Pro Kontra Putusan MK soal Anggota TNI-Polri dan Pejabat Tak Netral Bisa Dipidana
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan anggota TNI-Polri hingga pejabat negara bisa dipidana bila melanggar netralitas di Pilkada 2024
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan anggota TNI-Polri hingga pejabat negara bisa dipidana bila melanggar netralitas di Pilkada 2024. Putusan itu tercantum dalam putusan MK Nomor 136/PUU-XII/2024.
Putusan MK itu menyatakan bila TNI-Polri membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada maka dapat dikenakan sanksi pidana atau denda.
MK memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pasal 188 UU Nomor 1/2015 sebelumnya berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”
Adapun usai Putusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024 dikeluarkan, Pasal 188 UU Nomor 1/2015 kini selengkapnya menjadi berbunyi:
"Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00."
Reaksi Pemerintah
Wakil Kementerian Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi terkait hukuman bagi aparatur sipil negara, pejabat daerah, dan TNI/Polri yang tidak netral pada pilkada menjadi masukan untuk mengevaluasi sistem kepemiluan.
"Jadi, yang pasti ini menjadi masukan untuk mengevaluasi sistem kepemiluan," kata Bima ditemui usai menghadiri rapat bersama Komisi II DPR RI dan sejumlah penjabat kepala daerah lainnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Bima tak menampik mengevaluasi sistem kepemiluan guna mencegah pelanggaran netralitas aparat negara menjadi suatu urgensi bagi Kemendagri.
"Ke depan salah satu urgensi dari mengevaluasi sistem pemilu, pilkada, adalah untuk mencegah ketidaknetralan ini. Semua kan ada kaitan dengan sistem seperti apa," ucapnya.
Ia mengatakan bahwa Kemendagri siap menjalankan putusan MK tersebut sebab bersifat final dan mengikat (final and binding).
"Tentu kami ya harus laksanakan itu," ujarnya.
Namun, Bima menambahkan bahwa untuk memperkuat netralitas aparat negara dalam pelaksanaan pesta demokrasi tidak serta merta ditempuh melalui jalur pemberian sanksi.
"Netralitas ini kan tidak hanya lewat sanksi saja ya, tetapi lewat bangunan sistem," katanya.
Bikin Kaget DPR
Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan meminta MK menahan diri dan tak mengurusi kebijakan pemidanaan dalam uji materi sebuah undang-undang. Ini terkait isu netralitas personel TNI-Polri dan pejabat daerah di Pilkada.
Hal itu disampaikan Irawan setelah MK mengabulkan permohonan nomor 136/PUU-XXII/2024 yang meminta dimasukkannya frasa ‘TNI/Polri’ dan ‘pejabat daerah’ dalam Pasal 188 Undang-Undang Pilkada Nomor 1 Tahun 2015.
Dengan keputusan itu, maka anggota TNI-Polri yang cawe-cawe menguntungkan salah satu pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada bisa dipidana penjara.
“Saya tentu kaget dan bertanya-tanya dengan substansi yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan frasa dan memasukkan subjek hukum baru dalam ketentuan pidana,” ujar Ahmad Iriawan.
“MK telah terlalu jauh dalam kebijakan hukum pemidanaan (criminal policy), meskipun apa yang diputus oleh MK sebangun dengan perasaan yang ada di parlemen dan di publik mengenai pentingnya netralitas pejabat (negara/daerah) dan TNI/Polri,” lanjutnya.
Pria yang akrab disapa Wawan itu mempertanyakan putusan MK yang memasukkan subjek hukum baru yaitu anggota TNI-Polri. Padahal dalam Pasal 188 UU Pilkada Nomor 1 Tahun 2015, subjek yang dapat dipidana adalah setiap pejabat negara, aparatur sipil negara, kepala desa atau lurah.
Dia menambahkan, kerangka hukum pemilu Indonesia telah mengatur adanya jenis pelanggaran dan kejahatan. Artinya, tidak semua perbuatan yang dilarang dalam proses penyelenggaraan pemilu merupakan kejahatan dan harus dipidana.
“Bisa saja itu pelanggaran administrasi yang berujung pada pembatalan peserta pemilihan, kode etik berujung pada sanksi pemecatan, pelanggaran pemilihan atau pelanggaran lain,” urai Wawan.
“Seperti pelanggaran disiplin Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI/Polri yang berujung pada mutasi/demosi. Jadi tidak semuanya dengan sanksi pemidanaan,” sambung Legislator dari Dapil Jawa Timur V itu.
Wawan menyebutkan, putusan terkait hal ini menunjukkan bahwa MK telah melanggar prinsip konstitusionalisme yang paling mendasar mengenai separation of power atau pemisahan kekuasaan dan doktrin judicial restraint serta judicial consistency.
“Kan sudah jelas bahwa Mahkamah Konstitusi tidak boleh masuk kebijakan pemidanaan atau politik pemidanaan yang menyangkut norma pemidanaan. Bahkan MK sendiri pernah mengatakannya. Kenapa MK seringkali berubah dan terkini berubah lagi?” papar Wawan.
“Bahkan masuk terlalu jauh yang berpotensi juga MK telah melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945,” tukasnya.
Penjelasan Pakar MK
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung (UBB) Prof. Ibrahim mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XXII/2024 memberikan penegasan tentang kewajiban anggota TNI/Polri untuk bersikap netral selama tahapan Pilkada 2024 berlangsung.
Terlebih, kata dia, masih terdapat kekhawatiran terkait netralitas anggota TNI/Polri mengingat sumber daya dan otoritas yang amat luas yang melekat pada kedua institusi itu.
“Saya kira kita menaruh harapan agar urusan pertahanan dan keamanan tetaplah menjadi tugas utama mereka,” kata Prof. Ibrahim saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Sementara itu, dia menjelaskan bahwa norma anggota TNI/Polri harus bersikap netral telah sejak lama menjadi bagian orientasi, meskipun belum secara eksplisit tercantum dalam aturan perundang-undangan.
“Keharusan netralitas ini sebenarnya berangkat dari pelajaran budaya politik pada masa Orde Baru, di mana TNI/Polri pada masa itu cenderung menjadi instrumen politik,” ujarnya.