Bisakah Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen di Era Prabowo Tercapai? Begini Analisanya
Untuk mencapai target tersebut, Prabowo harus memperhatikan kapasitas fiskal yang dimiliki Indonesia pada saat masa transisi ke pemerintahan baru.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti angkat suara terkait target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diusung Presiden terpilih Prabowo Subianto di masa depan.
Dia mengatakan, untuk mencapai target tersebut, Prabowo harus memperhatikan kapasitas fiskal yang dimiliki Indonesia pada saat masa transisi ke pemerintahan baru. Apakah kapasitas fiskal tersebut mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi, atau justru sebaliknya.
"Pertumbuhan ekonomi yang sekarang hanya berkisar 5 persen, namun Presiden terpilih Prabowo menyatakan target pertumbuhan ekonomi itu sekitar 8 persen. Apakah memang target ini real atau maksudnya akan tercapai atau tidak? Tentunya kita harus melihat kapasitas fiskal yang kita punyai," kata Esther Diskusi Publik online bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat”, Kamis (12/9).
Menurutnya, sangat penting untuk melihat kapasitas fiskal guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen. Sebab, target tersebut merupakan beban berat yang harus dipikul oleh pemerintahan baru.
Jika kapasitas fiskal nyatanya tidak cukup, maka kapasitas fiskal harus diperluas dengan meningkatkan penerimaan negara dan bijak dalam alokasi anggaran.
"Apakah memang bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi dan kalau memang kapasitas fiskal kita tidak terpenuhi atau tidak cukup, apakah yang langkah yang bisa kita lakukan?," ujarnya.
Esther menyampaikan, jika melihat ke belakang, tren rasio pajak di Indonesia cenderung turun dan rendah. Hal itu dilihat dari perkembangan rasio pajak dari tahun 1972 sampai 2023 yang memang cenderung menurun.
Kendati demikian, tren rasio pajak pada periode tertentu yakni 1978-1980 dan 1990-1992 cukup tinggi berada dikisaran belasan hingga 20-an persen. Namun, di tahun 2023 justru mengalami tren penurunan.
"Tertinggi pada tahun 1982 itu sekitar 22 persen, kemudian tahun 1990 itu sekitar 19 persen, terus kemudian tahun 2001 itu sekitar 16 persen, tapi kondisinya terus menurun hingga mencapai 10 persen saja," ujarnya.
Sisi Penerimaan Pajak
Selanjutnya, Esther pun membandingkan sisi penerimaan pajak pada tahun 2014 yang merupakan awal periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ternyata penerimaan pajak mencapai target hanya pada tahun 2021, 2022, dan 2023 karena saat itu harga komoditas sedang naik.
"Ternyata penerimaan pajak ini hanya tercapai targetnya pada tahun 2021, 2022 dan 2023. Itu pun karena harga komoditas yang booming, pada saat itu kelapa sawit sehingga berdampak positif pada penerimaan pajak," ujarnya.
Kata Esther, penerimaan dari sisi pajak saat ini relatif cenderung turun dan sekarang hanya 10 persen terhadap PDB. Sementara, dari sisi pengeluaran, belanja modal tercatat lebih kecil daripada pengeluaran rutin.
"Artinya belanja pembangunan ini seharusnya itu lebih besar daripada pengeluaran rutin, ini malah terjadi sebaliknya," ujarnya.
Di sisi lain, rasio utang terhadap PDB juga relatif tinggi sebesar 38 persen. Dia mencatat selama 10 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, utang RI naik hingga 3 kali lipat.
"Utangnya pun juga relatif tinggi, sekarang rasio utang terhadap PDB itu sekitar 38 persen, kalau kita lihat dalam 10 tahun ini Presiden Jokowi, pemerintahan Presiden Jokowi ini utang naik 3 kali lipat," ujarnya.
Oleh karena itu, Esther menyarankan agar Pemerintahan selanjutnya lebih memperhatikan kapasitas fiskal terlebih dahulu sebelum mewujudkan visi, misi, dan program Presiden terpilih.
"Kalau melihat dari sisi fiskal, kapasitas kita itu ruang fiskal kita itu lebih kecil, karena rasio pajak atau penerimaan negara dari pajak itu cenderung turun dan rendah, kemudian dari sisi pengeluaran itu lebih condong pada pengeluaran rutin, tidak pada belanja modal," pungkasnya.