Pemerintah Prediksi Dua Agenda Besar Ini Bisa Dongkrak Daya Beli Masyarakat
Menurut pemerintah, deflasi saat ini dipengaruhi oleh penurunan permintaan pasar global akibat konflik internasional.
Indonesia saat ini tengah menghadapi tren deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut yang kemudian menimbulkan rasa khawatir di kalangan masyarakat dan pelaku ekonomi. Pasalnya, situasi ini mengingatkan pada deflasi yang terjadi pada tahun 1999, ketika Indonesia mengalami kondisi serupa selama tujuh bulan.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) memberikan penjelasan mengenai alasan di balik tren deflasi tersebut. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Moga Simatupang, menyatakan bahwa saat ini belum ada agenda besar yang dapat menggerakkan daya beli masyarakat.
Moga optimis dua agenda besar yang akan berlangsung pada akhir tahun ini, yaitu pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan libur Natal serta Tahun Baru (Nataru) 2024, dapat menjadi momentum untuk kembali menggerakkan daya beli masyarakat dan menghentikan tren deflasi.
"Untuk itu kami berharap Pilkada nanti dan juga Nataru akan segera normal kembali," kata Moga kepada media, Jakarta, Senin (7/10).
Selain itu, dia juga menjelaskan penyebab deflasi saat ini dipengaruhi oleh penurunan permintaan pasar global akibat konflik internasional, yang berdampak pada ekspor beberapa komoditas Indonesia.
"Pertama kan memang demand pasar global sedang menurun Karena ada konflik global Sehingga ekspor beberapa produk kita terjadi penurunan karena demandnya turun," jelas dia.
Akibat penurunan ini, banyak industri yang mengurangi produksi, yang pada gilirannya menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi para pekerja, yang belakangan ini tengah terjadi.
"Dengan demikian industri ini kan agak berkurang produksinya. Dampaknya ada beberapa terjadi PHK atau pengurangan jam kerja sehingga berdampak ke daya beli seperti itu," papar Moga.
Langkah yang Perlu Dilakukan Pemerintah
Berdasarkan kajian dari LPEM UI, indikator-indikator ekonomi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sedang menurun. Pada Agustus 2024, lebih dari 8,5 juta penduduk Indonesia telah turun kelas sejak 2018.
Selain itu, Ditjen Pajak juga mengungkapkan penerimaan pajak dari kelas menengah terus mengalami penurunan, mencapai hanya sekitar 1 persen dari total penerimaan pajak secara agregat.
Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan daya beli masyarakat yang menjadi faktor konsumsi ini menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah harus cepat memberikan insentif tepat sasaran agar daya beli kembali terjaga.
Ajib menyebut ada tiga hal utama yang perlu menjadi prioritas kebijakan agar deflasi cepat menurun. Pertama adalah kebijakan fiskal. Kuartal keempat ini menjadi landasan perekonomian kita akan memasuki tahun 2025, dimana pemerintah mempunyai ruang fiskal yang begitu sempit untuk bisa menggunakan kebijakan fiskal sebagai pengatur perekonomian, karena pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk kebutuhan APBN.
"Kondisi ini yang kemudian menimbulkan kebijakan kontraproduktif terhadap perekonomian dan daya beli. Contohnya adalah narasi dan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada tanggal 1 Januari 2025," kata Ajib dalam keterangan yang diterima Merdeka.com, Senin (7/10).
Ajib menilai kondisi ini tentunya perlu dipertimbangkan ulang oleh pemerintah, karena masih banyak opsi lain dalam menambal keuangan negara tanpa membebani masyarakat luas.
Kedua adalah kebijakan moneter. Pada bulan September, Bank Indonesia (BI) sudah melakukan penyesuaian tingkat suku bunga acuan menjadi 6 persen. Harapan dunia usaha, pada kuartal keempat ini, BI kembali melakukan penyesuaian, misalnya diturunkan 25 basis poin.
"Dengan tingkat suku bunga acuan dibawah 6 persen, potensi likuiditas akan lebih banyak mengalir di sistem perekonomian indonesia, dan daya beli masyarakat akan mengalami kenaikan ketika kemudian perbankan juga mengikuti dengan menurunkan suku bunga kreditnya," terang dia.
Ketiga, Ajib melanjutkan adalah kebijakan investasi yang lebih berkualitas dan mampu menyerap tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan konsep ekonomi yang masuk dalam Program Asta Cita pemerintahan Prabowo, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan.
Ia menerangkan penyediaan lapangan kerja yang masif ini menjadi prasayarat agar pertumbuhan ekonomi bisa eskalatif di masa selanjutnya. Pengangguran yang menyentuh angka 7 juta orang perlu diserap dengan kebijakan investasi yang padat karya.
Di sisi lain, ia bilang kuartal keempat mempunyai momentum positif untuk kembali mendongkrak daya beli secara umum. Event besar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dijalankan secara serentak untuk 38 provinsi, 416 Kabupaten dan 98 Kota di Indonesia menjadi agregator belanja yang cukup signifikan.
"Alokasi dari APBN 2024 tidak kurang dari 30 triliun untuk pemilu. Alokasi dari pasangan calon dan peserta pilkada tentunya lebih besar lagi," terangnya.
Artinya, perputaran uang ini akan langsung mengalir di masyarakat, dalam bentuk barang maupun uang. Kontribusi pilkada serentak ini diharapkan memberikan kontribusi yang cukup signifikan, seperti halnya momentum lebaran terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2024.
"Kuartal keempat menjadi momentum pertumbuhan ekonomi lebih agresif dengan momentum pilkada serentak ini," tutup dia.