Buka-bukaan Isi 'Dapur' Lembaga Survei, Soal Pendana hingga Cara Bertanya
Peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad buka-bukaan cara kerja lembaga survei
Saidiman mengakui lembaga survei bekerja karena dibiayai pemesannya.
Buka-Bukaan Isi 'Dapur' Lembaga Survei, Soal Pendana hingga Cara Bertanya
Peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad buka-bukaan cara kerja lembaga survei. Ia mengakui lembaga survei bekerja karena dibiayai pemesannya.
Tetapi, Saidiman menjamin survei yang SMRC lakukan secara objektif. Karena bisnis survei berbasiskan pada kepercayaan. Survei yang melakukan manipulasi data, akan kehilangan klien.
"Jadi survei itu lumayan mahal apalagi surveinya nasional, lumayan mahal dan itu dibiayai. Dan kuncinya adalah siapa orang bodoh mau membiayai survei yang hasilnya bisa dipesan,"
katanya dalam diskusi daring, Sabtu (25/11).
Saidiman mengatakan, orang yang membiayai lembaga survei untuk melihat realitas yang terjadi di masyarakat.
Pengguna jasa survei biasanya lembaga pemerintah, kampus, sampai elite politik. Lingkaran pengguna jasa lembaga survei juga terbilang kecil. Bila ada lembaga survei yang memanipulasi data, maka bakal ditinggalkan.
"Biasanya memakai jasa survei banyak sekali bisa beberapa macam. Itu pun elite pemerintah, lembaga internasional dan lembaga kampus umumnya itu. Kalau anda melakukan manipulasi satu, maka ini semua tahu dengan cepat," kata Saidiman.
Survei yang melakukan manipulasi diyakini tidak akan berumur panjang. Karena pada akhirnya tidak ada yang mau bekerjasama dengan mereka. Karena itu, survei yang bisa dipercaya, menurut Saidiman, adalah lembaga survei yang sudah punya nama dan rekam jejak panjang.
"Lembaga yang melakukan manipulasi seperti itu tidak akan lama, tidak akan panjang umurnya," ujarnya.
Saidiman pun mengungkap, pada 10-15 tahun lalu ada klien yang memesan survei politik tetapi menolak hasil survei yang ia pesan. Lantaran tidak sesuai dengan ekspektasinya.
"Kami misalnya beberapa kali berhadapan dengan klien dia punya ekspektasi tertentu masyarakat begini ternyata tidak demikian, eh dia denial itu persoalan biasa. Masa sih kayak gitu. Karena mereka punya ekspektasi sendiri," ungkapnya.
"Sekarang elite-elite kita termasuk para politisi yang ingin menggunakan jasa lembaga survei untuk melihat realitas di publik itu sudah mulai menerima kalau begitu keadaannya, ya begitu keadaannya," jelas Saidiman.
Saidiman juga membuka bahwa pertanyaan yang diajukan publik oleh surveyor bakal menghasilkan jawaban yang berbeda.
Ia mencontohkan survei yang hanya menanyakan kepada publik apakah setuju dengan politik dinasti atau tidak. Hasilnya, yang setuju politik dinasti ternyata lebih banyak daripada yang tidak setuju.
Namun, hasilnya akan berbeda bila dijelaskan lebih dahulu definisi tentang hal yang ditanyakan. Misalnya dijelaskan bahwa pengertian dinasti politik adalah ada orang sedang maju untuk meraih kekuasaan, dan ada anggota keluarganya sedang berada di kekuasaan.
SMRC menggunakan cara ini dalam menanyakan kepada respondennya. Hasilnya ternyata berbeda. Yang mendengar tentang dinasti politik 38 persen. Dari situ ditanya kembali, apakah praktik politik tersebut menyalahi prinsip keadilan atau merusak keadilan dalam berkompetisi. Hasilnya, ungkap Saidiman, mayoritas responden menilai politik dinasti merusak keadilan dalam kompetisi.
Kemudian, ditanya kembali kepada responden tersebut apakah suka atau tidak suka dengan politik dinasti, hasilnya menyatakan 85 negatif.
"Lalu kita tanya lagi apakah anda suka politik dinasti dalam pengertian yang tadi 85 persen menyatakan tidak suka," jelas Saidiman.
Karena itu, konstruksi pertanyaan kepada responden akan menentukan juga hasilnya. Responden perlu diberikan pemahaman tentang istilah yang tidak diketahuinya. Maka perlu dijelaskan dahulu definisi yang akan ditanyakan kepada publik. Setelah sama-sama tahu, maka hasil objektifnya bakal terlihat.
"Memang konstruksi pertanyaan bisa berubah jawabannya kalau cara membuat kuisionernya berbeda," ungkap Saidiman.