Banyak Orang Tak Tahu, Begini Kisah Pahit di Balik Berdirinya Taksi Blue Bird
Merdeka.com - Aksi CEO Blue Bird, Sigit Djokosoetono yang menyamar sebagai sopir taksi menuai apresiasi dari masyarakat. Sebagai pucuk pengelola bisnis, cara Sigit dinilai dapat berpengaruh terhadap manajemen dan strategi perusahaan.
Sebagai pimpinan perusahaan taksi terbesar di Indonesia ini, bukan perkara mudah bagi Blue Bird untuk bertahan dan berekspansi di tengah digitalisasi transportasi umum.
Namun, jika menilik sejarah, cukup wajar jika Blue Bird tetap bertahan hingga saat ini. Sebagaimana diketahui, pendiri taksi Blue Bird adalah seorang perempuan asal Malang, Jawa Timur, bernama Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono. Dia lahir pada 17 Oktober 1921.
-
Siapa pilot wanita itu? Narine Melkumjan, seorang pilot Belanda sukses menjadi perhatian publik.
-
Siapa wanita terkaya di Indonesia? Arini Subianto dikenal sebagai salah satu wanita dengan kekayaan terbesar di Indonesia.
-
Siapa yang menginspirasi wanita Indonesia? Di hari yang istimewa ini, mari kita renungkan kembali semangat yang telah ditanamkan oleh Kartini, yang tidak hanya menjadi inspirasi bagi wanita Indonesia, tetapi juga bagi setiap individu yang bermimpi dan berusaha untuk mencapai kesetaraan di segala aspek kehidupan.
-
Siapa wanita tersebut? Wanita tersebut, berpostur sekitar 155 sentimeter diperkirakan hidup bersama suaminya pada abad ke-9.
-
Apa profesi perempuan tersebut? Perempuan tersebut terlihat sedang menjamu tamunya dengan sangat baik.Mereka kemudian berbincang panjang dan menjelaskan masing-masing latar belakangnya. Perempuan pemilik warung sekaligus tukang pijat itu pun akhirnya mengaku bahwa ia bekerja di bidang tersebut karena terpaksa.
-
Siapa pemilik motor pertama di Indonesia? Selain sebagai pemilik motor pertama di Indonesia, John C. Potter juga terkenal karena menjadi penjual mobil pertama di negara ini.
Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono terlahir dari keluarga kaya. Namun, saat dia usia 5 tahun keluarganya bangkrut. Kehidupan Bu Djoko, demikian sapaan yang populer, berubah drastis. Sejak saat itu, dia menjalani hidup secara sederhana akibat kemiskinan yahg menerpa keluarganya.
Di usia remaja, Bu Djoko bertekad memperkaya diri dengan ilmu. Dia gemar membaca kisah-kisah inspiratif yang diperoleh dengan meminjam buku. Salah satu kisah legendaris yang selalu menghiburnya adalah 'Kisah Burung Biru' atau 'The Bird Happiness'. Kisah itu kemudian menjadi gagasan Bu Djoko memberi nama perusahaan taksinya.
Bu Djoko pernah mengenyam pendidikan di sekolah Guru Belanda atau Europese Kweekschool. Setelah lulus, dia merantau ke Jakarta, dan berhasil masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan menumpang di rumah pamannya di Menteng, Jakarta Pusat.
Selama tinggal di Menteng, dia bertemu dengan Djokosoetono, dosen yang mengajarnya, sekaligus pendiri serta Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Laki-laki itulah yang menikahinya selagi Bu Djoko masih kuliah.
Setelah menikah, keduanya dikaruniai 3 anak yaitu Chandra Suharto, Mintarsih Lestiani, dan Purnomo Prawiro.
Sebagai informasi, CEO Blue Bird saat ini, Sigit Djokosoetono merupakan anak dari Chandra Suharto.
Sempat Berjualan Telur di Depan Rumah
Selanjutnya, di sekitar tahun 1952 Bu Djoko lulus dari FHUI dan langsung bekerja sebagai dosen di FHUI dan PTIK. Bu Djoko dan Pak Djoko kemudian menempati rumah dinas atas pekerjaan suaminya di jalan HOS Cokroaminoto Nomor 107, Menteng.
Tinggal di kawasan elit tidak membuat keluarga Djokosoetono terbuai kenyamanan. Untuk menambah penghasilan keluarga, Bu Djoko berjualan batik yang dia tawarkan dari pintu ke pintu. Penjualan batik sempat ramai, namun usia bisnis tersebut tidak lama.
Bu Djoko kemudian banting setir dengan berjualan telur di depan rumahnya. Realita berjualan telur menjadi pilihan bisnis yang brilian masa itu. Sebab telur masih dianggap bahan makanan ekslusif yang hanya dikonsumsi orang-orang menengah ke atas.
Bu Djoko mencari pemasok telur terbaik di Kebumen, Jawa Tengah. Perlahan-lahan usaha telur Bu Djoko dan keluarga terus meningkat. Di satu sisi, kelancaran usaha berjualan telur dibalut kesedihan saat Pak Djoko mengalami sakit. Meski pemerintah memberikan bantuan penuh untuk biaya perawatan Pak Djoko, namun nasib berkata lain. Pada 6 September 1965, suami Bu Djoko meninggal dunia.
Keluarga Pak Djoko kemudian mendapatkan dua mobil bekas, sedan Opel dan Mercedes, yang diterima dari PTIK dan PTHM. Di sinilah embrio lahirnya taksi Blue Bird.
Pada suatu malam, Bu Djoko mulai merancang gagasan bagi operasional taksi yang dimulai dengan dua buah sedan pemberian yang dimiliki. Dia merenung taksinya menjadi angkutan yang disukai masyarakat.
Dia kemudian menyusun konsep untuk menjalankan usaha taksinya dengan bagaimana mencari pengemudi, aturan kerja, yang dapat memberikan kenyamanan antara sopir, penumpang dan perusahaan.
Setelah menyusun rencana besar, dia menggarisbawahi bahwa sopir Blue Bird akan dididik dengan baik, dibina, dirangkul untuk sama-sama berkembang. Setelah puas menuangkan tentang hal-hal yang dia kerjakan, Bu Djoko tertidur dengan perasaan bahagia.
Dibantu ketiga anak dan menantu, Bu Djoko memulai usaha taksinya. Taksi tersebut menggunakan penentuan tarif sistem meter yang kala itu belum ada di Jakarta. Untuk order taksi, dia menggunakan nomor telepon rumahnya.
Karena Chandra ditugaskan menerima telepon dari pelanggan maka orang-orang menamakan taksi itu sebagai Taksi Chandra. Taksi Chandra yang hanya dua sedan itu kemudian melesat popular di lingkungan Menteng karena pelayanan yang luar biasa. Pesanan taksi muncul tanpa henti. Dari hasil keuntungan saat itu, Bu Djoko bisa membeli mobil lagi.
Kombinasi antara Bu Djoko yang berdisiplin tinggi dan penuh passion dalam menjalankan usahanya berpadu harmonis dengan pembawaan Chandra yang cermat dan tenang. Semua masalah dalam menjalani usaha taksi dibawa dalam rapat keluarga untuk dicari solusinya.
Permintaan akan Taksi Chandra terus mengalir. Usaha yang semula ditujukan untuk menjaga kestabilan ekonomi keluarga, kemudian berkembang menjadi bisnis yang amat serius. Beberapa mobil yang telah dimiliki dirasa kurang mencukupi. Titik layanan kian melebar, tak hanya di daerah Menteng, Tebet, Kebayoran Baru dan wilayah-wilayah di Jakarta Pusat, tapi juga sampai ke Jakarta Timur, Barat dan Utara.
Tambah Jumlah Mobil Taksi
Sekitar tahun 1970, Bu Djoko mengukuhkan dirinya sebagai pebisnis ulung setelah membuktikan bahwa mereka mampu membesarkan armada dan mendulang keuntungan yang signifikan. Mereka bisa menambah jumlah mobil sendiri lebih dari 60 buah.
Akhir tahun 1970-an, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, akan memberlakukan izin resmi bagi operasional taksi, seiring meningkatnya kebutuhan taksi. Peluang ini direspons Bu Djoko. Memasuki tahun 1971, dia pergi ke Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) untuk mendapatkan surat izin operasional.
Bu Djoko kemudian meminjam uang ke bank untuk modal membesarkan bisnis taksi. Dari hasil pinjaman itu, Bu Djoko membeli 100 mobil.
Di tahun itu pula Bu Djoko dan anak-anaknya bersiap mencari nama dan logo taksi. Taksi Chandra tetap dijalankan sebagai taksi per jam atau hourly. Sementara taksi baru di bawah PT Sewindu Taxi segera disiapkan namanya. Ide lagi-lagi datang dari Bu Djoko, hingga diberi nama taksi Blue Bird.
Dengan logo sederhana berupa siluet burung berwarna biru tua yang sedang melesat, hasil karya pematung Hartono. Logo itu seperti pencapaian yang membuktikan bahwa dia mampu menghidupkan cita-cita yang diteladankan kisah The Bird of Happiness.
Jumlah taksi sebelum krisis moneter mencapai hampir 5.000 mobil. Jumlah pool terus bertambah. Blue Bird pun berkembang di sejumlah Provinsi. Generasi 90-an akhirnya ikut merasakan bagaimana kokohnya Blue Bird. Di saat bersamaan persaingan bisnis mulai dirasakan Blue Bird dari kompetitor.
Tak ingin larut terhadap kompetitor, Bu Djoko justru melakukan inovasi terhadap Blue Bird dengan meluncurkan Silver Bird, Executive Taxi pada tahun 1993.
Kehadiran para cucu, meningkatnya pengalaman Chandra dan Purnomo, dan semangkin tingginya jam terbang karyawan membuat perusahaan ini terbaik di bidangnya.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Manajemen Blue Bird menyesalkan perbuatan yang dilakukan salah pengemudinya.
Baca SelengkapnyaBus ini mengalami masa kemunduran setelah krisis ekonomi tahun 1930-an
Baca Selengkapnya"Biasanya dadah-dadahin anak kecil di peron, sekarang ke anak sendiri," tulis perempuan ini.
Baca SelengkapnyaPerusahaan otobus asal Kota Medan ini berdiri sesudah kemerdekaan Indonesia dengan catatan sejarah yang cukup panjang.
Baca SelengkapnyaKecelakaan itu menyebabkan dua orang pejalan kaki meninggal dunia.
Baca SelengkapnyaRosalia Indah ramai di media sosial usai Ipad milik penumpang hilang.
Baca SelengkapnyaBerikut adalah sejarah PO Gunung Harta Si Hijau dari Bali.
Baca SelengkapnyaViral video arogan seorang pengemudi taksi online yang berperilaku arogan merusak mobil taksi Bluebird, usai terlibat serempetan antara keduanya di Gatsu Jaksel
Baca SelengkapnyaAda yang menarik dari kereta satu ini. Tenaga untuk menggerakkan armadanya sangatlah tak biasa.
Baca SelengkapnyaDisopiri Wanita Cantik Berhijab, Naik Bus PO Epa Star Lintas Sumatra Bikin Nyaman Penumpang Dengan Harga Tiket Rp375 Ribu
Baca SelengkapnyaDari Masa Lalu ke Masa Kini, PO Bus Tertua di Indonesia Masih Eksis?
Baca SelengkapnyaBus menabrak empat orang, dua korban meninggal. Sopir bus positif narkoba
Baca Selengkapnya