Jadi yang Tertua di Kalimantan Barat, Ini Sejarah Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman
Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya Kota Pontianak pada tahun 1771.
Masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya Kota Pontianak pada tahun 1771.
Jadi yang Tertua di Kalimantan Barat, Ini Sejarah Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman
Masjid Jami Sultan Syarif Abdurrahman merupakan masjid terbesar di Pontianak dan masjid yang pertama kali berdiri di Provinsi Kalimantan Barat. Bahkan masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya Kota Pontianak pada tahun 1771.
-
Kapan Masjid Jami' didirikan? Jika Masjid Baiturrahman berdiri pada tahun 1974, Masjid Jami’ sudah berdiri pada tahun 1943.
-
Dimana masjid tertua ini berada? Tim Arkeolog Israel menemukan sebuah masjid kuno langka di Kota Rahat, Badui Negev, Israel.
-
Siapa yang mendirikan Masjid Jami'? Saat itu sejumlah buruh di Hollandia, nama Jayapura saat itu, adalah para pencetus berdirinya Masjid Jami ketika Belanda masih berkuasa.
-
Dimana Masjid Syahabuddin pertama berdiri? Kerajaan Siak yang bercorak Melayu dan agama Islam ini pertama kali membangun masjid Syahabuddin di Jalan Syarif Kasim pada thaun 1882 atau tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Syarif Kasim I dengan artistektur sederhana yakni hanya terbuat dari kayu.
-
Di mana Masjid Raya Sumatera Barat berada? Terletak di Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, pembangunan masjid ini berlangsung cukup lama.
-
Di mana Masjid Sultan Mahmud Riayat Syah berada? Bangunan ikonik Kota Batam itu bernama Masjid Sultan Mahmud Riayat Syah yang terletak di jantung kota.
Dikutip dari Islamic-center.or.id, Masjid Jami sendiri awalnya hanya sebuah langgar sederhana.
Menurut hikayat, masjid ini mulai dibangun pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Usman (1819-1855) yang merupakan sultan ketiga Kesultanan Pontianak.
Peletakan batu pertama pondasi bangunan dilakukan pada tahun 1821.
Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dilihat dari inkripsi huruf Arab di atas mimbar masjid.
Di sana tertulis bahwa Masjid Jami dibangun oleh Sultan Syarif Usman pada hari Selasa bulan Muharam tahun 1237 Hijriah.
Di kemudian hari, bangunan masjid terus mengalami berbagai penyempurnaan yang dilakukan sultan-sultan berikutnya.
Pemberian nama Masjid Jami Sultan Abdurrahman merupakan penghormatan kepada pendiri Kota Pontianak, Sultan Sayyid Syarif Abdurrahman.
Secara keseluruhan, bentuk bangunan masjid banyak mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa, Melayu, dan Eropa.
Hal ini terlihat dari bentuk atap undak layaknya tajug pada arsitektur Jawa dengan bentuk mahkota atau genta khas Eropa pada bagian ujungnya.
Pengaruh Eropa juga tampak pada pintu dan jendela masjid yang cukup besar. Di sana juga ada ciri Timur Tengah yang terlihat pada mimbar yang berbentuk kubah.
Material konstruksi didominasi oleh kayu belian. Kayu tersebut dapat dilihat pada pagar, lantai, dinding, menara, beduk besar yang terdapat di serambi masjid, serta enam tiang utama penyangga ruang masjid yang telah berusia lebih dari 170 tahun.
Sementara itu, gaya arsitektur Melayu terlihat dari bentuk rumah berkolong atau rumah panggung.
Lantai masjidnya diberi jarak sekitar satu setengah meter dari permukaan tanah. Oleh karena itu, meski tepat berada di atas Sungai Kapuas, masjid itu tidak pernah terkena banjir.
Kini bagian kolong masjid telah dicor semen untuk mengantisipasi amblas karena struktur tanah yang labil dan bergambut.
Tentang Sultan Syarif Abdurrahman
Nama masjid tersebut tak lepas dari sosok Sultan Syarif Abdurrahman Ibni Alhabib Husein bin Ahmad Alkadrie.
Ia merupakan keturunan Rasulullah dari Sayidina Husein yang tinggal di daerah muara simpang tiga Sungai Kapuas kecil dan Sungai Landak yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda.
Di sana ia melakukan dua pernikahan politik, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah, Utin Chandramidi, dan yang kedua dengan Ratu Syahranum dari Kerajaan Banjar. Atas pernikahan dengan Ratu Syahranum, Sultan Syarif mendapat gelar Pangeran Nur Alam.
Setelah ayahnya wafat di Mempawah pada tahun 1771, mereka memutuskan untuk mencari wilayah baru dan mendapatkan tempat di Pontianak. Mereka kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak pada tahun 1778.