Foto Langka Megawati Duduk Sebelahan Sama Presiden Soeharto saat Ibu Fatmawati Meninggal Dunia
Potret lawas Presiden ke-2 Ri dengan Megawati Soekarnoputri di rumah duka saat Fatmawati wafat.
Foto lawas merekam suasana rumah duka saat istri Presiden pertama RI Soekarno, yakni Fatmawati meninggal dunia dibagikan oleh akun Instagram @sejarah_bangsa.
Fatmawati adalah istri ketiga Soekarno. Dia dikenal sebagai kader Muhammadiyah dan sosok yang menjahit bendera Sang Saka Merah Putih dan dikibarkan pertama kali saat proklamasi kemerdekaan RI.
Diketahui, Fatmawati meninggal pada 14 Mei 1980 di usia 57 tahun akibat serangan jantung. Dia mengembuskan napas terakhirnya di Kuala Lumpur, Malaysia, ketika pulang dari Mekkah untuk melaksanakan umroh.
"Suasana di rumah duka ketika Ibu Negara Ibu Fatmawati wafat pada Tanggal 14 Mei 1980," tulis keterangan unggahan.
Dalam foto yang dibagikan, terlihat kehadiran keluarga, kolega, dan sejumlah pelayat datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah Fatmawati di rumah duka.
Tampak pula sosok istri ke-6 Presiden Soekarno, yakni Ratna Sari Dewi. Kemudian, hadir juga Presiden ke-2 RI Soeharto bersama sang istri. Terlihat juga ketiga anak Fatmawati, yakni Megawati, Guruh, dan Guntur.
"(Dari kiri : Ibu Ratna Sari Dewi, Ibu Tien Soeharto, Ibu Megawati, Pak Soeharto, Pak Guntur dan Pak Guruh)," tulis keterangan unggahan.
Potret langka merekam momen kebersamaan Soeharto dengan anak-anak Soekarno itupun ramai jadi sorotan. Sebab, hubungan antara Soekarno dan Soeharto sendiri memiliki sejarah yang kurang mulus.
Dulu, perpindahan kekuasaan Indonesia dari tangan Soekarno ke Soeharto bisa dibilang cukup dramatis. Peralihan kepemimpinan dari Orde Lama ke Orde Baru itu ditandai dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966.
Hubungan Keluarga Soekarno dan Soeharto
Usai penumpasan G30S PKI, situasi politik di pemerintahan masih belum stabil sepenuhnya.
Presiden Soekarno lalu mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintah.
Kemudian surat perintah tersebut dikenal sebagai Supersemar. Surat perintah tersebut dianggap sebagai tonggak awal lahirnya pemerintahan Orde Baru.
MPRS yang saat itu dipimpin Jenderal Abdul Haris Nasution kemudian menggelar Sidang Istimewa hingga menetapkan TAP MPRS Nomor XXXIII/1967.
Secara umum, TAP MPRS itu menetapkan pencabutan kekuasaan Soekarno sebagai presiden. Dia dianggap tidak lagi dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional sebagai penerima mandat MPRS.
Setelah dilengserkan, Presiden yang akrab dipanggil Bung Karno itu menjadi tahanan rumah. Dia juga tak lagi diperkenankan tinggal di Jakarta. Soekarno lalu diasingkan di sebuah paviliun di Istana Bogor.
Selama tinggal di sana, Soekarno tetap dalam pengawasan militer sehingga tidak diizinkan meninggalkan istana. Saat itu, tim dokter kepresidenan juga telah dibubarkan yang membuat kesehatan Soekarno semakin memburuk.
Pada 10 Desember 1967, Soekarno diminta meninggalkan Istana Bogor dan dipindahkah ke Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, yang kini menjadi Museum Satria Mandala.
Di situ, Soekarno benar-benar menjalani masa pengasingan. Dia dilarang berhubungan dengan dunia luar dan dijaga ketat. Bahkan, keluarga dan kerabatnya sangat sulit menemuinya.
Menderita penyakit komplikasi, Soekarno akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.
Soekarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur atas perintah dari Presiden Soeharto.
Anak Soekarno Terjun ke Politik
Setelah wafat, anak perempuan Soekarno kemudian melanjutkan karir politiknya di pemerintahan. Dia adalah Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri.
Megawati adalah anak kedua dari pasangan Fatmawati dan Soekarno. Dia terjun ke dunia politik pada 1986 ketika berusia 39 tahun. Saat itu, dia menjabat sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat.
Karier politik Megawati sendiri terbilang cukup mulus, dia hanya butuh waktu satu tahun untuk menjadi anggota DPR RI dengan daerah pemilihan atau Dapil Jawa Tengah.
Kemudian, dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya pada 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI.
Dia menjadi satu-satunya perempuan yang menduduki pucuk kepemimpinan partai, setidaknya selama masa Orde Baru.
Namun, pemerintah saat itu tidak puas dengan terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Dia pun diturunkan dalam Kongres PDI di Medan pada 1996. Kongres tersebut kemudian memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI atas peran Presiden Soeharto.
Permasalahan itu tidak hanya menimbulkan bentrok yang dikenal sebagai Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996, tetapi juga menjegal PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997.
PDI pun terbelah menjadi pro-Megawati dan pro-Soerjadi. Pada Pemilu 1999, PDI kubu Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan (PDIP).
Pada 20 Oktober 1999, Megawati resmi menjabat wakil presiden RI, mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Tidak sampai selesai masa jabatan, Gus Dur dilengserkan oleh MPR pada 23 Juli 2001. Pada 23 Juli 2001, MPR secara aklamasi menempatkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden ke-5 RI menggantikan Gus Dur.