Cerita di Balik 3 Hari Penuh Dinamika Politik Pilkada dalam Hidup Anies Baswedan
Jalan Anies Baswedan mecari tiket untuk maju di Pilkada 2024 sudah dipastikan kandas
"Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu." - Franklin D. Roosevelt.
Kutipan dari Presiden Amerika Serikat ke-32 ini, seperti menggambarkan skenario yang dialami Anies Baswedan, dari kapal awalnya terbentang lebar kini secara teratur mulai ditutup berujung tak berlayar.
Relawan Anies Baswedan, Geisz Chalifah bercerita di balik tiga hari penuh dinamika politik tersebut. Berawal dari aspirasi besar dari masyarakat dan sejumlah partai untuk meminta Anies kembali menjabat Gubernur Jakarta setelah kalah dalam pertarungan Pilpres.
Dimana awalnya ada tiga partai PKB, NasDem, dan PKS yang sudah terang-terangan mendeklarasikan dukungan kepada Anies untuk kembali melenggang dalam kontestasi Pilkada Jakarta.
"Lalu terjadilah operasi jahat dilakukan terhadap partai-partai yang ingin mengusung Anies. Seperti NasDem juga PKB (Dioperasi). Juga Iming-iming terhadap PKS dengan syarat tak boleh mencalonkan Anies," kata Geisz dalam keterangan tertulisnya, dikutip merdeka.com , Jumat (30/8).
Operasi yang dimaksud Geisz, seperti batas waktu yang diberikan PKS dimana sebelumnya tidak pernah dibahas kepada Anies. Dilanjutkan berpalingnya PKB dan NasDem bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Ridwan Kamil (RK) - Suswono.
"Akhir cerita Ketiga partai itu balik arah tak lagi mengusung Anies," ujarnya.
Putusan MK jadi Angin Segar
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sempat menjadi angin segar dengan kabar PDI Perjuangan (PDIP) yang akan mendukung Anies Baswedan. Karena telah memenuhi syarat sebagai partai pengusung.
Meski hanya tiga hari menjelang pendaftaran pada 27 Agustus, diungkap Geisz dinamika politik pun berjalan dengan cepat. Diawali Anies sowan ke DPD PDIP Jakarta, Sabtu 24 Agustus.
Dilanjutkan esok malamnya, Ketua DPP PDIP Said Abdullah dan Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mendatangi Anies di rumah pemenangan kawasan Brawijaya pada Sabtu, 25 Agustus untuk menandatangani sebuah berkas.
Walau tidak disebutkan berkas yang dimaksud, namun pada Senin 26 Agustus Anies diminta hadir ke DPP PDIP untuk bertemu dengan Rano Karno dalam agenda deklarasi yang berujung batal.
"Anies diminta hadir di gedung belakang DPP PDIP, bertemu dengan Rano Karno dan teman-teman PDIP. Kemudian mendadak terjadi ‘perubahan situasi’ yang kemudian dikatakan untuk ditunda," kata dia.
"Lalu sore hari terjadi perubahan nama. Yang kemudian dicalonkan Adalah Pramono Anung dan Rano Karno. Cerita dibalik itu adalah cerita yg sama dengan partai-partai sebelumnya yang mendukung Anies namun lebih kompleks," tambah Geisz.
Sampai memasuki hari terakhir pendaftaran, tiba-tiba muncul permintaan dari PDIP untuk Anies bisa maju di Pilkada Jabar. Santer kalau Anies akan dipasangkan Ketua DPD PDIP Jawa Barat Ono Surono atau Kang Ono.
"Permintaan itu memang ada. Namun demikian berbeda dengan Jakarta. Di Jakarta Anies bersedia maju karena ada aspirasi warga maupun dari DPW dan DPD partai. Akan tetapi untuk Jawa Barat, tak ada permintaan atau aspirasi dari warga maupun Dewan Pimpinan Daerah Partai tersebut di Jawa Barat," bebernya.
Pertimbangan itu, ungkap Geisz, dipilih Anies karena secara moral tak pantas menerima amanah yang datang bukan bukan kehendak warga Jawa Barat. Meskipun saat Pilpres pemilih di Jawa Barat Anies mendapat 31% suara.
"Dengan demikian kandaslah sudah semua ikhtiar warga Jakarta (mendatangi partai-partai) untuk mengusung Anies maju di DKI. Yang berakhir dengan tak jadi berlayar. Karena operasi jahat dilakukan dengan sempurna," ujarnya.
Sampai akhirnya PDIP mengusung Jeje Wiradinata dan Ronal Sunandar Surapradja. Jeje merupakan mantan bupati Pangandaran, lalu Ronal Surapradja seorang artis.
Ada Campur Tangan Eksternal
Secara terpisah, Ketua DPD PDIP Jabar, Ono Surono mengatakan, Anies Baswedan seharusnya telah memenuhi semua unsur kriteria untuk memimpin Jawa Barat. Kapasitas dan pengalaman memimpin wilayah DKI Jakarta, bisa diterapkan di wilayah Jabar.
Padahal, komunikasi di antara kedua belah pihak sudah intens sejak Rabu (28/8). Hingga Kamis (29/8) sore, pembahasan pengurus partai di tingkat pusat sudah positif.
Pengurus PDIP di Jabar sudah diminta untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan keperluan pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar. Namun, semua tiba-tiba berubah pada malam hari. Ia menegaskan, semua upaya yang sudah dilakukan diganggu oleh pihak luar.
"Kita menghadapi sebuah tantangan yang sangat besar, tangan-tangan yang tidak menyetujui Pak Anies diusung oleh PDIP Perjuangan, kekuatan-kekuatan yang sangat besar itu pada akhirnya membuat pak Anies tidak jadi diusung oleh PDI Perjuangan," kata Ono di Kantor KPU Jabar, Jumat (30/8) dini hari.
"Kami di Jawa Barat tentunya sangat mempunyai keinginan Pak Anies diusung di Jawa Barat. Kami menilai bahwa yang sudah mengerucut pada akhirnya bubar itu karena ada tangan-tangan dari luar yang tidak menghendaki Pak Anies diusung di Jabar," dia melanjutkan.
Mulyono dan Geng Dalang Penjegalan Anies di Pilkada Jabar
Mengenai bentuk penjegalan upaya pencalonan Anies, Ono mengaku tidak bisa mengungkapnya secara detail. Hanya saja, ia memberikan petunjuk siapa dalang dari dinamika yang terjadi.
"Mulyono (nama samara) dan geng, Tulis saja Mulyono," tegas dia.
Ono tidak menjelaskan secara rinci maksud Mulyono dalam pernyataan mengenai penjegal Anies di Pilkada Jabar.
Namun diketahui, Mulyono yang dimaksud diduga berkaitan dengan istilah yang sempat ramai dibahas oleh netizen di media sosial. Nama tersebut merupakan pengganti untuk sosok Joko Widodo, merujuk pada buku berjudul ‘Jokowi Menuju Cahaya’ Karya Alberthiene Endah yang terbit pada tahun 2018.
Dalam buku itu tertulis bahwa Mulyono adalah nama yang diberikan oleh orang tua saat Joko Widodo masih kecil. Namun, karena saat kecil sering sakit-sakitan, nama Mulyono berganti dengan Joko Widodo.