Contoh Wasiat yang Menyiksa Anak Menurut Buya Yahya, Orangtua Jangan Sampai Lakukan!
Semua orang tua seharusnya mewariskan hal-hal positif kepada anak-anaknya, tanpa membebani mereka dengan tanggung jawab yang berat.
Wasiat dari orang tua kepada anak sering kali mengandung makna yang sangat dalam, mencerminkan bentuk kasih sayang yang abadi dan harapan mereka untuk masa depan anak tersebut. Selain itu, wasiat sering kali berisi pesan moral, panduan hidup, serta amanah agar anak tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, kejujuran, dan kehormatan keluarga.
Salah satu tokoh yang membahas pentingnya wasiat adalah KH Yahya Zainul Ma'arif atau Buya Yahya. Dalam ceramahnya, dia menekankan betapa pentingnya melakukan kebaikan dan tidak membebani anak dengan tanggung jawab yang tidak seharusnya mereka pikul.
-
Apa siksaan neraka teringan menurut Buya Yahya? Dikatakan bahwa siksaan teringan di neraka adalah ketika seseorang disuruh mengenakan sandal dari api, yang ketika dipakai, membuat ubun-ubunnya mendidih. Itulah siksaan teringan, tentu saja untuk dosa yang dianggap paling ringan,' ungkap Buya Yahya, seperti yang dilansir dari YouTube Al Bahjah TV, Minggu (1/9/2024).
-
Apa tanggung jawab orang tua terhadap anak menurut Islam? Anak adalah tanggung jawab orang tua, yang mana tanggung jawab ini didasarkan atas motivasi cinta kasih, secara sadar orang tua mengemban kewajiban untuk memelihara dan membina anaknya sampai dia mampu berdiri sendiri (dewasa) baik secara fisik sosial maupun moral.
-
Bagaimana cara orang tua bertanggung jawab terhadap anak menurut Islam? Cara merawat dan mendidik anak telah banyak disebutkan dalam surat Alquran maupun hadist.
-
Bagaimana sang ayah menasihati Wika Salim? 5 Meski absen mendampingi, sang ayah tak pernah berhenti mendoakan Wika. Ia juga rutin menasihati Wika Salim melalui pesan singkat.
-
Bagaimana siksa neraka teringan dijelaskan oleh Buya Yahya? Dikatakan bahwa siksaan teringan di neraka adalah ketika seseorang disuruh mengenakan sandal dari api, yang ketika dipakai, membuat ubun-ubunnya mendidih. Itulah siksaan teringan, tentu saja untuk dosa yang dianggap paling ringan,' ungkap Buya Yahya, seperti yang dilansir dari YouTube Al Bahjah TV, Minggu (1/9/2024).
-
Bagaimana menurut Buya Yahya agar doa yang kita ucapkan tidak menjerumuskan? “Jika kita menemukan doa di mana saja, penting untuk mengetahui artinya. Jangan sampai artinya justru menjerumuskan,“ ujar Buya Yahya.
"Yang kaya hari ini, Anda tidak tahu kapan Anda mati. Semoga panjang umur, jangan sampai Anda meninggal buru-buru, belum punya perbuatan baik," ujarnya, dikutip dari kanal YouTube @buyayahyaofficial.
Pernyataan tersebut mengingatkan kita bahwa setiap orang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Allah dengan amal yang baik. Dengan demikian, wasiat yang diberikan orang tua bukan hanya sekadar pesan, tetapi juga sebagai pengingat agar anak selalu berusaha melakukan kebaikan dalam hidupnya.
Contoh Wasiat yang Menyiksa Anak
Buya Yahya menekankan pentingnya bagi orang tua untuk tidak membebani anak dengan warisan yang justru dapat menyiksa mereka. Ia mengamati situasi di mana orang tua memiliki kekayaan yang melimpah, tetapi tidak memanfaatkannya untuk kebaikan.
"Asetnya banyak, di sana tanah dua hektar, sana lima hektar, sepuluh hektar," ungkapnya.
Tanpa niat baik dalam menggunakan harta tersebut, harta itu malah dapat menjadi beban berat bagi anak.
"Nanti kalau Abah mati, itu aset yang paling bagus di kota itu nilainya mungkin berapa miliar itu, nak, nanti bisa buat dijual untuk bantu orang," lanjutnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa sering kali orang tua merencanakan masa depan anak tanpa mempertimbangkan dampak psikologis yang mungkin ditimbulkan, meskipun maksudnya terlihat positif.
Buya Yahya mengingatkan bahwa setelah kepergian orang tua, niat baik yang disampaikan kepada anak bisa berubah menjadi bumerang.
"Habis ngomong begitu, mati beneran. Lihatnya bagus, cuman tak tahunya apa? Nyiksa anak," tegasnya.
Pesan ini berfungsi sebagai peringatan bagi orang tua agar tidak memberikan harapan yang tidak realistis kepada anak, yang pada akhirnya hanya akan menyusahkan mereka. Ia menjelaskan lebih jauh,
"Itu kalau Anda berbuat baik, kok menggantungkan ke anak? Anda menyiksa anak."
Pernyataan ini menggambarkan bahwa harapan yang terlalu tinggi dapat memberikan tekanan yang berat bagi anak untuk memenuhi ekspektasi yang ditetapkan oleh orang tua.
Wasiat yang Menjerumuskan Anak
Dalam konteks ini, Buya Yahya memberikan contoh bagaimana keputusan yang diambil dapat memengaruhi kehidupan anak.
"Anak waktu mau jual tanah, laku Rp20 miliar, mikir dia, Rp20 miliar mau dikasihkan, wah setan mulai masuk," katanya.
Proses penjualan tanah menjadi momen yang penuh tantangan bagi anak, terutama karena adanya beban mental yang harus ditanggung.
"Anda berarti telah menjerumuskan. Anda nyiksa anak," tegasnya, menyoroti pentingnya komunikasi yang jelas antara orang tua dan anak mengenai harta serta tanggung jawab yang menyertainya.
Buya Yahya juga menekankan agar orang tua lebih proaktif dalam berbuat baik selama hidup mereka. Ia bertanya, "Kalau ingin berbuat baik hari ini, mana kekayaan Anda?"
Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mendorong orang tua agar tidak menunda-nunda dalam beramal. Ia menegaskan bahwa tindakan nyata dalam memanfaatkan harta untuk kebaikan sangatlah penting.
"Harta yang Anda miliki seharusnya digunakan untuk membangun, bukan untuk menyiksa anak setelah Anda pergi," tambahnya, menunjukkan bahwa harta yang dimiliki seharusnya dapat memberikan manfaat bagi orang lain.
Di akhir pembicaraannya, Buya Yahya mengajak setiap orang tua untuk berpikir dengan matang mengenai warisan yang akan mereka berikan kepada anak-anak.
"Jadilah orang tua yang bijak, agar anak Anda tidak terbebani dengan harta yang justru menyiksa," katanya.
Pesan ini seharusnya menjadi renungan bagi setiap orang tua untuk merencanakan warisan yang dapat membawa kebaikan. Dengan penjelasan ini, KH Yahya Zainul Ma'arif berharap agar setiap orang tua dapat memberikan warisan yang positif dan tidak membebani anak dengan tanggung jawab yang berat.
Dalam setiap keputusan, sangat penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap generasi mendatang.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul