Beda BRICS dan OECD, Apa Untung dan Ruginya untuk Indonesia?
OECD merupakan organisasi ekonomi yang dibentuk negara-negara barat. Sedangkan BRICS organisasi ekonomi yang dibentuk untuk melawan kekuatan negara barat.
Indonesia menyatakan minatnya untuk bergabung dengan BRICS pada Konferensi Tingkat Tinggi BRICS Plus di Kazan, Rusia, yang berlangsung dari 22 hingga 24 Oktober 2024. Dengan langkah ini, proses keanggotaan Indonesia dalam BRICS mulai dilaksanakan.
"Keanggotaan Indonesia dalam BRICS merupakan manifestasi dari politik luar negeri yang bebas dan aktif," ungkap Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Sugiono, dalam pernyataannya yang dikutip pada Jumat (25/10).
"Ini bukan berarti kita berpihak pada kubu tertentu, melainkan kita berkomitmen untuk berpartisipasi aktif di semua forum internasional."
Sugiono menjelaskan, prioritas BRICS sejalan dengan program kerja Kabinet Merah Putih, yang mencakup isu-isu seperti ketahanan pangan, energi, pengentasan kemiskinan, dan pengembangan sumber daya manusia. Melalui BRICS, Indonesia berupaya untuk mengangkat kepentingan negara-negara berkembang, atau yang dikenal sebagai Global South.
Dalam keorganisasian ekonomi dunia, Indonesia tidak hanya bergabung dengan BRICS. Meski belum menjadi anggota tetap, Dewan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memutuskan untuk membuka diskusi aksesi dengan Indonesia.
Perlu diketahui, OECD dan BRICS merupakan dua organisasi ekonomi elit dunia. Berikut ulasannya;
Mengenal OECD dan BRICS
Sebagai organisasi ekonomi dunia yang sudah cukup tua, OECD dibentuk untuk mengelola bantuan Amerika dan Kanada di bawah Marshall Plan, sebagai upaya rekonstruksi Eropa setelah Perang Dunia II. Awalnya organisasi ini bernama OEEC kemudian dilakukan konvensi menjadi OECD yang ditandatangani di Chateau de la Muette di Paris pada 14 Desember 1960 dan mulai berlaku pada 30 September 1961.
Sejak saat itu, fungsi OECD adalah memberikan kesejahteraan yang lebih besar di seluruh dunia dengan memberikan nasihat kepada pemerintah tentang kebijakan yang mendukung pertumbuhan yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Melalui analisis dan rekomendasi kebijakan berbasis data valid, standar dan jaringan kebijakan global, termasuk kolaborasi erat dengan G7 dan G20, OECD telah membantu memajukan reformasi dan solusi multilateral untuk tantangan global. Ini mencakup pandangan tentang kebijakan publik, yang dikembangkan OECD pada 1970-an, hingga PISA dalam pendidikan, belum lagi transparansi pajak dan kecerdasan buatan.
Sepanjang sejarahnya, OECD telah berupaya untuk menjadi lebih global, lebih inklusif, dan lebih relevan.
Sementara BRICS, merupakan organisasi yang dibentuk pada tahun 2006 oleh Brasil, Rusia, India, dan China membentuk kelompok "BRIC". Pada tahun 2010, Afrika Selatan bergabung, sehingga menjadi "BRICS".
Organisasi ini dirancang untuk menyatukan negara-negara berkembang paling penting di dunia, sebagai bentuk counter atau perlawanan terhadap negara-negara kaya di Amerika Utara dan Eropa Barat. Keanggotaan BRICS terus bertambah seperti Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) diundang untuk menjadi anggota, dan mulai berlaku pada 1 Januari 2024.
Negara-negara BRICS mencakup negara-negara adikuasa besar dunia, seperti China dan Rusia, dan negara-negara yang berpengaruh di benua mereka, seperti Afrika Selatan dan Brasil. Jika digabungkan, ekonomi para anggotanya bernilai lebih dari USD28,5 triliun, atau sekitar 28 persen dari ekonomi global.
Apa Untungnya Bagi Indonesia Menjadi Anggota BRICS atau OECD?
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menilai tidak ada salahnya jika Indonesia tergabung dalam dua organisasi ekonomi tersebut. Pertimbangnnya, ekonomi Indonesia tidak hanya bergantung dari "satu kaki".
"Tidak ada salahnya main dua kaki, karena ekonomi kita enggak tergantung dari satu kaki," ujar Tauhid kepada merdeka.com, Rabu (30/10).
Tauhid menerangkan, OECD dapat dijadikan sebagai best practice bagi Indonesia dalam menyusun kebijakan ekonomi berbasis lingkungan. Misalnya saja mengelola energi baru terbarukan.
Bergabung dengan OECD juga meningkatkan daya tawar Indonesia terhadap negara-negara barat. Namun, keuntungan itu tidak diikuti dengan komitmen apapun dari negara-negara yang telah menjadi anggota. Hal ini dibuktikan dengan pendanaan bagi Indonesia untuk pengembangan energi bersih, atau energi terbarukan masih cukup minim.
Bahkan, jika dilihat dari sisi neraca perdagangan, persentase negara-negara OECD tidak lebih tinggi dibandingkan negara-negara BRICS.
"Dari sisi OECD juga porsi neraca perdagangannya juga enggak besar-besar amat. Untuk di perdagangan misalnya mereka (OECD) masih di bawah 30 persen, sementara BRICS sudah di atas 30 persen dalam neraca perdagangan kita," ucapnya.
Setidaknya, bergabung menjadi anggota BRICS memiliki kesamaan visi yaitu bagaimana negara-negara berkembang bisa menjadi negara maju secara bersamaan.
Dari komitmen pendanaan, bagi Tauhid, Indonesia bakal lebih banyak mendapatkan dana segar dari negara-negara BRICS dibandingkan OECD.
Meskipun terlihat cukup menguntungkan dari sisi ekonomi, Tauhid mengingatkan, Indonesia tidak bisa begitu saja mandiri dari negara-negara barat.
"Tapi dari sisi politik, negara-negara barat jauh lebih berat untuk banyak isu, misalnya kita lagi bermasalah dengan Laut China Selatan kan enggak mungkin mengandalkan BRICS, pasti kita akan minta bantuan negara-negara barat," kata Tauhid.
"Lagipula ekspor kita enggak terlalu banyak diserap oleh negara-negara BRICS. kalau main satu kaki, lebih baik main di dua kaki kita bisa ambil manfaat tapi kita tidak kehilangan posisi politik," pungkasnya.