Daya Beli Masyarakat Melemah, Kenaikan Upah Buruh 10 Persen di 2025 Dinilai Wajar
Apalagi kondisi perekonomian Indonesia saat ini mengalami deflasi 5 bulan berturut turut. Hal itu menandakan bahwa ekonomi dalam negeri sedang lesu.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti menyebut bahwa sangat wajar buruh menuntut kenaikan Upah Minimum Tahun 2025 naik sebesar 8 - 10 persen.
"Kalau menurut saya wajar. Kalau menurut saya permintaan kenaikan 8-10 persen itu make sense, karena tiap tahun memang harus ada kenaikan upah sesuai dengan kenaikan inflasi," kata Esther kepada Liputan6.com, Kamis (24/10).
Menurut dia, apalagi kondisi perekonomian Indonesia saat ini mengalami deflasi 5 bulan berturut turut. Hal itu menandakan bahwa ekonomi dalam negeri sedang lesu.
"Artinya, ada penurunan real income sehingga daya beli masyarakat melemah," ujarnya.
Hal ini juga ditandai dengan pengeluaran untuk konsumsi makanan dan minuman lebih banyak sekitar 50-60 persen dari total pendapatan. Sedangkan untuk pendidikan dan kesehatan dan lainnya sangat kecil.
Namun di sisi lain, hal tersebut mendorong terjadinya kenaikan biaya produksi yang mengakibatkan naiknya harga barang yang diproduksi. Oleh karena itu, perlu kontrol pemerintah untuk stabilisasi harga barang terutama bahan kebutuhan pokok.
Adapun kata Esther, formula upah minimum seharusnya mempertimbangkan besarnya inflasi produktivitas (omset dan lain-lain), serta biaya hidup di suatu daerah dengan memberikan tunjangan kemahalan di suatu kota, karena transportasi dan logistik dan lainnya.
Kata Buruh
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan juga Presiden Komite Eksekutif Partai Buruh, Said Iqbal, bersama sejumlah serikat buruh lainnya, mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk menaikkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8-10 persen pada tahun 2025.
Dia menjelaskan bahwa perhitungan kenaikan upah minimum tersebut didasarkan pada inflasi sebesar 1,2 persen, pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7,7 persen, serta tambahan kenaikan yang belum tercapai dari tahun lalu sebesar 1,3 persen.
"Kenaikan 10 persen untuk daerah yang disparitas upahnya terlalu jauh, sedangkan untuk yang rata-rata di kisaran 8 hingga 9 persen. Kami tidak meminta upah tinggi, tetapi upah yang layak," ungkap Said dalam konferensi pers secara daring pada Kamis (10/10).
Dia juga menambahkan bahwa daya beli buruh telah menurun selama lima tahun terakhir. Penelitian yang dilakukan oleh Litbang Partai Buruh dan KSPI menunjukkan bahwa upah riil buruh telah turun sebesar 30 persen, yang disebabkan oleh stagnasi kenaikan upah selama lima tahun terakhir.
Said menekankan bahwa upah riil, yang dipengaruhi oleh inflasi, adalah hal yang lebih penting untuk diperhatikan.
"Selama 3 tahun terakhir upah kita tidak naik, 2 tahun terakhir memang naik, tetapi di bawah inflasi, otomatis kenaikan upah akan tergerus karena harga barang-barang naik. Contohnya 2024, inflasi 2,8 persen, tetapi kenaikan upah 1,5 persen, maka buruh masih nombok," jelasnya.
Dia menggambarkan situasi di mana seorang pegawai dengan upah Rp1 juta dapat membeli 5 bungkus mie instan, namun setelah kenaikan upah menjadi Rp1,5 juta, pegawai tersebut hanya bisa membeli 3 bungkus mie instan.
"Artinya kenaikan upah buruh masih nombok, maka dari itu kami menuntut kenaikan upah minimum 2024 sebesar 8-10 persen," katanya.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya bagi buruh untuk mendapatkan upah yang adil dan layak, agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan lebih baik.