Matikan Kamera Selama Rapat Online Ternyata Ramah Lingkungan
Merdeka.com - Dalam hasil sebuah riset, disebut bahwa emisi global turun untuk tahun 2020 karena aktivitas yang lebih banyak di rumah, dampak lingkungan ternyata masih ada.
beralihnya aktivitas menjadi virtual yang didorong oleh pandemi ternyata tak terlalu ramah lingkungan.
Menurut para peneliti dari Purdue University, Yale University dan Massachusetts Institute of Technology, satu jam video conference atau video streaming menghasilkan 150 hingga 1.000 gram karbon dioksida. Sebagai perbandingan, sekitar satu galon (3.78 liter) bensin yang dibakar dari mobil mengeluarkan sekitar 8.887 gram karbon dioksida.
-
Kenapa mengurangi screentime penting? Meskipun penggunaan gawai ini bisa memberikan manfaat atau hiburan, namun menggunakannya terlalu lama dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan kita dan kualitas hidup secara keseluruhan.
-
Bagaimana cara mengurangi dampak perubahan iklim dengan menghemat energi? Dengan menghemat energi, kita bisa mengurangi efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim.
-
Apa manfaat mengurangi screentime? Dilansir dari Mayo Clinic, mengurangi screentime memiliki manfaat yang signifikan bagi kesehatan dan kesejahteraan.
-
Bagaimana cara jaga mata saat di komputer? Untuk itu, jika kamu termasuk pekerja yang terlalu sering menggunakan komputer, maka berikan waktu beristirahat bagi mata. Cara yang paling sederhana adalah dengan cara berkedip setiap 10 detik sekali.
-
Apa efek rumah kaca itu? Efek rumah kaca adalah proses yang terjadi ketika gas di atmosfer bumi memerangkap panas matahari.
-
Mengapa penting mematikan lampu saat tidak digunakan? Sering kali kita lupa mematikan lampu setelah meninggalkan ruangan. Padahal, lampu yang menyala terus-menerus tanpa pengawasan akan menyedot listrik secara signifikan.
Ternyata, mematikan kamera selama video conference dapat mengurangi jejak karbon dioksida tersebut hingga 96 persen. Selain itu, streaming konten dengan setelan SD alih-alih HD pada layanan seperti Netflix dan lainnya juga dapat menurunkan jejak karbon hingga 86 persen.
Ini merupakan studi pertama yang menganalisis jejak air dan tanah yang terkait dengan infrastruktur internet selain jejak karbon, yang terbit di jurnal Resources, Conservation & Recycling.
"Jika Anda hanya fokus pada satu jenis jejak [jejak karbon saja], Anda akan melewatkan jejak lainnya yang dapat memberikan pandangan lebih holistik tentang dampak lingkungan," kata Roshanak Nateghi, seorang profesor teknik industri di Purdue University dikutip dari Eurekalert via Tekno Liputan6.com.
Sejumlah negara telah melaporkan setidaknya peningkatan 20 persen dalam lalu lintas internet sejak Maret. Jika tren ini berlanjut hingga akhir 2021, menurut studi tersebut, untuk menyerap karbon yang dihasilkan oleh aktivitas itu diperlukan hutan seluas 71.600 mil persegi.
Air tambahan yang dibutuhkan dalam pemrosesan dan transmisi data juga kurang lebih sepadan untuk mengisi lebih dari 300.000 kolam renang ukuran olimpiade. Sementara jejak tanah yang dihasilkan kira-kira seukuran dengan luas Los Angeles.
Pada praktiknya, tim tersebut memperkirakan jejak karbon, air, dan tanah yang terkait dengan setiap gigabyte data yang digunakan di YouTube, Zoom, Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan 12 platform lainnya, serta di gim online dan aktivitas di web lainnya yang relevan.
Kontribusi Emisi Global
Sesuai perkiraan, semakin banyak video yang digunakan dalam suatu aplikasi, semakin besar jejaknya. Karena pemrosesan data mengonsumsi banyak listrik, dan produksi listrik apa pun memiliki jejak karbon, air, dan tanah, menekan konsumsi data akan mengurangi kerusakan lingkungan.
Sebelum lockdown Covid-19 di banyak negara di dunia, terhitung jejak karbon internet telah meningkat dan itu berkontribusi atas sekitar 3,7 persen dari emisi gas rumah kaca secara global.
Namun, menurut Kaveh Madani, visiting fellow di Yale MacMillan Center yang memimpin dan mengarahkan studi ini, jejak air dan tanah dari infrastruktur internet sebagian besar selama ini telah diabaikan tentang bagaimana penggunaan internet berdampak pada lingkungan.
Dia bekerja sama dengan kelompok penelitian Nateghi untuk menyelidiki jejak kaki ini dan bagaimana jejak tersebut dapat terpengaruh oleh peningkatan lalu lintas internet, menemukan bahwa jejak kaki tidak hanya berbeda menurut platform web, tetapi juga menurut negara.
Temuan Penting
Tim peneliti mengumpulkan data untuk Brasil, Cina, Prancis, Jerman, India, Iran, Jepang, Meksiko, Pakistan, Rusia, Afrika Selatan, Inggris, dan AS.
Mereka menemukan bahwa memproses dan mentransmisikan data internet di AS, memiliki jejak karbon 9 persen lebih tinggi daripada median secara global, tetapi jejak air dan tanah masing-masing 45 dan 58 persen lebih rendah.
Memasukkan jejak air dan tanah dari infrastruktur internet juga memberi gambaran mengejutkan bagi beberapa negara.
Sebagai salah satu pionir dalam hal energi terbarukan, Jerman memiliki jejak karbon jauh di bawah median dunia, tetapi jejak air dan tanahnya jauh lebih tinggi.
Sumber: Liputan6.comReporter: Mochamad Wahyu Hidayat
(mdk/idc)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kampanye ini juga sebagai bentuk kepedulian terhadap ancaman perubahan iklim.
Baca SelengkapnyaDi zaman sekarang, cara ini barangkali termasuk unik dan ampuh hilangkan ketergantungan pada HP.
Baca SelengkapnyaCara mengehemat listrik ini perlu diketahui dan diterapkan.
Baca SelengkapnyaMudah bagi hacker meretas kamera ponsel atau laptop dan merekam aktivitas penggunanya secara diam-diam.
Baca SelengkapnyaSejumlah cara bisa dilakukan sebagai bentuk detox digital agar kembali terhubung dengan dunia nyata.
Baca SelengkapnyaPaparan berlebih dari blue light dapat memberikan dampak negatif, terutama bagi kesehatan mata.
Baca SelengkapnyaPerhatikan berapa banyak alat elektronik di tempat tinggal Anda.
Baca SelengkapnyaCara mengurangi pengeluaran bulanan bisa dimulai dengan menghemat pemakaian energi listrik. Ini tipsnya.
Baca Selengkapnya