Kisah Dzun Nun al-Mishri, Sufi Besar yang Tobat Karena Seekor Anak Burung
Dzun Nun al-Mishri merupakan salah satu sufi agung yang pertama kali menganalisis konsep ma'rifat.
Dzun Nun al-Mishri merupakan salah satu sufi terkemuka. Ia menempuh jalan tasawuf dengan cara yang sangat unik. Perjalanan spiritualnya tidak dimulai dari pertemuan dengan seorang mursyid atau karena menghadapi cobaan hidup yang berat, melainkan dipicu oleh seekor burung.
Sebelum mencapai statusnya sebagai sufi besar, Dzun Nun al-Mishri adalah seorang pemuda yang cenderung lalai, menghabiskan waktu untuk kegiatan yang tidak berguna. Namun, Allah SWT membukakan matanya melalui pertemuan dengan seekor anak burung. Berikut adalah kisah lengkapnya yang dirangkum dari laman NU Online.
-
Bagaimana Allah menunjukkan kebesaran-Nya melalui burung? Ini pun tercantum jelas dalam QS. An Nahl ayat 79, di mana Allah berfirman, 'Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.'
-
Apa makna kejatuhan cicak dalam Islam? Dalam Islam, anggapan yang berkaitan dengan keberuntungan dan keburukan dikenal dengan istilah tathayyur atau thiyaarah.
-
Bagaimana cerita Islami tentang Tikus dan Singa mengajarkan kebaikan? Tikus yang ketakutan pun menjawab, 'Maafkan aku, singa. Aku hanya bermain karena bosan. Tolong lepaskan aku maka aku akan menjadi teman baikmu selamanya. Siapa tahu aku bisa membantu menyelamatkan nyawamu.'
-
Siapa yang menjadi korban perilaku burung kedasih? Burung kedasih, dikenal karena perilakunya yang cerdik dan licik, seringkali melakukan taktik yang tidak biasa dalam menitipkan telurnya di sarang burung lain.
-
Apa hewan kurban yang diterima di Masjid Menara Kudus? Salah satu masjid yang masih setia memegang ajaran Sunan Kudus adalah Masjid Al Aqsha Menara Kudus. Di masjid itu, hewan kurban yang disembelih hanya kerbau, kambing, dan domba.
-
Bagaimana Nabi Muhammad memperlakukan kucing Muezza? Sebagai ungkapan rasa syukur, Nabi Muhammad selalu menyayangi Muezza, bahkan dengan menggendongnya dengan lembut dan meletakkannya di bagian pahanya.
Cerita Pertobatan Dzun Nun al-Mishr
Dalam kitabnya yang berjudul ar-Rislah al-Qusyairiyyah, Syekh Abul Qasim al-Qusyairi menceritakan bahwa suatu ketika Salim al-Magribi menghadiri majelis Dzun Nun al-Mishri. Ia kemudian bertanya, "Wahai Abul Fayd (nama asli Dzun Nun), apa yang mendorongmu untuk bertaubat?" Dzun Nun menjawab dengan nada misterius, "Sesuatu yang sangat menakjubkan, dan kau mungkin tidak akan percaya."
Al-Magribi pun mendesak, "Demi Tuhan yang kau sembah, ceritakanlah padaku." Dzun Nun al-Mishri lalu menceritakan, "Suatu ketika, aku berencana meninggalkan Mesir untuk menuju sebuah kota, namun aku tertidur di sepanjang jalan, tepatnya di sebuah padang.
Ketika aku terbangun, aku melihat seekor anak burung yang terjatuh dari sarangnya. Tiba-tiba, tanah terbuka dan mengeluarkan dua wadah; satu terbuat dari emas berisi biji-bijian simsim, dan satu lagi dari perak berisi air.
Dari situ, burung kecil itu mendapatkan makanan dan minumannya." "Aku pun berkata, 'Cukup!', dan seketika itu juga aku bertaubat. Aku terus mengetuk pintu taubat-Nya hingga Allah menerima taubatku." (Abul Qasim al-Qusyairi, ar-Rislah al-Qusyairiyyah, [Beirut: Darul Kutub al-'Ilmiyah, 2018], h. 24).
Kisah pertaubatan Dzun Nun al-Mishri ini menunjukkan betapa luar biasanya rahmat Allah. Muhyiddin Muhammad Ali Muhammad bin Umar dalam bukunya al-Kaukabud Durr f Manqibi Dzinnun al-Mishr menekankan bahwa meskipun kisah ini terdengar aneh, namun hal itu bisa dipahami.
Peristiwa tersebut adalah hadiah indah dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Ini sejalan dengan yang dinyatakan dalam Al-Qur'an: "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. Bagi mereka ada kabar gembira di dunia ini dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Itulah kemenangan yang besar." (QS. Yunus: 63-64) (Muhyiddin Muhammad Ali Muhammad bin Umar, al-Kaukabud Durr f Manqibi Dzinnun al-Mishr, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun], h. 14).
Petuah dari Dzun Nun al-Mishri
Salah satu ujian berat yang pernah dihadapi oleh Dzun Nun adalah pengasingan yang dilakukan oleh para ulama Mesir pada zamannya, yang menuduhnya sebagai zindik.
Dalam kitabnya Mianush Shufiyyah, As-Sulami menceritakan bahwa Dzun Nun merupakan orang pertama di tanah airnya yang membahas tentang urutan awal dan tingkatan para wali.
Namun, pernyataannya tersebut ditolak oleh ulama besar bermazhab Maliki, Abdullah bin Abdul Hakam, yang menganggapnya sesat. Sejak saat itu, Dzun Nun diisukan telah mengemukakan ide-ide baru yang belum pernah diungkapkan oleh ulama-ulama sebelumnya.
Akibatnya, ia diasingkan oleh ulama-ulama Mesir pada masa itu dan dituduh sebagai seorang zindik (seseorang yang tersesat dan murtad) (Adz-Dzahabi, Siyaru A'lmin Nubal', [Beirut: Mu'asssasah ar-Risalah, 1987], juz 11, h. 534). Sebagai seorang sufi terkemuka, tentu saja nasihat-nasihat Dzun Nun al-Mishri banyak dipengaruhi oleh pemikiran sufistiknya. Berikut adalah beberapa petuahnya.
: : . : . : . : . : . :
Artinya: "Istighfar memiliki banyak makna, yaitu (1) menyesali semua kesalahan yang telah dilakukan, (2) bertekad untuk meninggalkan perbuatan maksiat, (3) melaksanakan kewajiban-kewajiban Allah yang telah diabaikan, (4) mengembalikan hak-hak orang yang telah dirugikan, baik berupa harta, kehormatan, maupun kemaslahatannya; (5) menjauhi semua yang diperoleh dengan cara yang haram, dan (6) merasakan kesakitan dalam beribadah seperti halnya merasakan kenikmatan dalam berbuat maksiat."
Artinya: "Orang yang telah mencapai ma'rifat tidak hanya mau berada dalam satu keadaan, tetapi ia siap untuk melaksanakan semua perintah Allah dalam berbagai kondisi" (Adz-Dzahabi, h. 535).
Tontonlah Video Unggulan ini:
Berikut adalah versi lain dari kalimat tersebut tanpa mengubah konteks: