Wanti-Wanti Profesor Stella kejutkan Pengguna AI ChatGPT, Ternyata Bahaya Banyak Informasi Palsu
Dalam pidatonya, ia mengungkapkan pengalaman pribadinya mengenai penggunaan salah satu bentuk Artificial Intelligence (AI) yakni ChatGPT.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamen Dikti) Professor Stella Christie berkunjung ke SMA Unggul Del, Kabupaten Toba. Dia berkesempatan berbicara di depan para siswa hingga jajaran guru.
Dalam pidatonya, dia mengungkapkan pengalaman pribadinya mengenai penggunaan salah satu bentuk Artificial Intelligence (AI) yakni ChatGPT.
Dia membeberkan jika Chat GPT memberikan jawaban palsu yang terdengar meyakinkan mengenai inherited truculence. Seperti apa pernyataannya tersebut? Simak ulasan selengkapnya berikut ini, dilansir dari kanal YouTube MerdekaDotCom, Kamis (12/12).
Berkunjung ke SMA Unggul Del
Profesor Stella Christie menghadiri acara Inaugurasi dan Wisuda di SMA Unggul Del pada Sabtu (13/7) lalu di Gedung Serbaguna Yayasan Del, Laguboti, Sitoluama, Laguboti, Toba, Sumatera Utara.
Pada kesempatan itu, Prof Stella menjadi narasumber khusus yang memberikan materi sekaligus membahas tentang teknologi terbarukan bernama AI.
Dalam acara yang berlangsung di sekolah milik eks Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan itu, Stella tampil mempesona dalam balutan busana berwarna gelap yang dipadu dengan kacamata khasnya.
Beberkan Fakta soal ChatGPT
Sementara itu, dalam pidatonya di depan para siswa dan jajaran guru, Stella secara langsung menceritakan pengalaman pribadinya dalam menggunakan ChatGPT, sebuah chatbot kecerdasan generatif yang diluncurkan pada tahun 2022 silam.
Dia mengungkap kemampuan ChatGPT dalam memberi jawaban mengenai suatu hal yang disebutnya dengan symptom inherited truculence.
"Sebagai contoh, saya menanyakan kepada ChatGPT apakah symptom inherited truculence. Dan dia jawab ada lima poinnya. Kalian pasti enggak bisa jawab seperti ini kan?" terangnya.
Di balik sistematis dan lengkapnya jawaban yang tersedia, Stella justru mengungkap jika deretan kalimat yang diberikan ChatGPT justru palsu.
Sebab, sebutan symptom inherited truculence sendiri hanya sebatas ide spontannya saja.
"Tapi tenang, ini semua palsu. Jadi di Chat GPT itu banyak yang palsu, saya yang ngarang-ngarang sendiri inherited truculence, terus saya kasih ke chat GPTnya, chat GPTnya kasih ini loh diagnosis symptom inherited truculence, enggak ada itu inherited truculence, itu saya ngarang saja,” ungkapnya.
Tekankan Pentingnya Kemampuan Manusia
Melalui pengalaman yang dibagikannya itu, wanita cerdas lulusan Harvard University tersebut mengajak kepada para pengguna ChatGPT agar lebih bijak.
"Tetapi ini lah jika kalian sebagai manusianya tidak mengerti bahwa ada banyak yang palsu," katanya.
Stella turut menegaskan bahwa human focused skill itu sangat penting. Dia menekankan bahwa manusia harus mengerti sampai di mana batas menggunakan AI dan menentukan tujuan penggunaan AI itu sendiri.
"Sekali lagi, maka kita perlu tahu bahwa bagaimana human focused skill bisa menentukan batasnya. Secanggih-canggihnya AI, kemampuan kalian menentukan batasnya seperti apa itu sangat dibutuhkan," tegasnya.