BPS Bantah Deflasi 4 Bulan Berturut-turut Bukan Akibat Daya Beli Kelas Menengah Lemah
Dalam catatan BPS, pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia Indonesia mengalami pernah deflasi selama 7 bulan berturut-turut.
Badan Pusat Statistik (BPS) buka-bukaan soal penyebab terjadinya deflasi selama empat bulan berturut-turut di sepanjang 2024. Per Agustus 2024, BPS melaporkan terjadi deflasi pada sebesar -0,03 persen secara bulanan atau month on month (mtm).
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini menjelaskan deflasi untuk yang keempat ini lebih disebabkan oleh faktor melimpahnya pasokan atau supply side. Sementara terkait dugaan fenomena pelemahan daya beli masyarakat, dia menyebut perlu ada kajian yang lebih mendalam.
"Saya tegaskan kembali bahwa fenomena deflasi 4 bulan ini lebih ditunjukkan dari sisi supply, artinya masih terjadi di sisi penawaran. Jika hal ini (deflasi) kemudian (dipengaruhi) pada pendapatan masyarakat maka kita perlu gaji lebih lanjut untuk bisa membuktikan asumsi tersebut," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers di Gedung BPS Pusat, Jakarta, Senin (2/9).
Suplai Produk Berlimpah
Dia menjelaskan, tren deflasi hingga Agustus 2024 ini didukung oleh sisi penawaran atau supply side. Yakni, andil deflasi di sumbang karena penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan kemudian hortikultura dan peternakan.
Kondisi ini disebabkan karena biaya produksi yang terus menurun. Penurunan biaya produksi ini berdampak pada harga di tingkat konsumen juga ikut turun.
"Nah ini juga karena seiring dengan adanya panen raya ya, sehingga pasokannya berlimpah dan akibatnya harganya juga ikut turun," beber dia.
Catatan Deflasi RI
Pudji mengatakan, peristiwa deflasi selama empat bulan berturut-turut ini bahkan pertama kali terjadi. Dalam catatan BPS, pada tahun 1999 setelah krisis finansial Asia Indonesia mengalami pernah deflasi selama 7 bulan berturut-turut yaitu selama bulan Maret 1999 sampai dengan september 1999.
"Deflasi ini sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar dan penurunan harga barang beberapa jenis barang," ujar dia.
Kemudian periode deflasi lainnya yang terjadi pada tahun Desember 2008 hingga Januari 2009 selama krisis finansial global. Saat itu, deflasi terjadi karena penurunan harga minyak dunia dan juga karena permintaan domestik yang melemah.
Selanjutnya, Indonesia juga kembali mencatatkan deflasi selama 3 bulan berturut-turut yaitu sejak Juli sampai dengan September 2020. Deflasi ini dipicu oleh empat kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi yaitu kelompok makanan minuman dan tembakau, kelompok pakaian dan alas kaki, kelompok transportasi, serta kelompok informasi komunikasi dan jasa keuangan.
"Dengan (deflasi) 4 kelompok ini mengindikasikan bahwa penurunan daya beli tahun 2020 pada periode awal pandemi 2019 kemarin," tegasnya.
Masyarakat Kelompok Menengah Berkurang
Sebelumnya, Jumlah kelas menengah di Indonesia terus mengalami penurunan sejak 2019 lalu. Fenomena ini terungkap dalam hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 yang diadakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS mencatat jumlah kelas menengah pada tahun 2019 mencapai 57,33 juta orang. Jumlah penduduk kelas menengah tersebut menyumbang 21,45 persen dari proporsi penduduk.
Pada tahun 2021 jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan tajam menjadi 53,83 juta atau setara 19,82 proporsi penduduk. Dia menyebut, penurunan kelas menengah ini masih disebabkan oleh dampak pandemi Covid-19.
Fenomena penurunan jumlah kelas menengah ini kembali berlanjut pada tahun 2022. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin turun menjadi 49,51 juta dari tahun sebelumnya atau setara 18,06 persen penduduk.
Pada tahun 2023 jumlah penduduk kelas menengah kembali menurun menjadi 48,27 jiwa. BPS mengonfirmasi jumlah penduduk kelas menengah itu setara 17,44 proporsi dari jumlah penduduk.
Adapun tahun ini jumlah penduduk kelas menengah juga kembali turun menjadi 47,85 juta jiwa. Jumlah penduduk kelas menengah tersebut setara 17,13 persen proporsi penduduk.
Saat ini, BPS mengkategorikan penduduk kelas menengah mengacu pada penduduk yang memiliki pengeluarannya berkisar 3,5 - 17 kali garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia. Angka ini sekitar pengeluaran Rp2.040.262 - Rp9.909.844 per kapita per bulan pad 2024.