Pemerintah Ungkap Banyak Nasib Sektor Tekstil di Ujung Tanduk
Kondisi kritis sektor tekstil tidak hanya dialami oleh Sritex.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer, mengungkapkan saat ini banyak perusahaan di sektor tekstil yang berada di ambang kebangkrutan atau pailit, seperti kabar PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) beberapa waktu lalu.
"Banyak sekali (perusahaan). Yang pasti lebih dari tiga, berarti banyak. Lebih dari tiga berarti banyak. Ya, banyak lah pokoknya kita," ujar Immanuel saat ditemui media di Jakarta, Kamis (12/12).
Menurut Immanuel, fenomena ini tidak hanya terjadi pada Sritex, tetapi juga menimpa berbagai perusahaan tekstil lainnya yang tersebar di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Ia menyebutkan situasi ini menggambarkan persoalan serius yang perlu segera ditangani secara menyeluruh.
"Ada Di Jawa Barat, di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah itu ada berapa. Kemudian di Jawa Barat juga ada berapa. Dan belum lagi kita lihat tekstil yang lain," tambahnya.
Immanuel menegaskan kasus Sritex hanyalah salah satu dari banyak kasus serupa yang terjadi di industri tekstil nasional. Ia menilai langkah strategis diperlukan untuk mencegah semakin banyak perusahaan tekstil yang mengalami nasib serupa.
"Yang jelas. Persoalan Sritex ini bukan hanya Sritex aja. Tapi masih banyak Sritex-Sritex yang lain. Jadi harus kita tangani," tegasnya.
Sebagai informasi, Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Reni Yanita mengungkapkan ada 11 ribu tenaga kerja di industri tekstil terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ia menyatakan PHK tersebut imbas dari pasca terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, di mana dalam aturan Permendag 8/2024 ada beberapa komoditas produk tekstil dengan mudah masuk ke Indonesia.
Akibatnya, Indonesia kembali dibanjiri impor pakaian jadi dengan harga yang sangat murah. Tentu hal ini berkaitan langsung dengan produksi dalam negeri.
Ia menilai persetujuan impor Kemendag tidak mempertimbangkan faktor harga, supply dan demand.
"Itu jadi catatan dan terjadinya banjir produk impor melalui market place dan sosial media. Dulu tidak diatur sudah banjir, apalagi sekarang dijadikan barang bebas," terang dia.