Ngerinya Deflasi 2024 Kalahkan 1999 dan 2008: Jadi Sinyal Ekonomi Tak Baik-Baik Saja
Kenaikan inflasi pada sektor transportasi turut memperburuk daya beli masyarakat.
Indonesia kini menghadapi tren deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut, menimbulkan kekhawatiran. Situasi ini mengingatkan akan deflasi yang terjadi pada tahun 1999, ketika Indonesia mengalami kondisi serupa selama tujuh bulan.
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan deflasi yang terjadi pada tahun ini disebabkan oleh kelebihan pasokan komoditas pangan, khususnya hasil hortikultura. Amalia menerangkan penurunan harga pangan, terutama produk tanaman hortikultura, berkontribusi besar terhadap deflasi.
"Penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan hortikultura yang memberikan andil karena supply, nah ini tentunya harga bisa turun karena biaya produksi turun, karena biaya produksi turun, tentunya ini akan dicerminkan pada harga di tingkat konsumen ikut turun," kata Amalia beberapa waktu lalu.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai deflasi yang terjadi selama beberapa bulan berturut-turut merupakan sinyal bahwa kondisi ekonomi tidak baik-baik saja.
Pada bulan Mei 2024, deflasi tercatat sebesar 0,03 persen secara bulanan, kemudian semakin dalam di bulan Juni menjadi 0,08 persen, dan mencapai 0,18 persen pada bulan Juli. Di bulan Agustus, deflasi kembali tercatat sebesar 0,03 persen.
"Tren deflasi ini menjadi sinyal kondisi ekonomi tidak baik-baik saja," kata Esther kepada merdeka.com, Kamis (3/10).
Deflasi dari Tahun ke Tahun
Esther menyatakan tren deflasi ini menjadi sinyal kondisi ekonomi yang mengkhawatirkan dan mencatat situasi serupa pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya seperti 1999, 2008, dan 2020.
Deflasi pada tahun 1999 berlangsung dari Maret hingga September, sedangkan di tahun 2008, Indonesia mengalami deflasi selama dua bulan.
Di tahun 2020, deflasi terjadi selama tiga bulan berturut-turut. Semua periode ini menunjukkan bahwa deflasi sering kali berhubungan dengan krisis ekonomi.
Ia juga mengungkapkan deflasi ini terkait dengan rendahnya inflasi inti, di mana beberapa kelompok pengeluaran masih berada di atas inflasi umum.
Kenaikan inflasi pada sektor transportasi turut memperburuk daya beli masyarakat, sehingga memperlihatkan tren penurunan kelas menengah.
"Sehingga ini tidak heran jumlah kelar menengah menurun," tegasnya.
Dari perspektif teori ekonomi, Esther menjelaskan deflasi sering kali terjadi ketika bank sentral mengurangi jumlah uang yang beredar dan menaikkan suku bunga, yang berakibat pada penurunan permintaan.
Rekomendasi tangani deflasi
Untuk mengatasi masalah ini, ia merekomendasikan penurunan suku bunga dan pemanfaatan instrumen moneter lainnya, seperti giro wajib minimum.
"Intervensi kebijakan moneter seharusnya tidak hanya fokus pada stabilisasi nilai tukar, tetapi juga pada stabilitas harga," tegasnya.
Esther menambahkan stabilitas harga harus diperhatikan tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di level daerah, mengingat karakteristik inflasi di setiap wilayah bisa berbeda.
Dengan demikian, respons terhadap deflasi harus komprehensif dan mempertimbangkan kondisi regional yang bervariasi.
Secara keseluruhan, tren deflasi yang berlanjut selama lima bulan ini menuntut perhatian serius dari para pemangku kebijakan untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas terhadap perekonomian nasional.