang terbagi dalam kurun waktu sewindu dan hari pasaran. Rinciannya terdiri atas tahun Alif, Ha, Jim, Awal, Za, Dal, Ba, Wawu dan Jim Akhir dengan pasaran Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon.

Sepintas tentang Kiai Bonokeling, menurut penelitian Ridwan dkk dalam buku Islam Kejawen, Sistem Keyakinan dan ritual anak cucuk Ki Bonokeling (2008) dipercaya sebagai leluhur sekaligus tokoh spiritual yang awal mula melakukan among tani (membuka lahan pertanian) di Pekuncen. Tokoh yang disebut-sebut berdarah bangsawan Kadipaten Pasirluhur itu, berabad-abad silam memilih menyepi dengan mengajarkan cara bercocok tanam dan beternak pada warga setempat. Ia sekaligus menyebarkan agama Islam dengan mengakomodasi tata nilai budaya lokal yakni tradisi selametan.

Ketua komunitas adat trah Bonokeling, Ki Sumitro bercerita tradisi selametan yang dilakukan trah Bonokeling berkaitan dengan siklus kehidupan manusia sejak dari kandungan (mitoni, tujuh bulanan), kelahiran (puput puser), menyentuh tanah atau berjalan (tedhak siten) sampai upacara kematian. Selametan juga dilakukan terkait hari besar yakni perlon (keperluan) unggahan (menyambut bulan puasa), Apit sedekah bumi (pasca panen) sampai besaran (hari raya idul adha). Dalam berbagai selametan, akomodasi yang tak terelakkan yakni hasil pertanian dan peternakan mulai dari beras, sayur mayur, kambing, sapi, ayam berasal dari swadaya anak putu Bonokeling.

Dalam tradisi selametan siklus kehidupan, secara simbolik butir-butir padi menjadi bagian utama ritus. Ki Sumitro bercerita, dalam selametan mitoni empat iket gabah yang digotong orang tua menunjukkan harapan perilaku pada jabang bayi. Semakin tumbuh dewasa dan menguasai banyak ilmu pengetahuan, manusia diharapkan semakin menunduk layaknya padi. Sedang butiran-butiran padi yang disebarkan di areal makam anak putu Bonokeling menyimbolkan kefanaan manusia yang pada akhirnya tak bisa menolak kembali ke pangkuan alam.

kaum pria pengikut bonokeling

"Filosofi padi memang jadi spiritualitas hidup kami yang diajarkan turun temurun," kata Sumitro.

Trah bonokeling juga mendudukkan hasil pertanian, utamanya padi sebagai bagian sistem ketahanan pangan. Di desa Pekuncen sendiri, dalam menjaga relasi sosial setiap anak putu diwajibkan menabung 20 kg gabah setiap masa panen untuk disimpan dalam lumbung di tiap rukun tetangga (RT). Di lumbung-lumbung yang kini berjumlah 23 tempat, ratusan ton gabah dikelola. Peruntukannya keperluan selametan hari besar yang melibatkan ribuan orang sampai bantuan akses finansial bagi anak putu yang membutuhkan.

"Awal mulanya, kebijakan menabung gabah ini untuk simpanan menghadapi mangsa (musim) paceklik. Ini sudah berlaku sejak dahulu. Persoalan kekeringan yang saya ingat dulu pernah terjadi tahun 80-an. Sawah tandus, tapi anak putu gak sampai resah. Karena simpanan gabah dibagikan cuma-cuma untuk melanjutkan hidup," kata Sumitro yang merupakan ketua adat anak putu Bonokeling generasi ke-14 ini.

Terpisah, Sekretaris RT01/RW06 Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang, Ruswandi mengatakan penyetoran gabah wajib dilakukan tiga bulan setelah masa panen. Di wilayahnya, dari 34 keluarga yang semuanya petani setiap usai panen bisa tersimpan 2,5 ton gabah kering. Bila ancaman paceklik tak menghantui, simpanan gabah ini diperuntukkan untuk kebutuhan tradisi seperti selametan juga untuk pembangunan balai pertemuan warga.

"Setiap warga juga punya hak untuk meminjam 1 kwintal gabah dalam setahun. Tapi nantinya mereka harus mengembalikan 1 kwintal ditambah 2 kg," kata Ruswandi.

Selama ini, penggunaan simpanan gabah terbanyak diperuntukkan untuk keperluan unggahan menyambut bulan puasa yang melibatkan ribuan anak putu Bonokeling. Seperti pada unggahan yang digelar Jumat (19/5) lalu terlibat 2.100 anak putu dari luar desa Pekuncen yakni dari berbagai wilayah Cilacap mulai dari Adiraja, Kroya, Daun Lumbung sampai Ujung Manik. Untuk akomodasi selametan itu kebutuhan beras tak jadi kekhawatiran sebab telah ada persedian. Anak putu tinggal melakukan swadaya ayam, kambing hasil ternak atau sayur mayur dari hasil ladang.

"Kalau dihitung secara finansial dalam setengah tahun setidaknya dari 23 Rt ada simpanan Rp 230 juta. Kalau memang tak terpakai dalam setahun, gabah kami kembalikan ke warga. Tiap keluarga bisa dapat 50 kg," jelasnya.

kaum pria pengikut bonokeling

Kewajiban menabung gabah tersebut dinilai oleh Kepala Desa Pekuncen, Suwarno sebagai bagian kearifan pangan masyarakat adat Bonokeling. Suwarno berpendapat kebiasaan itu tumbuh sebab mayoritas trah bonokeling merupakan kaum tani dimana berbagai ritus yang dilakukan selalu menyangkut harapan kesuburan. Hanya saja menurut amatannya, luas areal persawahan di Pekuncen semakin menyempit kurang lebih tersisa 65 Ha berjenis tadah hujan. Penyempitan ini disebabkan alih lahan menjadi pemukiman.

"Populasi masyarakat adat Bonokeling ini faktanya memang semakin meluas. Karena karakteristik bertambahnya anggota komunitas dari perkawinan. Tumbuhnya satu keluarga baru mau tak mau menggeser lahan pertanian jadi pemukiman," kata Suwarno saat ditemui di kediamanya, Kamis (25/5).

Selain itu, pengolahan lahan pertanian oleh trah bonokeling tak diimbangi dengan transfer tekhnologi pertanian. Hal ini disebabkan para penyuluh pertanian tingkat Kecamatan Jatilawang tak bekerja maksimal turun ke warga. Produktivitas panen pun tak merangkak naik, sebab ketika kemarau melanda persoalan yang tak dapat dihindari yakni kesulitan air.

"Kami sedang upayakan sumur bor di beberapa titik. Rencananya akan kami mulai di RW06 RW03," imbuh Suwarno.

Terkait alih lahan pertanian ke pemukiman, Ketua komunitas adat trah Bonokeling, Ki Sumitro tak memungkiri persoalan ini. Ia juga mengatakan, perubahan alam atau iklim juga menyulitkan para petani di Pekuncen yang berpedoman pada penanggalan pertanian Jawa Pranatamangsa. Gejala-gejala alam yang semestinya terus berulang seperti mangsa terang, udan, panen, paceklik, pangarep-arep katanya sudah sulit jadi pegangan, karena tak lagi terjadi secara teratur setiap tahun.

ziarah akbar trah bonokeling

"Hambatan yang terjadi juga musim yang tak lagi teratur. Kekhawatiran lain yang mulai saya perhatikan banyak bermunculan tambang batu belah di daerah sini. Kalau tambang ini juga mulai masuk Pekuncen, kita harus berani menolak," kata Sumitro.

Pada akhirnya filosofi hidup yang diambil secara simbolik dari produk pertanian seperti saat mitoni, relasi sosial menabung gabah sampai praktek pertanian pranata mangsa yang dilakoni trah Bonokeling di desa Pekuncen adalah bagian spiritualitas. Dalam khazanah ekologi, spiritualitas mereka bisa disebut sebagai the spirituality of the earth yakni spiritualitas bumi. Mengutip Sindhunata dalam esai 'Pranata Mangsa Sebuah Budaya yang Terancam Punah' (Majalah Basis nomor 9-10, tahun ke-57, September-Oktober 2008) spiritualitas bumi adalah penghormatan dan apresiasi pada bumi dan alam tempat manusia hidup dan berada.

Trah bonokeling telah merawat spiritualitas itu, justru ketika kemajuan di bidang industri dan teknologi menunjukkan superioritasnya di hadapan alam. Dunia pun telah beralih wajah dengan begitu lekas, polusi dan terkurasnya kekayaan alam. Sedang trah Bonokeling di pelosok desa Pekuncen, lebih sering dipandang sebagai bagian masa silam, komunitas yang belum bisa meninggalkan animisme dan dinamisme.

(mdk/noe)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
FOTO: Mengenal Desa BRILIan Trawas: Giat Pelaku UMKM Terus Tumbuh Berkat Inovasi dan Kreativitas Warga
FOTO: Mengenal Desa BRILIan Trawas: Giat Pelaku UMKM Terus Tumbuh Berkat Inovasi dan Kreativitas Warga

Semangat masyarakat Desa Trawas di Mojokerto tidak kalah hebat. Mereka mampu berkolaborasi untuk membangun desanya semakin sejahtera.

Baca Selengkapnya
Menilik Suasana Pagi di Kampung Baduy, Pemandangan Jalan Setapak di Hutan Indah Banget
Menilik Suasana Pagi di Kampung Baduy, Pemandangan Jalan Setapak di Hutan Indah Banget

Perpaduan pepohonan rindang dengan jalan setapak di perkampungan Baduy menghasilkan pemandangan yang indah dan estetik terutama saat pagi hari.

Baca Selengkapnya
Udara Selalu Segar dan Tidak Pernah Panas, Intip Eksotisme Desa Jatiluwih Bali yang Jadi Warisan Budaya Dunia
Udara Selalu Segar dan Tidak Pernah Panas, Intip Eksotisme Desa Jatiluwih Bali yang Jadi Warisan Budaya Dunia

Sistem pertanian di desa ini sudah dibangun sejak abad ke-11

Baca Selengkapnya
Ketika Pegiat Wisata di Kutai Timur Belajar ke Desa Bonjeruk, Memahami Sapta Pesona
Ketika Pegiat Wisata di Kutai Timur Belajar ke Desa Bonjeruk, Memahami Sapta Pesona

Rombongan ingin melihat secara dekat denyut kehidupan dan ekonomi Desa Bonjeruk.

Baca Selengkapnya
Desa Ini Lokasinya di Pinggir Jurang Tapi Padat Penduduk, Pemandangannya Ternyata Indah Banget
Desa Ini Lokasinya di Pinggir Jurang Tapi Padat Penduduk, Pemandangannya Ternyata Indah Banget

Meski berada di tepi jurang, namun perkampungan tersebut padat penduduk.

Baca Selengkapnya
Meriahnya Ritual Kebo-keboan Alas Malang, Wujud Kekuatan Budaya Banyuwangi
Meriahnya Ritual Kebo-keboan Alas Malang, Wujud Kekuatan Budaya Banyuwangi

Ritual adat Kebo-keboan Alas Malang yang digelar masyarakat Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Minggu (30/7), berlangsung meriah.

Baca Selengkapnya
Merajut Kenangan di Kuningan, Alamnya Indah Kulinernya Menggiurkan
Merajut Kenangan di Kuningan, Alamnya Indah Kulinernya Menggiurkan

Kota kecil di selatan Jawa Barat ini punya kuliner yang eksotis dan destinasi yang nyeni.

Baca Selengkapnya
Melihat Tradisi Wiwitan Panen Padi di Jogja, Tetap Dilestarikan di Tengah Perkembangan Teknologi
Melihat Tradisi Wiwitan Panen Padi di Jogja, Tetap Dilestarikan di Tengah Perkembangan Teknologi

Tradisi Wiwitan rutin diadakan setiap tahun oleh para petani di Jogja. Acara itu dirangkai dengan berbagai kegiatan kesenian

Baca Selengkapnya
Jadi Pemenang Desa BRILian 2023, Ini Cerita Desa Bansari di Temanggung Bergerak Menuju Desa Wisata
Jadi Pemenang Desa BRILian 2023, Ini Cerita Desa Bansari di Temanggung Bergerak Menuju Desa Wisata

Desa Bansari memiliki beragam potensi yang sedang dikembangkan agar bisa menggaet wisatawan

Baca Selengkapnya
Makna Motif Batik ‘Pring’ Khas Magetan, Arti dalam Kehidupan Hingga Munculnya Mitos
Makna Motif Batik ‘Pring’ Khas Magetan, Arti dalam Kehidupan Hingga Munculnya Mitos

Meskipun motif batik khas Magetan beragam tetapi Batik Pring tetap dikenal oleh masyarakat luas.

Baca Selengkapnya
Mengenal Krobongan, Ruang Sakral bagi Dewi Pertanian di Rumah Tradisi Jawa
Mengenal Krobongan, Ruang Sakral bagi Dewi Pertanian di Rumah Tradisi Jawa

Tradisi krobongan dilakukan sebagai bentuk terima kasih kepada Dewi Sri serta mengharapkan kelancaran dalam melakukan rangkaian pertanian.

Baca Selengkapnya
FOTO: Mengenal Desa Angseri, Desa dengan Tata Kelola Terbaik dalam Program Desa BRILIaN 2023
FOTO: Mengenal Desa Angseri, Desa dengan Tata Kelola Terbaik dalam Program Desa BRILIaN 2023

Selain unggul dalam tata kelola air dan pariwisata, Desa Angseri juga memiliki potensi UMKM yang tidak kalah menarik.

Baca Selengkapnya