Ini Sejarah Penggunaan Tasbih dalam Islam, Ternyata Rasulullah SAW Tidak Pernah Menggunakannya
Dalam praktiknya, salah satu alat yang banyak digunakan untuk membantu dalam berzikir adalah tasbih.
Zikir adalah salah satu ibadah sunah yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Dalam Al-Qur'an, Allah menekankan betapa pentingnya amalan ini bagi umat-Nya, seperti yang tercantum dalam firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya." (Al Ahzab/33:41).
Dalam praktiknya, tasbih menjadi salah satu alat yang banyak digunakan untuk membantu dalam berzikir. Meskipun tasbih terkenal di kalangan umat Islam, penggunaannya dalam tradisi ini tidak berasal dari praktik Nabi dan para sahabat, yang lebih sering menggunakan jari-jari mereka untuk menghitung zikir, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
"Hitunglah dengan jari-jemari, karena kelak mereka ditanya dan diminta berbicara." (HR Abu Dawud).
Di Timur Tengah, tasbih dikenal sebagai subhah, sementara dalam bahasa Sanskerta kuno disebut jibmala, dan sudah ada jauh sebelum kedatangan Islam. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun tasbih tidak digunakan oleh Nabi dan sahabat, manik-manik ini telah menjadi simbol bagi umat Islam dalam melaksanakan zikir. Berikut ulasannya dirangkum dari berbagai sumber, Selasa (24).
Metode Berzikir yang Diajarkan oleh Rasulullah SAW
Rasulullah SWA menjadi contoh utama bagi umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam melaksanakan zikir. Beliau memiliki metode tertentu dan sederhana dalam menghitung zikir seperti "Subhanallah", "Alhamdulillah", dan "Allahu Akbar".
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Dzaid menjelaskan bahwa Rasulullah SAW menggunakan jari tangannya untuk menghitung zikir, bukan dengan alat lain. Para sahabat dan generasi berikutnya meneladani cara Rasulullah ini, sehingga menjadi tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Syaikh Athiyah Muhammad Salim, seorang pengajar di Masjid Nabawi, menjelaskan cara menghitung zikir dengan tangan kanan. Setiap jari memiliki tiga ruas yang dapat digunakan untuk menghitung setiap tasbih, tahmid, dan takbir.
Dengan demikian, setiap ruas jari dihitung sebagai satu unit zikir. Jika setiap ruas digunakan untuk satu zikir, dari lima jari, totalnya akan mencapai tiga puluh tiga zikir jika diulang. Ini sejalan dengan praktik yang dicontohkan oleh Rasulullah dan diingatkan melalui hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar.
Artinya: "Setiap pergelangan salah seorang dari kamu adalah shadaqah, setiap tasbih shadaqah, setiap tahmid shadaqah, tahlil shadaqah, takbir shadaqah, mengajak kepada kebaikan shadaqah dan mencegah dari kemungkaran shadaqah dan semua itu cukup dengan dua raka'at dhuha." [HR Bukhari dan Muslim].
Syaikh Athiyah juga menekankan bahwa tidak ada aturan baku mengenai penggunaan ruas jari dalam menghitung zikir. Namun, yang pasti, Rasulullah SAW menggunakan jari tangannya sebagai alat untuk menghitung zikir, sebagaimana yang disaksikan oleh Abdullah bin Umar.
Tasbih Manik sebagai Sarana untuk Membantu Menghitung Zikir
Tasbih, yang dikenal sebagai alat bantu untuk menghitung zikir dalam praktik ibadah umat Islam memiliki sejarah yang kaya dan beragam. Berawal dari tradisi berbagai agama, tasbih telah memainkan peran penting dalam ibadah Muslim dan mengalami banyak perubahan.
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid menyatakan bahwa tasbih sudah ada sejak zaman prasejarah dan digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan, termasuk agama Buddha dan Hindu.
Para pengikut Buddha memanfaatkan tasbih untuk menyelaraskan ucapan dan tindakan saat berdoa, sementara pendeta Hindu juga menggunakannya dalam ritual keagamaan mereka. Seiring berjalannya waktu, tasbih menyebar ke kalangan Kristen dan penganut agama lainnya.
Tasbih mulai dikenal dalam dunia Islam pada abad kedua Hijriah, ketika umat Muslim mulai mengadopsinya. Pada awalnya, umat Islam tidak menggunakan tasbih untuk menghitung zikir, melainkan lebih memilih jari, batu kerikil, atau biji kurma sebagai alat hitung.
Sahabat Rasulullah seperti Abu Hurairah dan Sa'ad bin Abu Waqqash sering menggunakan kerikil untuk menghitung zikir mereka, yang menunjukkan bahwa sebelum adanya tasbih, cara menghitung zikir lebih sederhana dan alami.
Tasbih mulai diperkenalkan secara luas kepada umat Islam pada abad ketiga Hijriah, terutama di kalangan sufi. Salah satu tokoh sufi, Abul Qasim bin al-Junaid, adalah salah satu yang pertama kali terlihat menggunakan tasbih, meskipun awalnya ada penolakan dari beberapa kalangan.
Ia menjelaskan bahwa tasbih membantunya dalam beribadah. Dari sinilah tasbih mulai diterima secara lebih luas sebagai bagian dari praktik ibadah. Perdagangan manik-manik juga berperan dalam penyebaran tasbih. Antara abad ke-7 hingga ke-12 Masehi, manik-manik yang digunakan untuk tasbih diperdagangkan di berbagai pusat perdagangan seperti Nishapur, Siraf, dan Fustat.
Beragam bentuk dan bahan manik-manik menunjukkan variasi penggunaannya, termasuk tasbih yang terdiri dari 33 atau 99 butir manik-manik yang sering kali terukir dengan nama-nama Allah.
Perdebatan dan Penerimaan
Meskipun penggunaan tasbih saat ini sudah menjadi hal yang biasa, pada awalnya ada penolakan dari beberapa pihak. Sahabat Nabi, seperti Abdullah bin Mas'ud dan Aisyah, pernah menolak praktik menggunakan biji atau kerikil untuk menghitung zikir.
Mereka berpendapat bahwa menghitung dengan jari adalah cara yang lebih tepat dan sesuai dengan ajaran Islam. Namun, seiring berjalannya waktu, kelompok sufi dan pengikut tarekat mengadopsi tasbih sebagai bagian penting dari ritual ibadah mereka. Salah satu alasan utama penggunaan tasbih adalah untuk mempermudah dalam menghitung zikir yang banyak.
Bagi mereka yang rutin melakukan zikir, menghitung dengan jari bisa menjadi sulit dan membingungkan. Oleh karena itu, tasbih dianggap sebagai solusi yang mempermudah, sehingga individu dapat tetap fokus dalam beribadah tanpa terganggu oleh proses penghitungan.
Ulama, seperti Syaikh Bakr Abu Dzaid, berpendapat bahwa tidak ada hadits sahih yang mengizinkan penggunaan alat lain selain jari untuk menghitung zikir. Meski begitu, terdapat beberapa hadits yang sering dijadikan sebagai dalil untuk mendukung penggunaan tasbih. Hadits Shafiyah binti Hayyi
Artinya: Dari Kinanah, budak Shafiyah, ia berkata bahwa Shafiyah pernah mengatakan: "Rasulullah pernah menemuiku dan di tanganku ada empat ribu nawat (biji korma) yang aku gunakan untuk menghitung dzikirku." Aku berkata, "Aku telah bertasbih dengan ini." Rasulullah bersabda, "Maukah aku ajari engkau sesuatu yang lebih baik daripada yang kau gunakan untuk bertasbih?" Aku menjawab, "Ajarilah aku," lalu Rasulullah bersabda, "Ucapkanlah: . (Maha Suci Allah sebanyak apa yang diciptakan oleh-Nya dari sesuatu).
Hadits Sa'ad bin Abi Waqqash Artinya: Sa'ad bin Abi Waqqash bersama Rasulullah menemui seorang wanita yang memegang biji atau kerikil untuk menghitung tasbih (dzikirnya). Rasulullah bersabda, "Maukah kuberi tahu sesuatu yang lebih mudah dan lebih utama bagimu daripada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya di langit, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya di bumi, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya di antara keduanya, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya yang Dia ciptakan, dan ucapkan: seperti itu, seperti itu, dan seperti itu.
Hadits Abu Hurairah Artinya: Rasulullah bertasbih dengan menggunakan kerikil.