Diterpa Badai PHK, Kinerja Industri Tekstil dan Pakaian Anjlok 2,63 Persen di Kuartal II-2024
Data BPS menunjukkan kinerja industri tekstil menurun seiring dengan adanya PHK massal sektor tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sektor industri tekstil dan pakaian jadi terkontraksi 0,03 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada triwulan II-2024. Bahkan, secara kuartalan (quartal to quartal/qtq), industri tekstil dan pakaian jadi terkontraksi hingga 2,63 persen.
"Untuk Q2 tahun 2024 pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi kontraksi, baik secara year on year maupun secara qtq," kata Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik, Moh. Edy Mahmud dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (5/8).
Meski demikian, BPS tak mengungkapkan penyebab pelemahan kinerja industri tekstil dan pakaian jadi di kuartal II-2024. Selain industri tekstil dan pakaian jadi, sub kelompok pakaian juga mencatatkan kontraksi bersama dengan sektor transportasi.
Pelemahan dua sub kelompok usaha ini tercermin dari pertumbuhan perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan reparasi mobil dan sepeda motor dengan sumber pertumbuhan hanya 0,63 persen (yoy). Secara kuartalan, kelompok lapangan usaha ini hanya tumbuh 2,78 persen (qtq).
"Sub kelompok atau komoditas pakaian dan transportasi mengalami pertumbuhan meskipun positif, tidak setinggi pertumbuhan tahun lalu," ujar Edy.
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengamini adanya fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal di industri tekstil. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat sekitar 11.000 buruh di industri tekstil mengalami PHK.
"Saya harus menyampaikan bahwa benar apa yang disampaikan terjadi PHK di beberapa tempat, khususnya di Jawa Barat PHK-nya ini ada dua. Satu adalah relokasi pabrik dari Jawa Barat ke daerah lain di daerah Jawa itu ada ditemukan, ada juga yang memang pabriknya ditutup," kata Bahlil di Kantor BPKM, Jakarta, Senin (29/7/2024).
Bahlil menyebut PHK massal yang terjadi di industri tekstil dalam beberapa waktu terakhir disebabkan oleh dua faktor. Yakni mesin produksi yang sudah memasuki usia tua dan biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Secara spesifik, tingginya biaya produksi ini berbanding terbalik dengan produktivitas pekerja. Kondisi ini mengakibatkan terganggunya keuangan perusahaan yang akhirnya terpaksa melakukan efisiensi.
"Nah ini juga terkait dengan produktivitas kerja kita, jadi sebenarnya kita ini harus mencari jalan tengah hak-hak buruh tetap kita perhatikan, tapi buruh juga harus memperhatikan keberlangsungan perusahaan. Kalau ini tutup yang rugi kita semua," ujarnya.