Terima 1.500 Dugaan Pelanggaran Pilkada Termasuk Isu Parcok, Bawaslu Buka Suara
Bawaslu melaporkan sudah menerima 1.500 laporan dugaan pelanggaran Pilkada 2024 per 1 Desember.
Bawaslu melaporkan sudah menerima 1.500 laporan dugaan pelanggaran Pilkada 2024 per 1 Desember. Anggota Bawaslu Lolly Suhenty mengungkapkan dari ribuan laporan tersebut, ada dugaan ketidaknetralan aparat penegak hukum.
“Ketidaknetralan, dugaan ketidaknetralan ya, laporannya ada, laporannya masuk. Nah ini sedang berproses juga, jadi kan sebetulnya laporan yang masuk ke bawaslu itu beragam. Ada soal dugaan ketidaknetralan aparat, ketidaknetralan ASN, termasuk politik uang. Nah itu kan yang dilaporkan masuknya, sehingga antaranya kemudian mendekati 1.500,” kata Lolly kepada awak media di Kepulauan Bintan, Rabu (4/12).
Lolly memastikan, ribuan laporan tersebut akan diproses dan disampaikan hasilnya jika sudah ada keputusan. "Kalau sudah selesai, pastilah Bawaslu di tingkat provinsi maupun kabupaten, kota, kemudian menyampaikan statementnya ke publik. Karena setiap perkara itu harus ada ujungnya," ujar dia.
Disinggung soal isu partai cokelat atau parcok cawe-cawe di Pilkada 2024, Lolly menolak berspekulasi. Dia menegaskan, tugas Bawaslu adalah menindaklanjuti laporan pelanggaran.
“Kalau tudingan-tudingan itu tidak menjadi domain Bawaslu untuk mengomentari ya. Kalau yang namanya asumsi, pendapat, pandangan pihak lain, maka bawaslu tidak punya kewenangan untuk mengomentari,” Lolly menandasi.
Isu Parcok
Istilah Partai Coklat pertama kali mencuat dalam rapat Komisi I DPR RI beberapa waktu kemarin saat membahas netralitas TNI dan penegakan hukum dalam proses demokrasi. Namun, istilah tersebut ternyata memiliki akar yang lebih dalam, merujuk pada dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh kelompok tertentu di Pilkada 2024.
Hal itu kemudian ditanggapi juga oleh Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menegaskan bahwa istilah "Partai Coklat" mengacu pada pendukung loyal Presiden Joko Widodo.
Ia menuduh bahwa "Partai Cokelat" mencerminkan upaya Jokowi membangun "kerajaan politik" dengan menempatkan orang-orang terdekatnya di posisi strategis Pilkada.
Menurut Hasto, tindakan ini bertentangan dengan prinsip negara republik. Ia menyebut Jokowi menggunakan kekuasaannya untuk memperkuat kekuatan politik keluarganya di berbagai wilayah.