Melihat Tradisi Wiwitan Panen Padi di Jogja, Tetap Dilestarikan di Tengah Perkembangan Teknologi
Tradisi Wiwitan rutin diadakan setiap tahun oleh para petani di Jogja. Acara itu dirangkai dengan berbagai kegiatan kesenian
Di era modernisasi ini, teknologi pertanian terus berkembang, terutama pada sektor pertanian padi. Panen raya yang biasanya dilakukan 2-4 kali dalam setahun bisa diperbanyak sampai tujuh kali. Kapasitas produksi pun terus meningkat.
Selain itu, metode pertanian juga berubah seiring dengan kemunculan alat-alat teknologi, menggantikan tenaga kerbau bahkan tenaga manusia.
-
Kenapa orang Jawa di Malaysia tetap lestarikan tradisi? Namun mereka tak ingin meninggalkan identitas asal. Walaupun berada di negeri orang mereka tetap lestarikan budaya Jawa.
-
Apa yang dilakukan di tradisi Wiwitan Kopi? Acara itu dimulai dengan iring-iringan penari beserta sesaji menuju kawasan perkebunan kopi di Desa Banyuanyar, Kecamatan Ampel, Boyolali.
-
Kenapa tradisi Wiwitan Kopi dilakukan? 'Ini dalam rangka melestarikan budaya nenek moyangku dulu. Mulai panen apapun juga, baik itu padi, cabe, maupun kopi, itu kirimannya seperti ini. Tradisi ini dilakukan sebagai perasaan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa,'
-
Mengapa tradisi ini dilestarikan? Tradisi itu dilestarikan untuk mengenang penyebar agama Islam di Jatinom, Ki Ageng Gribig.
-
Apa tradisi unik di Wotawati? Warga Padukuhan Wotawati punya tradisi unik. Salah satunya adalah tradisi Rasulan yang diadakan setelah masa panen.
-
Bagaimana cara melestarikan tradisi Momong Pedet? 'Saya harap para bapak ibu yang tergabung dalam kelompok ternak Andini Mulyo bisa setiap tahunnya melaksanakan tradisi.
Walau begitu, kearifan lokal petani yang sudah diwariskan secara turun-temurun bukan berarti harus ditinggalkan. Para petani di Kalurahan Bangunjiwo, Kabupaten Bantul, setiap tahunnya melestarikan tradisi Wiwitan. Ritual itu merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan agar hasil panen padi mereka melimpah.
Berikut selengkapnya:
Bentuk Rasa Syukur
Dikutip dari Bantulkab.go.id, tradisi Wiwitan di Kalurahan Bangunjiwo berlangsung di lokasi yang berbeda setiap tahunnya. Acara itu digelar dalam rangka mengawali panen raya padi. Acara utama dalam tradisi itu adalah pembacaan doa dan dilanjutkan makan bersama.
Pada tahun 2024 ini, tradisi Wiwitan mendapat dukungan dari dana keistimewaan dan berlangsung di Bulak Nglampisan, Gendeng, Bangunjiwo.
“Acara ini sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang akan terus dilestarikan dan digenerasikan kepada generasi selanjutnya. Meskipun dilanda kemarau panjang, hasil panen masih masuk target dan rencana akan dibangun embung untuk keberlanjutan yang lebih baik,” ujar Lurah Bangunjiwo, Parjan, pada Rabu (18/9).
Dirangkai dengan Kegiatan Budaya
Parjan mengatakan, tradisi Wiwitan di Kalurahan Bangunjiwo dirangkaikan dengan berbagai kegiatan budaya. Menurutnya, kegiatan ini merupakan wujud gotong royong dan semangat kebersamaan masyarakat, serta komitmen pemerintah desa bersama warga dalam mewujudkan desa mandiri budaya. Pada tahun 2024 ini, acara budaya itu dipusatkan di Bulak Nglampisan, Kalurahan Bangunjiwo.
"Dirangkai dengan kegiatan ada gejog lesung, ada geguritan, ini menunjukkan antara ekonomi dan budaya ini beriringan, jadi selamat guyub rukun terus warga Kelurahan Bangunjiwo," ujar Parjan dikutip dari ANTARA.
Komitmen Pemkab Bantul
Bupati Bantul ikut hadir dalam upacara wiwitan tahun 2024 ini. Ia mengucapkan selamat pada para petani Bangunjiwo atas terselenggaranya tradisi tersebut.
Sebagai komitmen untuk meningkatkan infrastruktur pertanian, Pemkab Bantul berencana membangun embung di tanah kas desa seluas lebih dari satu hektare. Keberadaan embung itu diharapkan dapat membantu dalam pengelolaan air sehingga dapat mendukung keberlanjutan pertanian di Bangunjiwo.
“Sektor pertanian merupakan sektor prioritas pembangunan karena warga Bantul mayoritas adalah petani,” ucap Bupati Bantul Abdul Halim Muslih.
Jaga Tradisi Nenek Moyang
Selain di Kalurahan Bangunjiwo, Bantul, tradisi wiwitan panen padi ini juga dilestarikan oleh masyarakat di Kalurahan Wirogunan, Kemantren Mergangsan, Kota Yogyakarta. Acara itu tetap dilestarikan demi menjaga budaya adiluhung yang diwariskan oleh nenek moyang. Acara itu juga menjadi momen silaturahmi antar warga, terutama saat mereka menikmati hidangan makanan secara bersama-sama.
“Nenek moyang kita punya cara sendiri untuk menghormati pemberian alam. Ini adalah bentuk terima kasih kepada Tuhan atas nikmat hasil pertanian,” kata Pejabat Wali Kota Yogyakarta, Sugeng Purwanto, dikutip dari Rri.co.id.