Pentingnya Peran Orangtua dalam Penanganan DBD pada Anak
Ancaman infeksi demam berdarah pada anak bisa dicegah dengan peran aktif orangtua secara tepat.
Ancaman infeksi demam berdarah pada anak bisa dicegah dengan peran aktif orangtua secara tepat.
-
Apa penyebab demam berdarah pada anak? Penyebab demam berdarah adalah virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus.
-
Apa tanda-tanda demam berdarah pada anak? Tanda-tanda demam berdarah pada anak biasanya ditandai dengan demam tinggi 3 hingga 14 hari. Awalnya, kondisi ini tidak menunjukkan tanda-tanda gejala sama sekali. Terutama bagi anak yang sebelumnya belum pernah menderita DBD.
-
Bagaimana mencegah DBD pada anak? Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Berikut ini adalah 8 cara mencegah DBD pada anak yang efektif: Mendapatkan vaksin dengue Mengenakan pakaian tertutup Memasang kelambu Memasang kawat kasa Menggunakan losion antinyamuk Menjaga kebersihan lingkungan Memberikan larvasida pada penampungan air Menanam tanaman pengusir nyamuk
-
Mengapa demam pada anak penting? Pada dasarnya, demam merupakan indikasi bahwa sistem imun anak sedang berusaha melawan infeksi.
-
Apa yang harus dilakukan saat anak demam? Hal pertama yang bisa dilakukan adalah banyak memberi minum pada anak.
-
Mengapa demam anak harus diturunkan? 'Kita takutkan kalau sampai kejang, itu bisa dibantu dengan kompres dengan air hangat, bisa dengan sapu tangan atau waslap (sudah dicelupkan ke air hangat atau suam-suam kuku,' jelasnya.
Pentingnya Peran Orangtua dalam Penanganan DBD pada Anak
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, dr. Imran Pambudi, MPHM, menyatakan bahwa kewaspadaan orangtua merupakan kunci keberhasilan dalam menangani kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pada anak-anak.
Dilansir dari Antara, Imran menekankan pentingnya peran orangtua dalam memahami perubahan yang terjadi pada anak mereka, agar penanganan medis dapat segera dilakukan ketika gejala DBD memburuk.
"Orang tua harus paham betul dengan kondisi anaknya. Kadang anak tidak bisa mengungkapkan sakitnya apa, padahal dalam diagnosis, dokter sering mengandalkan anamnesis (wawancara medis). Lewat wawancara, penyakit bisa terjawab dan tidak harus menggunakan hasil laboratorium. Dengan pertanyaan, hampir 60 persen bisa diduga. Sehingga ketika anak mengalami DBD, orangtua harus tahu kondisi anaknya," jelas Imran.
Data Kementerian Kesehatan per 5 Mei 2024 menunjukkan bahwa kasus DBD terbanyak ditemukan pada kelompok umur 15-44 tahun dengan persentase 43 persen dari seluruh kelompok umur. Namun, distribusi kematian akibat DBD paling banyak terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun, mencapai 53 persen dari total kematian. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun DBD banyak menjangkiti usia produktif, fatalitas tertinggi terjadi pada anak-anak usia 5-14 tahun.
Imran mengungkapkan bahwa kematian pada usia anak-anak akibat DBD disebabkan oleh imunitas mereka yang belum sebaik kelompok usia produktif. Selain itu, anak-anak sering kali kesulitan mendeskripsikan gejala yang mereka rasakan, sehingga gejala perburukan sering terlambat terdeteksi dan anak baru mendapatkan penanganan ketika sudah dalam kondisi kritis.
Oleh karena itu, penting bagi orangtua atau pihak yang bertanggung jawab merawat anak untuk menjalin komunikasi intens dengan anak mengenai perubahan yang dialami dan gejala yang dirasakan.
"Sering kali di Jakarta, misalnya, yang mengurus anak adalah baby sitter. Ketika anak sakit, yang membawa ke dokter adalah orangtua, tapi mereka tidak tahu kondisi anak. Sementara baby sitter yang paling tahu kondisi anak tetap tinggal di rumah tidak ikut pemeriksaan. Jadi, sangat penting komunikasi dibangun antara orangtua dan yang merawat anak di rumah untuk mengetahui kondisi anaknya," jelas Imran.
Beberapa gejala yang harus diwaspadai oleh orangtua saat anak mengalami perburukan DBD antara lain tidak adanya perbaikan kondisi setelah suhu tubuh menurun, anak terus menolak makan dan minum, nyeri perut hebat, lemah, lesu, dan keinginan anak untuk terus tidur. Selain itu, perubahan perilaku seperti marah-marah, pucat, tangan dan kaki yang dingin, perdarahan, serta tidak buang air kecil lebih dari 4-6 jam juga perlu diperhatikan.
Imran juga menekankan pentingnya bagi orangtua untuk tidak memberikan MPASI sebelum anak berusia enam bulan. Pemberian MPASI terlalu dini bisa menyebabkan masalah pada saluran cerna anak yang masih belum siap mencerna makanan dengan tekstur kasar. Hal ini juga bisa menjadi jalur transfer infeksi dari ibu ke bayi.
"Jika anak belum siap, kita harus memberikan makanan yang cair karena dia baru bisa menghisap dan menelan, belum bisa mengunyah. Mengunyah itu pada awal hanya mengantar makanan dari depan ke belakang, jadi diperlukan makanan yang halus," ujar Imran.