Fakta Sritex: Dekat dengan Soeharto dan Sempat Jadi Perusahaan Terbesar di ASEAN, Kini Bangkrut dan PHK 10.665 Karyawan
Pada tahun 1968, Sritex mendirikan pabrik cetak pertamanya di Solo, memproduksi kain putih dan berwarna. Perkembangan pesat perusahaan ini terus berlanjut.

Sritex, atau PT Sri Rejeki Isman Tbk, adalah salah satu nama besar dalam industri tekstil di Indonesia. Didirikan pada tahun 1966 oleh HM Lukminto, perusahaan ini memulai langkahnya sebagai Usaha Dagang (UD) Sri Rejeki Isman di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah.
Dengan fokus awal pada perdagangan tekstil, Sritex telah menempuh perjalanan panjang yang penuh liku-liku hingga mencapai puncaknya sebagai salah satu perusahaan terbesar di Asia Tenggara.
Pada tahun 1968, Sritex mendirikan pabrik cetak pertamanya di Solo, yang memproduksi kain putih dan berwarna. Perkembangan pesat perusahaan ini terus berlanjut.
Pada tahun 1978, Sritex resmi terdaftar sebagai perseroan terbatas (PT) di Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, menandai transformasi penting dalam status hukumnya.
Tidak lama setelah itu, pada tahun 1982, perusahaan ini membangun pabrik tenun pertama, yang semakin memperkuat posisinya di industri tekstil.
Sumber lain menyebutkan bahwa pada tahun 1976, Sritex telah berkembang menjadi perusahaan tekstil terpadu dengan fasilitas Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kedekatan dengan penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto, juga dikatakan berperan dalam pertumbuhan pesat Sritex, karena perusahaan ini mendapatkan banyak pesanan seragam dari pemerintah untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri.
Puncak Kejayaan Sritex
Seiring berjalannya waktu, Sritex terus memperluas kapasitas produksinya dan meningkatkan kualitas produk. Pada tahun 2013, Sritex mencatatkan diri sebagai perusahaan publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Pada puncak kejayaannya, Sritex dikenal sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, mempekerjakan ribuan karyawan dan melayani klien besar internasional seperti H&M, Walmart, K-Mart, dan Jones
Apparel.Perusahaan ini beroperasi di lahan seluas 79 hektare di Sukoharjo, Jawa Tengah, dan memiliki kantor perwakilan di Jakarta. Sritex juga mempekerjakan tenaga profesional dari berbagai negara, termasuk Korea Selatan, Filipina, India, Jerman, dan China.
Produk yang dihasilkan oleh Sritex sangat beragam, mulai dari benang, kain mentah, kain jadi, pakaian jadi, hingga jasa pemintalan, penenunan, pewarnaan, percetakan kain, dan konfeksi.
Perjalanan Menuju Kebangkrutan
Namun, perjalanan Sritex tidak selalu mulus. Seiring dengan tantangan yang dihadapi industri tekstil, Sritex mulai mengalami kesulitan finansial. Pada tanggal 21 Oktober 2024, Pengadilan Negeri Niaga Semarang memutuskan untuk menyatakan Sritex pailit.
Kasasi yang diajukan oleh perusahaan ditolak oleh Mahkamah Agung, yang menandai akhir dari perjalanan panjang Sritex. Keputusan pailit ini mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal bagi ribuan karyawan yang bergantung pada perusahaan ini.
Sritex akan menghentikan operasionalnya mulai 1 Maret 2025. Keputusan ini berakibat langsung pada sekitar 8.400 karyawan yang akan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan kata lain, hari ini adalah hari terakhir 8.400 karyawan tersebut bekerja.
Namun, berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah, jumlah karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Sritex Group secara keseluruhan entitas usaha lainya telah mencapai angka mengejutkan, yaitu 10.965 orang.
Keputusan ini berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor: 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN.Niaga.Smg yang ditetapkan pada 21 Oktober 2024, serta diperkuat oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung dengan Nomor: 1345 K/PDT.SUS-PAILIT/2024 tertanggal 18 Desember 2024.
Dalam putusan tersebut, dinyatakan bahwa PT Sri Rejeki Isman Tbk bersama tiga entitas lainnya PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya dinyatakan dalam keadaan pailit beserta seluruh konsekuensi hukumnya