Tekan Biaya Politik, Ketua DPR Usul Pemilu Pakai e-Voting
Merdeka.com - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengusulkan Pemilu diubah dengan menggunakan cara e-voting. Yakni pencoblosan dilakukan lewat elektronik dan meninggalkan model lama dengan datang ke Tempat Pemilihan Suara (TPS).
Hal itu disampaikannya di acara bertajuk Upaya Mereduksi Biaya Politik Dalam Pemilu dan Pilkada di Kantor Bakamla, Gedung Perintis, Jakarta Pusat, Minggu (25/11).
"Sehingga tidak diperlukan lagi kotak suara, tidak diperlukan lagi tinta, tidak diperlukan lagi nanti bilik suara yang begitu complicated. Cukup dengan memasukan nomor KTP maka bisa dihindarkan juga pendouble-an KTP," kata Bamsoet sapaan akrabnya.
-
Sistem pemilu apa yang dipakai di Indonesia saat ini? Sampai saat ini, sistem pemilu proporsional terbuka tetap diterapkan dalam pemilihan umum di Indonesia.
-
Bagaimana sistem pemilu di Indonesia berubah dari waktu ke waktu? Sistem pemilu di Indonesia telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Pada awalnya, Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional tertutup pada tahun 1955 hingga tahun 2003. Dalam sistem ini, pemilih hanya memberikan suara untuk partai politik, dan kandidat-kandidat dari partai politik ditentukan oleh partai itu sendiri. Namun, pada tahun 2004, Indonesia mulai menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2003. Dalam sistem ini, pemilih dapat memberikan suara langsung untuk kandidat secara individual, dan perolehan suara untuk partai politik akan menentukan jumlah kursi yang mereka dapatkan di parlemen.
-
Bagaimana cara pemilihan dilakukan di pilkada serentak? Pilkada Serentak menerapkan sistem pemilihan langsung dimana pemilih secara langsung memilih calon kepala daerah dan wakilnya.
-
Bagaimana asas Pemilu di Indonesia diterapkan? Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU 7/2017), terdapat enam asam pemilu yakni Luber Jurdil merupakan kependekan dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Berikut ini penjelasannya:
-
Bagaimana asas pemilu Indonesia diterapkan dalam praktik? Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ada enam asas pemilu Indonesia yang harus dijunjung tinggi oleh penyelenggara, peserta, dan pemilih pemilu, yaitu: Asas langsung: rakyat sebagai pemilih mempunyai hak secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Asas umum: semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam hal usia berhak ikut dalam pemilihan umum, baik memilih atau dipilih. Asas bebas: setiap warga negara yang telah memiliki hak memilih diberi kebebasan dalam menentukan pilihannya, tanpa tekanan dan paksaan, sesuai dengan hati nurani dan kepentingannya. Asas rahasia: dalam memberikan suara, kerahasiaan pemilih haruslah dijamin alias tidak akan diketahui oleh siapapun dengan cara apapun. Asas jujur: dalam menyelenggarakan pemilu, baik penyelenggara serta semua pihak yang terlibat, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan yang berlaku. Asas adil: dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pihak yang terlibat mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Keenam asas pemilu ini dikenal juga dengan akronim Luber Jurdil. Asas-asas ini bertujuan untuk memastikan proses pemilu berlangsung sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan kedaulatan rakyat.
-
Bagaimana cara Pilkada serentak 2024 diselenggarakan? Tahapan Pilkada 2024 sendiri telah ditetapkan dalam peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024.
"Seringkali praktek itu di mana di mana pendouble-an KTP identitas dan kemudian ada juga identitas palsu kita tolak. Kalau tidak terdaftar langsung tertolah, tidak bisa mengakses termasuk sistem suara," sambung Bamsoet.
Selain itu, kata dia, bakal ada pemilihan 415 kepala daerah Bupati dan Wali kota, serta 34 gubernur yang akan dilakukan secara serentak sesuai dengan rencana pemerintah pada tahun 2024. Jika sistem pemilihan masih pakai gaya lama, kata Bamsoet, biaya yang dikeluarkan negara terhadap penyelenggaraan Pilkada serentak akan sangat besar.
"Karena sekarang saja sudah melibatkan begitu banyak orang, begitu banyak biaya yang besar tapi masih menimbulkan konflik dan gugatan gugatan sengketa pilkada," ucapnya.
Tak hanya itu, Pemilu 2019 pun melibatkan jutaan saksi yang terdaftar dalam Bawaslu. Kemudian ribuan tenaga KPUD sampai ke TPS-TPS. Pemilu tersebut akan memakan biaya yang sangat luar biasa besar. Para calon juga harus mengeluarkan biaya sehingga terpaksa untuk melakukan politik uang.
"Mau tidak mau dia harus bertahan untuk memenangi pertarungan menggunakan strategi cara cara yang tidak bagus sebetulnya yaitu money politics," ucapnya.
"Tapi memang masyarakat kita, karena sudah berkali-kali menghadapi hal seperti ini selalu kepada kita ditanya NPWP, 'Nomor Piro Wani Piro'. Malah kemarin saya waktu reses ke daerah, dia bilang 'Pak bisa enggak UU dirubah pilkada setiap bulan sekali?' Ya rupanya kalau setiap bulan sekali ada harapan uang mengalir ke dapur RT mereka," cerita Bamsoet.
Lebih lanjut, Bamsoet mengaku dilema membedakan antara biaya politik dan politik uang. Dia menjelaskan, misalnya ketika paslon mengundang rakyat kecil untuk sosialisasi dalam satu acara. Warga tersebut otomatis bakal melepas pekerjaan hariannya yang biasa menghasilkan 100 ribu per hari.
"Kalau ikut acara kita, apakah itu sosialisasi apakah itu rapat akbar dia akan kehilangan pendapatan hariannya 100 ribu. Nah kita dengan kesadaran dan tanggung jawab memberikan uang 100 ribu kepada mereka, tapi bahwa Bawaslu bilang itu pelanggaran pemilu. Itu juga sebab confused juga. Jadi karena tidak bisa dibedakan mana cost politic dan mana money politic," paparnya.
"Kalau menurut saya kalau begitu adalah cost politik yang dibenarkan oleh UU. Dibenarkan oleh UU, sementara kalau money politic itu yang tidak boleh," sambungnya.
Politikus Golkar ini beranggapan, negara harus berani mengubah pemilu tanpa kertas suara, tanpa tinta dan dimulai dari handphone atau media elektronik. Bamsoet melihat, masyarakat Indonesia rata-rata sudah mempunyai handphone dan melek teknologi.
"Dulu 20 tahun yang lalu, kalau saya ke luar negeri saya lihat kondektur atau supir bus pakai HP itu waduh hebat banget ya. Sementara di kita masih barang mewah. Nah sekarang kita lihat di desa-desa anak anak kita sambil ngangon kebo main HP. Sambil naik kebo megang HP. Jadi begitulah bukan barang mewah lagi. Sehingga kita sudah bisa melakukan pemilihan atau Pemilu melalui HP ini," pungkas mantan wartawan itu.
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kembali mencuat. Isu ini bukan hal baru dalam politik Indonesia.
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi II Fraksi PKB DPR RI Indrajaya mengatakan partainya yang pertama kali mengusulkan pemilihan Gubernur melalui DPRD.
Baca SelengkapnyaMengenai wacana mengubah sistem pilkada menjadi tidak langsung atau calon dipilih DPRD, politikus PDIP ini menyerahkan kepada partai politik
Baca SelengkapnyaBahlil berdalih, salah satu alasan menggulirkan wacana itu agar biaya pemilu yang efisien.
Baca SelengkapnyaPresiden Prabowo Subianto ingin adanya perubahan sistem politik dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Menurutnya, dengan sistem ini bisa menghemat uang negara
Baca SelengkapnyaMendagri Tito Karnavian sependapat dengan usulan Presiden Prabowo Subianto soal kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Baca SelengkapnyaUntuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) membutuhkan biaya yang besar.
Baca SelengkapnyaTingginya biaya politik menjadi dalih pejabat partai politik hingga eksekutif, untuk melanggengkan wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Baca SelengkapnyaSistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD pernah diterapkan pada masa Orde Baru.
Baca SelengkapnyaPuan menyinggung soal konstitusi di Indonesia. Termasuk penyelenggaraan pemilu tahun ini.
Baca SelengkapnyaDiksi pada undang-undang pemilu tiap calon yang dipilih secara demokratis, tak berarti harus dipilih langsung oleh rakyat.
Baca SelengkapnyaBaru-baru ini, muncul usulan kepala daerah dipilih lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Baca Selengkapnya