Hukum Sering Berandai-andai dan Menyesali Takdir Dalam Islam, Begini Penjelasannya
Setiap muslim harus percaya bahwa semua takdir telah ditentukan oleh Allah SWT.
Allah SWT telah menetapkan takdir untuk setiap individu. Mempercayai takdir-Nya adalah bagian dari keimanan bagi seorang Muslim. Keyakinan ini dikenal dengan istilah iman kepada qada dan qadar.
Meskipun demikian, Allah SWT juga menganugerahkan akal dan pikiran kepada manusia, yang membedakannya dari makhluk lainnya. Dengan akal yang diberikan, manusia memiliki kemampuan untuk menentukan setiap tindakan yang akan diambil. Oleh karena itu, kita seharusnya meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT.
-
Apa hukum shalat istikharah? Hukum shalat istikharah adalah sunnah dan bukan wajib. Dalilnya berasal dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat fardhu.“
-
Bagaimana cara menyikapi mimpi buruk menurut Islam? Ketika mengalami mimpi buruk, sebagian besar dari kita merasa takut secara berlebihan. Padahal, Islam mempunyai ajaran-ajaran yang sebaiknya dilakukan setelah mengalami mimpi buruk. Dalam merespons mimpi buruk, setidaknya terdapat berbagai hal sunnah yang dianjurkan kepada seorang Muslim.
-
Bagaimana cara menghadapi takdir Allah? Jika dihadapkan dengan suatu masalah atau musibah, percaya bahwa hal tersebut termasuk takdir yang telah diatur oleh Allah. Bahwa Allah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui masa depan, sedangkan manusia tidak memiliki kemampuan sedikit pun.
-
Apa pengertian Qadar dalam Islam? Qadar berkaitan dengan ukuran atau takdir Allah terhadap segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Ini mencakup segala sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah, baik yang terkait dengan nasib manusia, rezeki, umur, dan segala sesuatu yang terkait dengan takdir individu.
-
Kenapa menafsirkan mimpi dibolehkan dalam Islam? Dalam Islam, menafsirkan mimpi adalah hal yang diperbolehkan. Bahkan, sejak zaman nabi, hal ini sudah sering dilakukan.
-
Bagaimana Islam memandang mimpi? Dalam pandangan Islam, pertemuan dalam mimpi ini juga dapat dipahami sebagai bentuk komunikasi spiritual antara dua dunia yang berbeda.
Kita perlu ingat bahwa segala sebab terjadinya sesuatu adalah dengan izin Allah. Namun, sering kali manusia terjebak dalam pikirannya sendiri dan kemudian berandai-andai serta menyalahkan diri atas apa yang telah terjadi.
Pertanyaannya, bagaimana hukum jika seorang Muslim sering berandai-andai dan tampak tidak menerima takdir yang telah ditentukan? Apakah tindakan tersebut termasuk dosa? Berikut adalah penjelasannya yang diambil dari muhammadiyah.or.id.
Hukum Berandai-andai Dalam Islam
Mengatakan sesuatu dengan awalan "seandainya" dapat berisiko mengarah pada syirik, terutama jika kita mengabaikan takdir Allah. Contohnya, seseorang yang berkata, "Seandainya ia tidak naik pesawat, pasti ia selamat," menunjukkan keyakinan bahwa penyebab kematian adalah karena kecelakaan pesawat.
Padahal, kematian itu sendiri sudah ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Jika seseorang sudah ditakdirkan untuk meninggal, maka meskipun ia tidak naik pesawat, kematiannya tetap akan terjadi.
Penjelasan mengenai sebab dan akibat dalam konteks Islam diperbolehkan, asalkan disertai pemahaman bahwa semua itu terjadi karena takdir Allah. Menganggap peristiwa hanya berdasarkan sebab akibat tanpa mengakui takdir adalah perilaku yang mirip dengan orang-orang munafik.
Allah SWT berfirman:
الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا...
Artinya: "(Mereka itu adalah) orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: 'Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh...'" (QS. Ali Imran: 168). Dalam hadis, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam juga menegaskan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ. (أخرجه مسلم)
Artinya: "Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Usahalah dengan keras untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah kamu lemah semangat. Dan apabila kamu tertimpa musibah, janganlah berkata: seandainya saya melakukan ini dan itu, niscaya menjadi begini dan begitu, melainkan katakanlah: Allah telah mentakdirkan, dan apa yang Dia kehendaki, Dia kerjakan. Sebab sesungguhnya perkataan 'lau' (seandainya) itu membuka perbuatan syaitan." (Ditakhrijkan oleh Muslim). Kedua ayat di atas menegaskan bahwa kematian adalah bagian dari takdir Allah subhanahu wa ta'ala. Hadis tersebut melarang kita untuk hanya berpikir dalam kerangka sebab akibat dan mendorong kita untuk menyerahkan segala sesuatu kepada kehendak Allah. Namun, jika ungkapan 'lau' digunakan sebagai bentuk penyesalan untuk introspeksi dan tidak mengingkari takdir, maka hal itu diperbolehkan.
Ikhtiar dan Tawakal Sangat Penting
Manusia dianjurkan untuk berusaha mencapai takdir baik yang telah ditentukan oleh Allah melalui ikhtiar. Setiap individu diwajibkan untuk berikhtiar secara maksimal sebelum menyerahkan hasilnya kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Tidaklah benar jika seseorang hanya menunggu takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Misalnya, ketika seseorang merasa sangat mengantuk, ia sebaiknya tidak mengemudikan mobil sebelum mendapatkan istirahat yang cukup.
Mengemudi dalam kondisi mengantuk bisa sangat berbahaya dan berisiko menyebabkan kecelakaan. Setelah merasa cukup beristirahat dan tidak mengantuk lagi, barulah ia dapat mengemudikan mobil dengan lebih baik sambil bertawakkal kepada Allah dengan berdoa atau setidaknya membaca basmalah, yaitu 'Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang'.
Jika kemudian terjadi kecelakaan dan ia meninggal dunia, itu adalah takdir Allah. Yang perlu dipahami adalah bahwa orang tersebut telah berusaha semaksimal mungkin dan bertawakkal.
...فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Allah SWT berfirman: "... kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS. Ali Imran: 159).
Dalam contoh lain, ketika seseorang mengalami sakit, ia seharusnya berusaha untuk berobat. Jika setelah sembuh ia mengucapkan 'saya sembuh karena berobat', hal itu tidaklah menjadi masalah selama ia meyakini bahwa berobat adalah bagian dari ikhtiar dan kesembuhannya adalah takdir Allah.
Jika ternyata ia tidak sembuh dan bahkan meninggal dunia, sama seperti contoh sebelumnya, orang tersebut telah memaksimalkan ikhtiar dan bertawakkal kepada Allah. Wallahu a'lam bish-shawab.