Kapan Sikap Positif Tergolong Jadi Toxic Positivity? Ketahui Batasan yang Sehat
Sikap positif yang berlebihan bisa berujung toxic positivity, ketahui batasan sehat yang dimilikinya.
Sikap positif merupakan fondasi penting dalam menjalani kehidupan yang bahagia dan bermakna. Berpikir positif dapat membantu kita mengatasi tantangan, meningkatkan kesejahteraan emosional, dan memperkuat hubungan sosial.
Namun, ketika sikap positif diterapkan secara berlebihan hingga mengabaikan realitas emosional yang sebenarnya, ia bisa berubah menjadi apa yang dikenal sebagai "toxic positivity" Fenomena ini bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga bisa berdampak negatif pada orang-orang di sekitar kita.
-
Bagaimana cara untuk mengatasi 'toxic positivity'? Solusinya adalah dengan memberikan ruang untuk diri sendiri merasakan semua emosi, baik itu kesedihan, kemarahan, atau frustrasi. Memahami bahwa perasaan negatif juga merupakan bagian dari kehidupan membantu kita untuk lebih realistis dan menjaga kesehatan mental jangka panjang.
-
Apa yang dimaksud berpikir positif? Berpikir positif adalah cara berpikir yang optimis dan fokus pada aspek baik pada situasi atau peristiwa yang terjadi dalam hidup.
-
Apa itu sifat toxic? Toxic adalah sifat yang harus dihindari. Sifat ini hanya membawa kesulitan dan hal-hal negatif bagi orang terdekatnya.
-
Kenapa berpikir positif penting? Tidak heran, jika berpikir positif dikaitkan dengan kesehatan mental dan emosional yang lebih baik.
-
Mengapa aura positif penting? Aura positif dapat memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari, seperti meningkatkan suasana hati, memperkuat hubungan sosial, meningkatkan kepercayaan diri, dan mengurangi stres.
-
Di mana sifat 'toxic' sering muncul? Sifat toxic yang dimiliki seseorang ini juga dapat menular kepada orang lainnya. Hal itu dikarenakan sifat toxic ini akan dapat merusak suasana yang menyenangkan akan menjadi suasana yang tak menyenangkan. Baik itu di dalam perbuatannya ataupun ucapan yang dilakukan oleh orang-orang toxic ini. hal itu biasaya juga akan membuat orang-orang sakit hati ataupun lelah secara fisik ataupun emosionalnya.
Toxic positivity adalah keyakinan bahwa seseorang harus tetap positif setiap saat, tidak peduli betapa sulit atau menyakitkan situasi yang dihadapinya. Sikap ini sering kali muncul dalam bentuk penolakan atau pengabaian emosi negatif, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Positive Psychology, toxic positivity bisa menghambat proses penyembuhan emosional karena tidak memberikan ruang bagi emosi negatif untuk diakui dan diproses dengan baik (Wood, Froh, & Geraghty, 2010).
Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?
Meskipun niat di balik sikap positif biasanya baik, memaksakan positivitas bisa menjadi bumerang. Menurut Seery et al. (2010), ketika orang ditekan untuk selalu "melihat sisi terang" dan mengabaikan perasaan negatif, mereka cenderung mengalami peningkatan tingkat stres, kecemasan, dan depresi karena tidak ada ruang untuk validasi emosi negatif mereka (Seery, Holman, & Silver, 2010). Sikap ini juga dapat menciptakan jarak emosional dalam hubungan karena orang merasa bahwa mereka tidak bisa jujur mengenai apa yang mereka rasakan tanpa dihakimi atau diabaikan.
Contoh Toxic Positivity dalam Kehidupan Sehari-hari
Toxic positivity bisa muncul dalam berbagai bentuk yang tampak tidak berbahaya pada awalnya. Misalnya, ketika seseorang sedang menghadapi kehilangan atau kesulitan besar, dan orang lain mengatakan, "Semua akan baik-baik saja, tetap berpikir positif."
Meskipun niatnya mungkin untuk menghibur, pesan ini sebenarnya mengabaikan realitas rasa sakit yang dirasakan orang tersebut. Sikap ini juga dapat terlihat dalam diri kita sendiri, seperti ketika kita terus-menerus mencoba menekan emosi negatif dan memaksakan diri untuk merasa bahagia meskipun situasi tidak mendukung.
Untuk menghindari jebakan toxic positivity, penting bagi kita untuk mengakui bahwa emosi negatif adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Mengalami dan memproses emosi negatif tidak berarti kita menjadi pesimis atau menyerah pada keadaan, tetapi justru menunjukkan bahwa kita menghargai dan memahami kompleksitas kehidupan.
Seperti yang dinyatakan dalam penelitian oleh Kashdan et al. (2006), individu yang mampu menerima dan memproses emosi negatif cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan hubungan sosial yang lebih kuat (Kashdan, Barrios, Forsyth, & Steger, 2006).
Cara Menerapkan Sikap Positif yang Sehat
Validasi Emosi: Akui perasaan Anda sendiri dan orang lain, baik positif maupun negatif. Ini adalah langkah pertama untuk memahami dan menyelesaikan masalah.
Berikan Dukungan Tanpa Menghakimi: Ketika seseorang berbagi perasaan mereka, dengarkan dengan empati tanpa mencoba memaksakan solusi atau meremehkan perasaan mereka.
Beri Ruang untuk Kesedihan dan Kekecewaan: Jangan merasa bahwa Anda harus selalu bahagia atau membuat orang lain merasa bahagia. Ada saat-saat di mana kesedihan adalah respons yang tepat dan sehat.
Fokus pada Solusi, Bukan Pengabaian: Alih-alih hanya berfokus pada "tetap positif," cobalah untuk mencari solusi nyata untuk masalah yang dihadapi, sambil tetap mengakui kesulitan yang ada.
Sikap positif memang penting, tetapi ketika dipaksakan hingga mengabaikan realitas emosi negatif, ia bisa menjadi beracun. Toxic positivity menghilangkan ruang untuk validasi dan pemrosesan emosi negatif yang sebenarnya sangat penting untuk kesehatan mental yang baik.